Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Sebuah Mitos Bernama "New Normal"

16 Juli 2020   20:48 Diperbarui: 16 Juli 2020   20:40 163 7
Bicara soal kebijakan pemerintah di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, "New Normal" menjadi satu kebijakan dengan ambiguitas paling mencolok. Ambiguitas ini merupakan hasil dari inkonsistensi, antara aturan yang ditetapkan, dengan realita di lapangan.

Secara kultural, ini merupakan hal biasa di negara kita. Penyebabnya, kelonggaran yang diberikan, justru menghasilkan banyak celah. Alhasil, aturan yang berlaku justru menghasilkan banyak kekacauan, karena celah itu selalu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Dalam konteks "New Normal", ambiguitas sebenarnya sudah terlihat, dari interpretasi istilah "New Normal" itu sendiri. Secara umum, "New Normal" banyak diinterpretasikan sebagai "kenormalan baru".

Jelas, dari istilahnya saja, istilah ini sudah membingungkan. Apalagi, tak orang di negeri ini punya kebiasaan berbahasa Inggris seperti anak elit jakarta Selatan, kelompok "which is literally" terbiasa bicara dalam bahasa Inggris, yang kadang lebih Inggris dari orang Inggris itu sendiri.

Jadi, wajarlah jika orang-orang di daerah lain, mungkin jauh lebih mengenal Yu Normal atau Bu Normal, karena istilah "New Normal" atau "Kenormalan Baru" terlihat tidak membumi. Akibatnya, tidak ada pemahaman yang "satu suara" pada istilah ini.

Pada titik ekstrem, "New Normal" kadang diartikan secara salah kaprah, sebagai sebuah kelonggaran, bahkan "keadaan normal". Ini antara lain terlihat, dari masih banyaknya orang yang terlihat tak tertib, karena aturan ada untuk dilanggar. Protokol New Normal? Makanan apa itu? 

Akibatnya, alih-alih menjadi sebuah kebijakan, "New Normal" lebih terlihat seperti sebuah jargon pemasaran. Ia ada di setiap program promosi, diketahui publik, tapi tak sepenuhnya bisa dipahami masyarakat. Salah kaprah terkait New Normal juga membuatnya terlihat bak mitos: antara ada dan tiada; antara nyata dan tidak.

Padahal, akan lebih baik, jika "New Normal" didefinisikan sebagai "kebiasaan baru", karena selain bertujuan membantu memutus rantai penyebaran virus Corona, ini bisa menjadi momen bagus untuk membangun budaya hidup sehat (dan bersih).

Ini sesuai dengan ketentuan New Normal dan protokol kesehatan yang ada. Semuanya memang memuat tata tertib yang perlu dijadikan kebiasaan, supaya nantinya bisa menjadi sebuah budaya tertib atau disiplin.

Kebiasaan dan budaya sendiri memang saling berkaitan, karena budaya merupakan salah satu hasil dari kebiasaan yang dibiasakan secara kontinyu.

Masalahnya, selain tingkat ketertiban masyarakat kita yang masih belum cukup baik, kebijakan yang ditetapkan juga inkonsisten. Jadi, wajar kalau peningkatan jumlah kasus penderita COVID-19 di Indonesia masih relatif tinggi. Dari istilah kebijakannya saja sudah cukup membingungkan, apalagi penerapan di lapangan.

Sedihnya, perbaikan biasanya baru digarap serius saat masalah muncul, tanpa ada langkah preventif  dengan ketegasan konsisten sejak awal. Mengingat dampak negatif yang sudah terjadi, perlu waktu dan usaha ekstra, untuk bisa memperbaiki keadaan.

Terlambat memang lebih baik dari pada tidak sama sekali. Tapi, akan memalukan kalau kesalahan serupa selalu terulang. Apalagi, WHO sudah mengkonfirmasi, udara bisa menjadi salah satu media penularan virus Corona. Jadi, apapun kebijakan yang ditetapkan setelah ini, jangan sampai itu malah memperburuk keadaan.

Semoga!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun