Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Di Lubang Buaya, "Maaa, PKI Itu Jahat, Ya!!!"

17 Januari 2011   00:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:30 8483 3

Sebelum membawa mereka, seminggu sebelumnya aku sudah survey lebih dulu untuk mencari bahan supaya saat membawa mereka aku sudah lancar bercerita tentang koleksi yang ada.

Anak-anak begitu semangat, meski si Mas merasa takut mendengar ada lubang buaya

“Lubangnya masih ada buayanya gak Ma? tanya nya

Pertanyaan lugu, membuat semua senyum-senyum lucu, aku biarkan si Kakak yang menjelaskan

“Gak ada de’, itu Cuma nama, kaya sekolah kita, namanya Kuda Laut, tapi gak ada kuda Lautnyaaa..!”

“Emangnya mas takut sama Buaya?, masa takut, mas aja pernah pegang Komodo khan waktu di museum Komodo itu” kata ku mengingatkan pada apa yang pernah dia lakukan saat melawan ngeri ketika lihat Komodo di Taman Mini.

Singkat cerita kami telah sampai di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya. Sebelumnya, beli tiket masuk dulu di pintu gerbang, cuma duaribulimaratus perorang, ditambah parkir tiga ribu, yang harus kami bayar tak sampai duapuluh ribu, dapat buku pula sebagai alat pandu.

Menurutku itu harga yang cukup murah untuk belajar sejarah dan berolahraga, mengingat Monumen Pancasila sakti ini dibangun diatas lahan yang cukup luas, anak-anak jadi bisa berlarian bebas.

Pertama kita menuju ruang Museum terbuka, istilah ini buatanku saja, kalau dalam buku dikatakan ruang Pameran Taman. Memang pantas disebut taman, ada lapangan luas dengan rumput hijau subur seperti permadi dihamparkan, banyak pepohonan rindang yang bisa buat berteduh kalau Matahari lagi garang, bernaung dibawahnya jadi segar, menghirup oksigen yang pastinya hanya sedit tercemari polusi.

Tentu saja sumur ini diberi pengaman, tidak bisa dilihat dari jarak yang terlalu dekat, dibatasi dengan rantai supaya tida terjadi kecelakaan pada pengunjung yang datang ingin menyaksikan saksi sejarah yang sungguh mengenaskan.

Tidak jauh dari sumur tua, terdapat rumah tempat dilakukannya penyiksaan yang sekarang ini digunakan sebagai tempat diorama Penyiksaan. Dilengkapi dengan narasi cerita yang disuarakan, kami seolah diantar pada situasi yang sangat menegangkan saat para perwira itu disiksa, mereka yang ada disana adalah Mayjen TNI R Soeprapto, Mayjen TNI S.Parman, Brigjen TNI Soetojo Siswomihardjo dan Lettu Czi Pierre Andries Tendean. Sorak sorak para gerombolan penyiksa yang meneriakkan Bunuh..bunuh membuat hati kami rasa terbakar amarah, anakku sampai berkomentar

“Iiihh...jahat banget ya Ma mereka!” Si Mas malah sampai hampir menangis dan gak mau melihat dan mendengarnya lagi.

“udah ah Maa.., mas gak mau kesitu. Tapi Indonesia menang khan ya Maa!”.

Mas akhirnya dibawa bermain ke tempat lambang Burung Garuda besar yang seperti memberi naungan pada ketujuh patung Pahlawan Revolusi. Dia sangat bangga dengan lambang itu, sebagai imbas pertandingan bola sebelumnya. Mas lantas menyanyikan dengan suara keras “Garuda di dadaku....kuyakin hari ini pasti menang!” itulah makanya dia menanyakan pertanyaan diatas, sementara kedua kakaknya masih terus menikmati cerita yang disajikan sambil berpindah-pindah tempat untuk bisa melihat semua nya dari berbagai posisi.

“itu yang perempuan jahat juga ya Ma!” tanya si Kakak, dan aku menjawabnya dengan anggukan kepala.

Aksi penyiksaan yang dilakukan oleh para penyiksa disaksikan oleh beberapa orang yang berada di luar ruang, mereka juga bersenjata. Karena mereka itu terkesan tidak ikut menyiksa si kakak bertanya lagi pada kakaknya

“Lok, kok yang itu (sambil menunjuk) gak ikut nyiksa, dia baik ya Lok?”

Kakaknya yang dipanggil dengan sebutan Elok pun spontan menjawab;

“mana ada PKI yang baik kak, dia sebenernya pengen ikut nyiksa juga, tapi ada tulisan itu tuh tunjuknya, DILARANG MELOMPAT.”

HAHAHA... serempak kami tertawa, termasuk pengunjung lain yang juga ada disana.

Alaaahhh...gak heran, di tengah keseriusan selalu ada bahan candaan, maklumlah mereka juga anaknya Abdel dari keluarga Berencanda.

Setelah cerita berakhir, kami baru beranjak ke tempat lain, menuju rumah-rumah lain yang ada disana.

Ada rumah yang dulunya dipakai sebagai Pos Komando Pasopati dan digunakan oleh Letkol Untung sebagai tempat untuk mempersiapkan rencananya menculik 6 orang Jenderal dan 1 orang perwira pertama TNI AD. Rumah ini dibiarkan seperti apa adanya, masih ada peninggalan lama yang asli dan sebagian lagi adalah replika.

Dari rumah Pos Komando kami berjalan ke sebuah rumah yang ternyata dulunya berfungsi sebagai dapur umum, jadi tak heran kalau dibagian belakang bisa kita temukan wajan dan dandang.

Di area yang sama, bisa disaksikan replika mobil yang digunakan dalam aksi penculikan. Sebuah mobil truk merek Dodge sejatinya adalah mobil jemputan PN Arta Yasa, dirampas di Jalan Iskandarsyah Kebayoran Baru. Mobil ini juga dipakai untuk mengangkat jenazah Brigjen TNI Pandjaitan dari rumahnya di Jl Hasanudin 52 Keboyaran Baru Jakarta Selatan ke Lubang Buaya , Pondok Gede, Jakarta Timur.

Seluruh Pameran Taman kami jelajahi, perjalanan diteruskan ke Museum Penghianatan PKI, namun sebelumnya kami melihat-lihat dulu mobil Dinas LetJend TNI A. Yani yang saat itu menjabat sebagai Menpangad dan KOTI (Komando tertinggi).

Mobil dinas yang bernomor registrasi AD-01 kemudian diserahkan sebagai saksi sejarah dan disajikan di Monumen Pancasila sakti ini.

Disamping mobil itu ada juga mobil dinas Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto yang pada tanggal 4 Oktober memimpin langsung jalannya pengangktan jenazah ketujuh pahlawan revolusi dari sumur maut yang menyimpan luka duka Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun