Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Trio Kucing

27 Agustus 2020   19:16 Diperbarui: 27 Agustus 2020   19:15 188 11
"Tenangkan pikiran, hati, dan jiwa. Rasakan kedamaian dalam setiap tarikan nafas...."

Itulah kata-kata yang biasa terlontar dari instruktur yoga, bersama iringan musik relaksasi, tiap kali aku mendengar sesi yoga di kantor.

Aku hanya pernah sekali mengikutinya, setelah aku sadar, olahraga ini hanya sempurna bagi mereka yang bertubuh sempurna. Oh ya, ini adalah hobi, capo di capi tutti (bahasa Italia: bos dari segala bos) di kantor kami.

Aku menyebutnya demikian, karena posisinya seperti berada jauh di atas langit. Diantara semuanya, inilah orang yang paling jarang berkunjung ke kantor. Ia seperti pesawat kepresidenan, yang hanya sesekali mendarat di bandara biasa.

Jika melihat profilnya, mungkin ia sudah mencapai banyak hal yang diimpikan orang: punya tubuh atletis, bisa piknik kemanapun, dan bisa membeli apapun yang ia mau. Andai pensiun sekarang pun tak masalah. Ia bisa menutup karir dengan keren, titelnya: Super Big Boss.

Tapi, di balik semua profil kerennya itu, aku melihat sesuatu yang mengerikan. Ada tumpukan amarah yang bisa meledak kapan saja, dan jiwa yang terkungkung di dunianya sendiri.

Benar, orang ini punya banyak ilmu, tapi cara pandangnya sudah terlanjur sempit, karena terlanjur silau dengan apa yang jadi obsesinya: terlihat hidup sangat sejahtera, dan punya citra positif.

Aku tak tahu, seberapa parah luka masa lalu yang ia punya, tapi ia punya hati yang bisa membantai habis sedikit saja kesalahan.

Tatapan matanya sepintas terlihat datar, penuh fokus, tapi sangat dingin. Semua perintahnya bak sabda nabi, siapa yang berani "berbeda" akan dianggap sebagai pendosa. Aku salah satunya.

Aku ingat, saat pagebluk menyerang, ia mengajak semua orang untuk beryoga di hari libur. Dengan tenangnya, aku tidak ikut, karena aku lebih memilih untuk beristirahat penuh.

Dengan kekacauan yang ada dan gaji yang tersunat, beristirahat sehari-penuh adalah obat terbaik untuk tubuh yang kelelahan ini. Rupanya, ini adalah satu bentuk pembangkangan buatnya. Apa boleh buat, aku pun jadi pesakitan.

Pemandangan hampir serupa, juga kulihat dari sosok Nyonya Kecil. Sekilas, ia seperti bocah yang terkurung di tubuh dewasa. Polahnya sebanyak bicaranya. Ia selalu ingin didengar, dan tak pernah lepas dari barang dan makanan mahal.

Nyonya Kecil ini selalu berusaha dekat dengan semua orang, tapi, inilah caranya mencengkeram erat kami. Ia ingin kami ada dalam kontrolnya. Aku tahu, orang ini adalah kepanjangan tangan Super Big Boss.

Mereka memang satu frekuensi, satu pemikiran, dan satu kesatuan. Bedanya, Nyonya Kecil lebih lihai bermain peran. Ia seperti ditugaskan untuk bisa menampilkan image "kompak" dan suasana bahagia sebaik mungkin.

Benar, ia banyak tertawa, tapi ini sangat menjijikkan. Ia gemar mempersalahkan dan mempersulit orang lain sambil tertawa, seperti saat sedang bersenang-senang. Seperti Joker saja.

Di tempat lain, ia gemar merecoki pekerjaan yang bukan urusannya. Dengan enaknya, ia banyak bicara, seperti orang paling cerdas, padahal, makin banyak ia bicara, makin banyak kebodohan yang dipamerkan.

Alhasil, banyak masalah timbul karena ulahnya. Berkat kelihaiannya bermain peran, ia selalu bisa menimpakan kesalahan itu ke orang lain.

Aku ingat, beberapa kali aku jadi sasaran tembaknya, meski selalu lolos. Kritikku padanya seperti satu pemberontakan. Ia merasa dirinya seorang bos besar, padahal bukan sama sekali.

Saat aku digeser Bos Asli, untuk membangun sistem di divisi baru, aku bisa bayangkan, betapa dia kesal setengah mati padaku, karena ia hanya bisa melucuti tugas lamaku, yang memang sudah waktunya diserahkan kepada penggantiku.

Entah bagaimana, aku ternyata sudah menjadi lawan yang menyebalkan buatnya. Aku jadi tak terjangkau olehnya, apalagi saat pagebluk menyerang. Benar, aku lebih banyak berseberangan dengannya.

Aku memang bukan orang yang akan dengan enaknya akan belanja makanan atau barang mahal, dan bersenang-senang setiap waktu sepertinya. Aku juga bukan orang yang akan selalu berada di kantor dan membahas urusan pekerjaan setiap hari.

Benar, aku bekerja di sana, tapi aku tetap punya kehidupan lain bersama keluarga dan teman. Buat apa pemerintah membuat undang-undang, kalau ujungnya cuma dilanggar?  

Si Nyonya Kecil memang pernah meragukan komitmenku, karena aku tidak masuk sangat dalam ke jangkauannya. Aku cenderung lebih memilih berada di tengah-tengah, karena jika terlalu masuk, ia hanya akan membuatku jadi bonsai.

Aku tak ragu mengkritiknya, jika memang ia pantas dikritik. Secara teknis, ia memang memandangku musuh, hanya karena aku memilih berjalan lurus, sementara ia sungguh berbelit-belit.

Secara politis, aku juga menjadi lawan alaminya, karena aku sudah dilibatkan Bos Asli, sejak masih kerja sukarela. Aku tak punya motif apapun, selain membantu Bos Asli, teman yang memang sudah kukenal sejak masih remaja.

Tapi, meski punya hubungan baik yang terjaga selama bertahun-tahun, ada beberapa hal yang kadang membuatku merasa ganjil dengannya. Aku melihat, ia sangat haus akan sorotan dan pengakuan.

Mungkin, ini adalah kompensasi, karena ia tak menuntaskan studi sampai dua kali. Apapun penyebabnya, catatan sejarah ini selalu berhasil membuat kepalanya pening, jika orang menanyakan titel pendidikannya.

Di sini, aku hanya bisa menyarankan, "Carilah nama baptis di gereja, atau pergilah naik haji'. Supaya titelnya bisa kau pasang di depan, bukan di belakang."

Padahal, sebagai anak orang berada, ia punya segalanya. Ia punya kesempatan, tapi malah disia-siakan. Tak sadarkah ia, banyak orang diluar sana berjuang untuk ini, meski serba berkekurangan?

Kehausan akan sorotan dan pengakuan juga sudah membuatnya jadi seorang "playboy" handal. Ia gemar berganti pasangan, seperti berganti ponsel. Ini terus berlanjut, sampai hatinya berlabuh di Nyonya Kecil.

Sejak saat itu, aku melihat hatinya jadi tumpul. Ia selalu bergaya hedonis, bahkan saat badai krisis datang, dan tak segan memperlakukan orang seperti kain pel basah. Aku yang awalnya bersikap biasa saja, akhirnya mulai merasakan situasi semakin rumit. Apalagi, saat badai krisis ternyata berkepanjangan.

Awalnya, ia memotong gaji dengan drastis, lalu memutus tunjangan kesehatan. Saat situasi semakin buruk, ia menyalahkan semua orang, karena kinerjanya dianggap anjlok.

Bagaimana mungkin kami bisa maksimal, kalau situasi sedang krisis, daya beli anjlok, dan gaji terpotong sangat banyak? Di mana dukungan yang seharusnya ada di saat krisis? Adakah dukungan yang mereka berikan? Ada. Kami hanya disuruh ikut yoga dan bersabar tiap gaji terlambat. Selebihnya, ahsudahlah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun