Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Kisah WiFi yang Tercuri

3 November 2018   15:41 Diperbarui: 3 November 2018   15:56 164 0
WiFi, siapa yang tak mengenalnya. Di zaman sekarang ini, ia bagai Dewa Penyelamat bagi para fakir kuota, sekaligus senjata andalan buat para pemiliknya. Sekali password dimasukkan, kita bisa langsung terhubung dengan dunia dalam sekejap.

Lebih bahagia lagi, jika WiFi itu tak mengenal password, cukup dinyalakan, bereslah sudah. WiFi gratis tanpa password, nikmat Tuhan mana lagi yang akan kau dustakan?

Kebetulan, rumah kami pernah "berhubungan mesra" dengan WiFi gratis tanpa password, yang tanpa sengaja kami temukan di suatu siang nan cerah. Awalnya, kami tak tahu itu punya siapa, kami bahkan tak peduli. Yang jelas, ini adalah sebuah rejeki, yang sukses membuat kami menghemat anggaran belanja pulsa tiap bulan.

Tapi, kami makin kecanduan menggunakannya, setelah kami akhirnya tahu, WiFi ini milik siapa. Hebatnya, kebiasaan ini lalu ditiru oleh tetangga yang lain. Ya, WiFi gratis tanpa password itu adalah milik Bu Bunga, tetangga paling dibenci di perumahan kami. Mengapa kami semua begitu membencinya?

Jawabannya sangat sederhana, Bu Bunga dan anak-anaknya sangat arogan. Jangankan bertegur sapa, memandang wajah kami pun tak pernah. Kami tak pernah dianggapnya manusia, kecuali saat dia butuh bantuan. Oke, kami masih mau membantunya, walau kami harus berpura-pura amnesia lebih dulu di depannya. Pertanyaan, "Maaf, Anda ini siapa ya?" selalu jadi kata pembuka.

Maklum, kami bukan manusia dimatanya, sampai ia datang memohon bantuan, seperti yang kami semua alami saat ia pindah ke rumah barunya. Kala itu, kami semua dibuatnya repot, saat ia memohon bantuan kami untuk menyebarkan undangan acara syukuran pindah rumah.

Ternyata, Bu Bunga sama sekali tak punya teman, seperti ia tak punya urat malu. Tapi, berhubung kami punya kesibukan masing-masing, jangankan kami sebar, undangan yang kami terima saja kebanyakan berakhir seperti koran bekas yang dijual kiloan ke tukang loak.

Kami ingat, di hari acara syukuran pindah rumah mereka, suasana terlihat lengang. Hanya ada keluarga mereka, dan segelintir anggota keluarga dekat mereka. Saking sepinya, Pak Jaya, suami Bu Bunga sampai berkeliling kompleks perumahan kami sendirian, hanya untuk mengirimkan makanan. Dialah satu-satunya orang yang bersikap baik di keluarga Bu Bunga.

Entah kenapa, Bu Bunga merasa derajatnya lebih tinggi, hanya karena rumahnya berukuran paling besar, punya mobil mewah, dan hidup bak seorang sosialita. Padahal, sebelum pindah ke rumah barunya, Bu Bunga hanya mengontrak sebuah rumah kecil di kompleks perumahan kami, meski gaya hidupnya bak seorang sosialita.

Memang, sejak keluarga Bu Bunga tinggal di kompleks perumahan kami, kami tak henti-hentinya disuguhi pemandangan atau kebiasaan mereka yang sungguh sangat absurd. Tiada hari tanpa pertengkaran dan jeritan, padahal mereka bertingkah bak orang paling suci saat sedang beribadah. Tiada bulan tanpa tunggakan iuran keamanan kompleks dan tunggakan uang kontrakan, padahal mereka tak pernah absen berbelanja barang bermerek berharga jutaan tiap bulannya. Ditambah lagi, mereka rutin piknik ke luar negeri hampir tiap bulan.

Kami ingat betul, betapa sering listrik, telepon dan air mereka diputus, akibat menunggak tagihan sewa bulanan terlalu banyak. Untunglah, sang pemilik rumah masih berbaik hati, sampai mereka pindah ke rumah besar itu. Jika tidak, mereka sekarang pasti sudah jadi gelandangan.

Tak dinyana, kebiasaan absurd mereka malah makin menjadi-jadi, saat pindah ke rumah besar itu. Mereka gemar menjemur pakaian bermerek di pagar rumah, layaknya sedang tinggal di perkampungan kumuh. Pintu garasi dan pagar rumah mereka berisik seperti mulut dan selusin anjing ras peliharaan mereka, yang selalu bersuara layaknya sedang berada di pasar. Sampah mereka selalu menumpuk di depan pagar, karena mereka tak pernah mau membayar iuran sampah tiap bulan. Padahal, mereka kini punya mobil dan motor mewah, sebagai pelengkap rumah dan koleksi barang mewah mereka.

Awalnya, kami bingung dengan semua keanehan ini. Situasi makin aneh, karena mereka makin lama makin berani berdebat dengan tetangga. Kami benar-benar bingung, sebenarnya mereka ini manusia macam apa. Kebingungan ini akhirnya tumbuh bersama rasa benci kami kepada mereka. Satu-satunya alasan mengapa kami masih mau bersabar adalah, keberanian Pak Jaya meminta maaf secara terbuka, tiap kali anak dan istrinya berulah.

Tapi, Pak Jaya pun akhirnya membuat kejutan, saat kami semua melakukan pertemuan rutin bulanan. "Saya mohon pamit, bapak-bapak dan ibu-ibu semua, mulai bulan depan saya akan pindah ke luar kota. Tapi hanya saya sendiri yang pindah.", Ujarnya. Kami pun keheranan, mengapa begitu mendadak?

Ternyata, gaya hidup hedonis Bu Bunga dan anak-anaknya menjadi penyebab. "Semua barang mewah yang mereka punya, termasuk rumah dan mobil kami, dibeli secara kredit, karena mereka terobsesi ingin hidup mewah. Saya bekerja mati-matian setiap hari untuk melunasinya. Tapi, gaya hidup istri dan anak-anak saya, membuat semua kerja keras saya jadi sia-sia. Saat saya menegur istri saya, saya malah digugat cerai, dan kami harus segera berpisah mulai awal bulan depan.", Urai Pak Jaya.

Kami semua sungguh terkejut dibuatnya. Dengan jumlah hutang yang mencapai sepuluh digit, wajar jika Pak Jaya bekerja begitu keras. Tak hanya satu, tapi beberapa pekerjaan sekaligus rela dilakoninya. Tapi, sikap istrinya yang malah menggugat cerai Pak Jaya sungguh aneh. Bagaimana bisa seorang pembuat masalah, malah menganggap orang yang bersikap baik padanya sebagai sebuah masalah?

Kepergian Pak Jaya, menjadi awal dari terbukanya masalah dan rahasia keluarga mereka, yang selama ini hanya menjadi gosip di lingkungan kompleks perumahan kami. Satu per satu, gosip itu berubah menjadi kenyataan demi kenyataan.

Di satu kesempatan, Bu Bunga pernah membuat kami semua tertawa terbahak-bahak. Karena, foto dan namanya pernah menjadi berita di koran, akibat kena tilang polisi saat mengemudikan mobilnya di pusat kota. Kelucuan makin lengkap, karena di foto itu ia berhadapan dengan polisi sambil memasang wajah marah. Ia terlihat berkacak pinggang dan berpakaian ketat layaknya seorang model seksi. Padahal, ia sudah terlalu tua, dan tak lagi pantas untuk berpenampilan seperti itu.

Di kesempatan lain, kami beberapa kali bertemu dengan kreditur, yang menanyakan di mana lokasi rumah Bu Bunga, dan memotret rumah itu. Sejak Pak Jaya pergi, semua angsuran kredit Bu Bunga tak lagi dibayar sesuai ketentuan. Ternyata, dibalik gaya hidup hedonisnya, Bu Bunga hanyalah seorang pengutang yang gemar mengemplang utangnya.

Aku sendiri juga pernah secara tak sengaja memergokinya berkencan dengan seorang pria kaya di sebuah mal, saat sedang menjadi peserta pameran kuliner bersama kantorku. Lagi-lagi, wanita paruh baya ini berpenampilan bak model, dengan tingkah bak gadis sosialita kampus. Rupanya, sejak Pak Jaya pergi, ia rajin mendekati para lelaki berduit, demi menjaga hedonismenya, dan membiayai semua kebutuhan anaknya, yang juga hedonis sepertinya. Gilanya, mereka masih gemar piknik ke luar negeri, meski hutangnya sudah kian menumpuk.

Tawa kami makin kencang, setelah Bu Bunga dengan tenangnya memasang WiFi tanpa password. Entah kenapa, kami semua merasa, inilah kesempatan baik untuk memberinya pelajaran berharga. WiFi gratis tanpa password, siapa yang tak mau?

Begitulah hubungan mesra kami dengan WiFi gratis tanpa password itu berawal. Mungkin ini terlihat seperti sebuah pencurian. Tapi, apa ada korban pencurian, yang dengan senang hati membiarkan barang atau fasilitas miliknya tercuri? Tidak ada!

Selama dua tahun setelahnya, kami "membalas dendam" kepada Bu Bunga dalam diam. Selama itu pula, Bu Bunga membiarkan WiFi nya "tercuri" begitu saja oleh orang sekompleks perumahan. Baginya, WiFi adalah sebuah simbol kemapanan dalam hal teknologi, selain ponsel pintar, dan produk teknologi kecantikan keluaran terbaru. Semakin besar tagihannya, berarti orang akan memandangnya sebagai "orang kaya".

Cerita kami dengan WiFi gratis tanpa password itu baru berakhir, setelah akses WiFi ini diputus paksa, akibat Bu Bunga (lagi-lagi) menunggak dan mengemplang tagihan senilai puluhan juta rupiah per bulan. Rupanya, selama dua tahun terakhir, masalah tagihan WiFi ini membuat Bu Bunga mulai ditinggalkan para lelaki "sponsor"nya. Pelan tapi pasti, semua kebiasaan buruknya, sukses membuat wanita paruh baya ini terkenal di kalangan para pria kaya, yang lalu kompak menjauhinya.  

Kebiasaan menumpuk utang dan hidup mewah, akhirnya membuat Bu Bunga berurusan dengan pihak berwajib. Karena, ia kedapatan mengemplang tagihan dan terjerat kasus penipuan senilai belasan miliar rupiah. Alhasil, semua barang miliknya disita, dan ia harus tinggal sangat lama di hotel prodeo.

Setelahnya, kami tak pernah mendengar berita apapun soal Bu Bunga, apalagi melihat wajahnya. Sikap tak baik dan tindak kriminal yang dilakukannya, membuat kami ingin melupakannya. Tapi, kami akan selamanya berterima kasih kepada akses WiFi gratis tanpa password yang pernah kami nikmati darinya. Karena, berkat WiFi yang dibiarkan tercuri itu, ketenangan di kompleks perumahan kami kini telah kembali seperti semula.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun