Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Artikel Utama

Saat "New Normal" (Akhirnya) Menjadi Sebuah Mitos

10 September 2020   22:52 Diperbarui: 11 September 2020   07:43 1718 18
Judul di atas mungkin terdengar frontal, tapi itulah yang nyata-nyata terjadi di Jakarta. Terlebih, setelah Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta, kembali mencanangkan kebijakan PSBB, per 14 September 2020.

Kebijakan "rem darurat" ini diambil, karena angka penularan virus Corona malah meningkat tajam, pada masa PSBB Transisi .

Melihat prosesnya, maka PSBB Transisi adalah sebuah ironi. Banyak orang menyebutnya sebagai periode "New Normal", seperti yang terjadi di banyak negara.

Bedanya, jika di negara lain situasinya cenderung menjadi lebih baik, di Jakarta situasi malah makin mengkhawatirkan. Ironisnya, "New Normal" malah lebih "sukses" saat menjadi satu jargon promosi atau nama produk populer.

Memang, ada protokol kesehatan, tapi, protokol itu tak diterapkan secara konsisten. Ada banyak kompromi dan celah pelanggaran yang selalu bisa dimanfaatkan. Hasilnya? Ya sudahlah.

Dari istilahnya saja, "New Normal" sukses menghasilkan penerapan yang kacau di lapangan, karena tidak ada interpretasi utuh dan seragam atasnya, termasuk interpretasi ekstrim "New Normal" sebagai "keadaan normal".

Di sinilah "New Normal" terkesan seperti sebuah mitos, antara ada dan tiada. Jadi, wajar jika akhirnya ia benar-benar menjadi sebuah mitos, saat PSBB akhirnya kembali diterapkan.

Kasarnya, "New Normal" adalah sebuah mitos lelucon memalukan, karena ia justru memperburuk keadaan, alih-alih mengontrol dan memperbaiki keadaan.

Apa gunanya ada "New Normal" jika situasi memburuk dan harus kembali PSBB? Rasanya, ini seperti kembali masuk SD setelah lulus SMP.

Entah kebuntuan macam apa yang sudah ditemui para pengambil keputusan ini. Tapi, apa yang terjadi justru menunjukkan, "New Normal" adalah fase transisi menuju masalah gelombang kedua.

Celakanya, gelombang kedua ini justru terlihat lebih ganas dari gelombang awalnya. Bukan hanya karena soal pertambahan masif jumlah penderita COVID-19, tapi juga dari efek domino yang sudah menanti di berbagai bidang.

Dari sektor ekonomi, kita agaknya perlu bersiap menyambut resesi, karena keputusan PSBB sudah menghasilkan sentimen negatif di pasar saham.

Belum lagi, jika kebijakan ini turut menghadirkan PHK massal gelombang kedua, akibat kolapsnya dunia industri, yang sebenarnya belum pulih benar, bahkan masih kembang kempis.

Pada gelombang pertama saja, masalah ini sudah menghasilkan berbagai masalah lanjutan. Jadi, jangan tanya lagi, akan seberapa rumit situasinya nanti.

Tapi, berhubung "rem darurat" sudah ditarik, ini menjadi saat yang tepat untuk semua pihak benar-benar menahan diri, sambil memikirkan langkah selanjutnya. Tak boleh ada lagi perdebatan tak penting, seperti halnya keputusan ceroboh.

Jangan lupa, ibukota adalah barometer nasional. Jadi, harap maklum jika setelah ini daerah lain akan ikut menerapkan PSBB lagi dalam waktu dekat.

Di sini, semua pihak terkait juga harus memastikan, masyarakat kelompok rentan terlindungi, supaya situasi tetap kondusif. Seandainya nanti ada kebijakan baru setelah PSBB berakhir, jangan sampai kebijakan itu bernasib sama seperti "New Normal".

Harus ada kebijakan yang jelas, tidak multitafsir atau multiinterpretasi, supaya keadaan bisa segera membaik. Tak boleh lagi ada kompromi, dengan alasan apapun. Ini sangat penting, karena menyangkut urusan nyawa manusia.

Bisa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun