Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Saya dan Warung Kopi Kekinian

9 Oktober 2019   13:42 Diperbarui: 9 Oktober 2019   14:06 149 2
Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat bersama, ada begitu banyak warung es kopi susu kekinian, dengan segala macam ciri khas, mulai dari, merek, jenis kopi, harga, sampai cara  penyajian. Mereka ada di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta.

Kebetulan, di Jakarta, kota tempat saya tinggal dan bekerja saat ini, warung kopi kekinian begitu banyak, mulai dari kelas bintang lima sampai kaki lima semua ada. Jadi, saya tak perlu bingung kalau satu warung kopi tutup, karena pilihan warung kopi yang masih buka begitu banyak. Saking banyaknya, saya kadang sering bingung duluan sebelum akhirnya memilih.

Jika melihat ke belakang, merebaknya warung kopi kekinian adalah satu fenomena biasa. Maklum, "ngopi"  sejatinya sudah cukup lama membudaya di negara kita. Membudayanya "ngopi" sendiri, tak lepas dari fakta bahwa Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar dunia, selain Brasil, Kolombia, Vietnam, Pantai Gading, dan Kamerun.

Boleh dibilang, tren "ngopi" di era kekinian adalah salah satu bentuk adaptasi budaya "ngopi" dengan pergerakan zaman. Kita tentu mengetahui, warung kopi kekinian umumnya cukup fotogenik alias "Instagramable" dan "free WiFi". Pemesanannya pun bisa lewat layanan ojek daring. Sangat kekinian.

Tapi, satu-satunya hal, yang menurut saya menjadi sisi negatif dari tren ini adalah, tren minum kopi kekinian "sukses" menciptakan sebuah dikotomi berbungkus kata "filosofi" atau "gengsi", yang membuat segala hal tentang kopi seperti punya kasta masing-masing.

Misalnya, ada yang secara ekstrem mengklasifikasikan kopi Arabika sebagai "kopi kelas elit", dan kopi Robusta sebagai "kopi kelas rendah". Ada juga yang mengatakan "minum kopi dengan gula atau unsur tambahan lainnya bukan minum kopi".

Bicara soal minum kopi alias "ngopi", saya termasuk golongan fleksibel. Dalam artian, saya tak memikirkan segala tetek bengek soal kopi. Apapun latar belakangnya, mulai dari jenis sampai cara penyajian, semua tak jadi soal, karena setiap kopi punya karakteristik tersendiri.

Dalam posisinya sebagai satu hal yang sudah membudaya di negara kita, saya justru melihat, "dikotomi kopi" semacam ini kurang elok, karena, disadari atau tidak, kopi adalah salah satu potret kebhinekaan negeri kita.

Seperti diketahui, ada begitu banyak daerah penghasil kopi di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua. Jenis dan ciri khasnya pun begitu beragam. Kekayaan ini adalah harta karun yang terlalu sayang untuk dipecah belah dengan dikotomi ekstrem berpandangan sempit.

Lebih jauh, kopi juga bisa merepresentasikan bagaimana karakter manusia. Misalnya, ada yang simpel bin pragmatis seperti kopi instan dan kopi tubruk, ada juga yang punya standar tinggi, seperti kopi luwak yang tersohor itu. Dengan begitu banyaknya keberagaman yang ada, membuatnya menjadi seragam adalah satu kesalahan besar, kalau tak mau dibilang pemaksaan.

Malah, jika ada yang berpikiran terlalu ekstrem soal kopi, kita layak bertanya, apakah mereka benar-benar mencintai kopi atau tidak. Karena, seperti halnya kita sebagai manusia, setiap jenis kopi punya posisi setara, lengkap dengan keunikan masing-masing.

Jadi, menjamurnya tren es kopi susu kekinian dan budaya "ngopi", dengan berbagai keberagaman di dalamnya, seharusnya adalah satu hal yang dapat memperkaya kebhinekaan kita, bukan memecah belah. Karena, dalam posisinya sebagai sebuah budaya populer di negeri ini, "ngopi" seharusnya bersifat konstruktif, bukan sebaliknya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun