Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Saat Masyarakat Sipil Mulai Bergerak

7 Februari 2024   08:45 Diperbarui: 7 Februari 2024   08:46 93 8
Kelompok civil society akhirnya mampu menyatukan suara menyikapi berbagai dugaan pelanggaran seputar Pemilihan Presiden 2024. Mereka menyeru hukuman moral dan etik kepada pasangan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka.  

Koalisi Masyarakat Sipil
yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Migrant Care, Serikat Inong Aceh, LBH Pers, PBHI, KontraS, Imparsial, Jaringan Gusdurian, FORMASI Disabilitas, Konsorsium Pembaruan Agraria, dll, menilai telah terjadi pelanggaran etika dalam proses pencalonan Gibran.

Oleh karenanya Koalisi Masyaralat Sipil mengajak masyarakat memberi sanksi secara langsung kepada Prabowo-Gibran dengan cara tidak memilihnya pada 14 Februari 2024.
 
Suara dari Koalisi Masyarakat Sipil menambah kekuatan moral untuk menghentikan praktek politik nir-etika, melawan nalar sehat demokrasi, dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Keluarnya putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberi sanksi etik terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Ashari, dan jajarannya karena menerima pencalonan Gibran, menjadi alas penguat keluarnya seruan Koalisi Masyarakat Sipil.

Putusan DKPP melengkapi putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Ketua MK Anwar Usman karena terbukti melanggar etik berat saat memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi jalan Gibran menjadi peserta Pilpres 2024.

Seruan Koalisi Masyarakat Sipil juga sejalan dengan deklarasi para guru besar, dosen dan sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi seperti UGM, UII, UI, Unpad, ITB, IPB, Unej, USU, Unhas, UNJ, dll yang menolak keberpihakan penguasa terhadap salah satu paslon.

Para akademisi menolak politisasi bansos yang dipersonifikasikan sebagai bantuan perorangan atau partai padahal menggunakan APBN, ketidaknetralan aparat keamanan dan pejabat di daerah, serta pembungkaman terhadap kritik.
       
Teguran kepada Presiden Joko Widodo juga diseru oleh profesor dan dosen filsafat seluruh Indonesia. Ketua STF Driyarkara Jakarta Simon Petrus Lili Tjahjadi meminta Jokowi dan jajarannya bersikap jujur dan adil karena kekuasaan yang dijalankan secara lancung akan merusak etika dan hukum.

Para mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut menyuarakan kegundahannya dengan meminta Presiden Jokowi mematuhi standar moral dan etika dalam memimpin negara.

Mantan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengungkapkan merosotnya skor Indeks Persepsi Korupsi, dan Indeks Negara Hukum. Bahkan The Economist Intelligence Unit menyebut Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat.

Masih banyak suara-suara penolakan terhadap sikap Presiden Jokowi yang terkesan all out memenangkan anaknya dalam Pilpres 2024 sehingga seperti mengabaikan etika dan membuka ruang terjadinya  penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Salam dua jari dari mobil kepresidenan, "gerilya" di Jawa Tengah sambil bagi-bagi bansos, adalah sedikit contoh potensi pelanggaran dimaksud.

Ancaman jika tidak memilih paslon tertentu tidak akan mendapat bansos, atau bansos akan hilang jika paslon tertentu menang, adalah bentuk pembodohan yang menurunkan kualitas pemilu. Pemenang pilpres akan ditentukan oleh sebaran bansos, bukan kualitas calon.

Kita tegas menolak cara-cara demikian. Kita menginginkan pemilu legislatif dan pilpres berjalan dengan damai, jujur dan bermartabat. Hal itu hanya bisa dicapai jika penyelenggara memiliki integritas dan taat aturan, pemerintah dan TNI/Polri netral, serta rakyat bebas dari intimidasi dan penyesatan informasi. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun