Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Mensyukuri Kolapsnya ESL

24 April 2021   15:38 Diperbarui: 24 April 2021   15:44 130 3
Menyusul kolapsnya ESL awal pekan ini, ada rasa syukur yang muncul di hati sebagian besar pecinta sepak bola, termasuk saya. Bukan dalam porsi sebagai seorang Kopites, tapi sebagai pecinta sepak bola secara umum.

Oke, dari luar, ide ESL ini memang terlihat menarik. Ada gelimang uang dari sponsor, tak ada degradasi, dan selalu ada big match.

Tapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal di pikiran saya, soal big match nonstop ini. Apa benar semenarik itu?

Sebetulnya tidak sama sekali. Selain karena akan membosankan, big match yang terlalu sering atau rutin justru akan merusak keistimewaan duel spesial tersebut.

Dari sisi sejarah, big match memang punya nilai spesial, karena banyak hal yang mewarnainya. Ada prestasi klub, fanatisme suporter, faktor geografis, pemain bintang, sampai faktor kelas sosial.

Tapi, penggagas ESL ini agaknya lupa, yang membuat big match terasa spesial adalah karena duel ini jarang diadakan. Frekuensinya dalam setahun bisa dihitung dengan jari, bahkan ada yang belum tentu bertemu sekali dalam setahun. Misalnya, duel Real Madrid vs AC Milan, Liverpool vs Barcelona, atau Manchester United vs Bayern Munich.

Karena jarang bertemu rutin, ada daya tarik tersendiri yang membuatnya spesial. Daya tarik itu bisa rusak, jika frekuensinya terlalu sering, atau jika salah satu tim terlalu dominan.

Dalam beberapa kesempatan, situasi "jenuh" ini pernah menghinggapi di Liga Spanyol di awal dekade lalu, tepatnya saat laga El Clasico sempat jadi sajian rutin di ajang Piala Super Spanyol dan Copa Del Rey.

Duel ini memang jadi salah satu daya tarik Liga Spanyol, tapi ada rasa jenuh yang menghinggapinya, karena ada terlalu banyak bumbu perang komentar di media. Duel yang seharusnya mendatangkan rasa antusias, justru terlihat menjijikkan.

Pada kasus lain, ada partai "Der Klassiker" di Bundesliga Jerman, yang jadi terlihat membosankan karena kekuatan kedua tim cenderung timpang, karena setiap kali Dortmund punya tim yang tangguh, Bayern siap menggembosinya.

Untuk kasus yang agak ekstrem, ada "De Klasieker" antara Ajax Amsterdam vs Feyenoord Rotterdam di Belanda, dan "Superclasico" antara Boca Juniors vs River Plate di Argentina. Selain karena faktor prestasi, fanatisme suporter juga jadi poin yang selalu diwaspadai di kedua duel ini.

Maklum, rivalitas panjang setiap tim juga berimbas ke suporter. Otomatis, potensi kerusuhan akan semakin tinggi, dan karenanya selalu ada pengamanan ekstra atau kebijakan khusus yang selalu hadir.

Di liga Indonesia saja, hal semacam ini masih jadi satu pemandangan umum. Pada laga Persib Bandung vs Persija Jakarta misalnya, tim tamu biasa berangkat ke stadion dan pulang dengan menaiki kendaraan taktis, dan diperbolehkan tidak ikut konferensi pers pascalaga, demi faktor keamanan.

Selain itu, ada kebijakan khusus lain, dimana suporter tim tamu dilarang datang ke stadion, demi menjaga keselamatan. Kebijakan khusus ini kebetulan juga berlaku di "Derby Jawa Timur" antara Persebaya Surabaya vs Arema Malang.

Dengan frekuensi yang hanya sesekali saja, persiapan dan penanganannya sudah seribet itu. Itupun masih saja ada masalah bentrokan antarsuporter anarkis, yang bahkan bisa memakan korban jiwa.

Jadi, terbayang seberapa merepotkan jika partai big match ini digelar rutin, dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Dalam situasi pandemi saja, aksi anarkis oknum suporter masih terjadi, seperti saat PSG takluk atas Bayern Munich di final Liga Champions musim lalu.

Kalau situasi sudah normal, pasti terbayang bagaimana seramnya situasi saat big match itu berlangsung. Bagian paling menyedihkannya, partai klasik ini bisa jadi terlihat "murahan" dan membosankan, karena terlalu sering digelar.

Big match sendiri memang menarik, tapi jika daya tarik itu malah dihilangkan, justru akan merugikan. Lagipula, ini hanya sebagian kecil dari apa yang harus dijalani tim untuk meraih prestasi.

Benar, tim besar tak bisa semaunya memilih lawan, dan harus menerima apapun hasilnya. Di sisi lain, tim kecil juga tetap bisa bertarung dan membuat kejutan, karena di atas lapangan, posisi semua tim sama.

Inilah yang membuat ESL kolaps, dan saya bersyukur karenanya. Big match memang menarik, tapi bukan itu yang diinginkan suporter, khususnya suporter sejati, yang selalu ingin menonton aksi tim kesayangan, siapapun lawannya. Lagipula, sebuah tim tak akan disebut "tim besar" jika tak ada tim yang disebut "tim kecil" atau "medioker".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun