Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

La Pausa

29 April 2021   00:29 Diperbarui: 29 April 2021   00:33 212 7
"Hidup hanya mengenal tombol play dan stop."

Itulah petuah yang suatu kali kudengar dari pendeta di gereja. Benar, sejak dimulainya, ia hanya akan berhenti pada saat semua harus berakhir.

Tapi, ada kalanya gerak maju itu terlihat lambat, seperti orang sedang berjalan. Ini bukan tombol "pause", tapi "La Pausa", satu gerak memperlambat tempo, untuk melihat situasi, sebelum akhirnya tetap bergerak maju.

La Pausa persis seperti saat sedang berjalan kaki jarak jauh. Aku ingat, dulu, di bawah terik matahari, kadang aku berjalan santai, tapi pada saat lain aku mempercepat langkah saat harus menyeberang jalan.

Semua itu tampak terukur, dan tak ada masalah. Kerasnya jalanan bukan halangan, karena tetap selamat sampai tujuan. Sisanya, hanya rasa lelah yang memang sudah sewajarnya. Tanpanya, aku akan kehabisan tenaga di tengah jalan.

Aku ingat, "La Pausa" juga selalu hadir menemani di masa transisi, khususnya saat kebuntuan datang. Ia membuat semua tampak lambat dan menjengkelkan bagi sebagian orang, tapi, justru di situlah semua terlihat terang benderang.

Dalam kelambatan itu, ia mempersiapkan segalanya bersama secangkir kopi hitam. Inilah mengapa, saat yang lain mengalami kebuntuan, aku bisa bergerak lebih cepat dari biasanya. Bukan, sebenarnya ini normal, karena tak ada yang terlalu cepat atau lambat.

Berkatnya, aku bisa menyepi sejenak, bahkan di tengah keramaian seperti saat di ibukota sekalipun. Aku bisa tetap melangkah, tanpa peduli kegaduhan di sekelilingku.

Aku tak peduli lagi, siapa saja teman atau kerabat yang menikah, punya anak, menambah anak, naik pangkat atau dipecat. Persetan juga dengan berapa kali mereka pindah rumah atau pergi piknik.

Mungkin, semua itu terdengar egois. Aku terlihat kejam, di tengah budaya yang mengutamakan racun berwujud perhatian berlebih, dan sikap suka ikut campur urusan pribadi orang lain.

Tapi, aku sadar betul, di usia sekarang, semua itu adalah racun yang merusak. Waktu masih bocah, perbandingan semacam ini adalah satu cara untuk memicu rasa tak mau kalah.

Di bangku sekolah, mungkin itu bisa membuat semua lebih mudah. Naik kelas, masuk sekolah atau kampus elit, dan mendapat skor tinggi, sebagai syarat seleksi masuk kerja.

Masa itu sudah lewat. Lagipula, aku hidup di negeri tempat orang kaya bisa seenaknya merusak tatanan sambil berhura-hura, selagi kondisi tubuh ini kerap jadi alasan ditolak dan dilupakan.

Jadi, aku tak mungkin berlari terus, karena berjalan saja sudah kerepotan. Ada saatnya terlihat diam, walau sebenarnya tetap bergerak dalam senyap, tampak tersamar karena tak dianggap.

Aku memang bergerak bersama La Pausa, dengan kecepatan tak biasa. Ini tampak terlalu lambat bagi dunia yang serba cepat, tapi inilah yang terbaik, karena kecepatan tanpa ketepatan akan meninggalkan kekacauan, tapi ketepatan tanpa kelebihan kecepatan pasti akan membawa hal baik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun