Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie

Padu Padan Ketan

13 Desember 2012   20:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:43 418 0
(dari seri "My Love Affair with Food")

Rumah eyangku di jalan Diponegoro Surabaya berbentuk gerbong kereta api di ingatanku. Walaupun terletak di jalan besar, rumah Pakpuh dan Bupuh (begitu aku memanggil eyang2ku, singkatan dari bapak sepuh dan ibu sepuh) - orang tua ibuku ini, tidak terlalu luas, menyempit ke belakang. Di samping rumah ada gang ke arah perkampungan di belakang. Tahun tujuh-puluhan tersebut, gang banyak diisi oleh pedagang pikulan, pengemudi becak, rumah sementara bagi mereka yang merantau dari desa mengadu nasib di kota.

Kami selalu tidur di kamar utama, terletak paling belakang, yang berbau khas kayu dan kertas tua (aku masih ingat ranjang besar besi dengan tiang-tiang di keempat pojok untuk menggantung kelambu) serta berpintu yang membuka ke belakang, langsung menghadap samping rumah kayu mbah Hadi, tetangga kami. Suami isteri sepuh ini dekat sekali dengan kami. Aku lupa mbah Hadi yang perempuan mengerjakan apa, yang jelas kami berlangganan becak dengan Mbah Hadi yang lelaki.

Saat liburan dari Sumantrah  (begitu kedengarannya dulu para teman-teman kami di gang ini menyebut pulau seberang), dan menginap di rumah Pakpuh/Bupuh yang teringat olehku adalah ketukan pagi-pagi di pintu tadi. Ketika dibuka, selalu ada pemandangan yang kutunggu, MBah Hadi perempuan dengan ketan kukus di tangannya, masih mengepul-ngepul bertabur parutan kelapa remaja dan kilauan butiran gula di atasnya.

Sedini itu aku ter-convert menjadi pengagum ketan.

♥♥♥

Ketan yang saudara kandung beras di tanah lain disebut sebagai beras lengket (sticky rice), beras bergluten (glutinuous rice), beras manis(sweet rice), beras berlilin (waxy rice), atau beras mutiara (pearl rice). Sisa2 kuliahku dulu di teknologi pangan (yang sayup2 teringat) menginformasiku bahwa, pati atau karbohidrat dibentuk oleh si kembar amilosa dan amilopektin. Yang pertama memberi fitur keras dan amilopektin menjadikannya kelat, lengket. Ketan beramilosa kurang dari 1 persen, sementara beramilopektin tinggi. Makanya saling melekat. Kabarnya, ini juga yang menyebabkan ketan lebih membuat tahan kenyang, mengisi porsi perut lebih besar.

Setidaknya itu yang dipercayai oleh orang-orang Laos (dan Thailand utara) sehingga memilih ketan sebagai staple food, makanan pokok. Aku baru tahu tentang ini saat menonton program teve National Geography berjudul Food School, mengenai perjalanan mengunjungi sekolah-sekolah masak di berbagai negara, mempelajari masakan lokal. Hostnya, Ruth Reichl,  eks editor majalah Gourmet (sudah almarhum, majalahnya lho, bukan orangnya)   dalam episode di Laos menunjukkan betapa di negeri ini ketan dimakan dengan sayur, kuah kari, daging, dsb., layaknya nasi di tempat lain.

♥♥♥

Aku bersyukur makanan pokok kita bukan ketan. Memasak ketan tidak sesederhana mencuci beras, mencemplungkannya ke rice cooker dan tinggal 'cetek' menyalakannya. Ketan seperti saudara beras yang manja, perlu perlakuan hati-hati. Direndam, cuci, rendam lagi, baru dikukus. Waah, kesuwen rek...

Dan karena tidak ditemui setiap hari, aku mengasosiasikan ketan dengan saat istimewa, saat ada sesuatu untuk dirayakan. Seperti sarapan.

Dalam pikiranku, sarapan lebih istimewa daripada saat-saat lain, bagai ritual yang perlu upaya ekstra, dinikmati sebisanya dalam ketergesaan untuk memulai aktivitas - merayakan hari baru.

Dan di seputar Nusantara, sarapan dengan ketan sejamak rumput di lapangan bola (aduh, maksa ya? Apa dong analoginya? Ini kan lawan idiom: "mencari jarum di jerami" alias susah dicari... hehehe...).

Dari Aceh aku diceritai oleh kawan-kawanku pedagang kopi bahwa lazimnya di daerah mereka, menyeruput kopi pagi hari selalu ditemani pulut. Di Makasar, menu sarapan bisa songkolo, ketan hitam ditaburi serundeng dan teri plus sepotong telur asin. Di kota2 Jawa, kita sarapan ketan disirami juruh alias gula jawa cair. Di Sumbawa, ketan kuning dimakan robekan daging panjang-panjang berbumbu. Di kota-kota Melayu, ketan disebut pulut, berwarna kuning dinikmati dengan bermacam lauk buat makan pagi. Di Padang, ketan sering disantap dengan pisgor panas, atau sarikayo yang gurih legit. (Begitu menjalin eratnya ketan dengan kebiasaan sarapan di Padang, sampai-sampai (kudengar) dijadikan ungkapan: "Seperti sarapan ketan tanpa kelapa”. Artinya seperti paralelnya di Inggris: 'bangun di sisi ranjang yang salah' (wake up on the wrong side of the bed) atau 'hari rambut jelek' (bad hair day). Kurang lebih bermakna:  bangun pagi dan semuanya jadi salah, tidak seperti yang diharapkan. Gitu deh.)

Ketan juga tampil dalam beragam bentuk. Dalam loyang cetakan menjadi dasar untuk ditumpangi adonan telur, gula dan tepung beras warna-warni menjadi berbagai jenis talam (di kampung ayahku, Banjarmasin disebut wadai).  Dalam bumbung bambu menjadi lemang. Dililit daun kelapa menjadi lepat, dibentuk segitiga menjadi lupis. Dipotong bentuk jajaran genjang diamond menjadi wajik.  Difermentasi menjadi tape ketan. Madu mongso yang sering kutemui di lebaran di rumah Bupuh saat aku masih anak, terbuat tape ketan hitam yang  direbus dengan santan, gula jawa dan air tapi sampai kalis, lalu dibungkus kertas minyak seperti permen.

Namun padu padan ketan aku kenal pertama kali lewat Ayahku yang asli Banjarmasin. Almarhum memperkenalkanku kepada ketan putih kukus dengan macam-macam variasinya: dengan  rendang, abon ikan, kolak pisang duren, daging buah duren, atau bahkan sekedar ditabur kelapa. Ketan khas ayah yang paling sering hadir di rumah masa kecilku sederhana sekali, hanya berteman telur asin.

♥♥♥

Tempat favoritku untuk mengobati kangen ketan ada beberapa: ketan hitam bersanding kolak pisang ala Bugis yang kental santannya dan merahnya gula meresap ke pori-pori pisang (dalam gambar sebelah kanan tengah). Ini bisa kubeli di Warung Dessaku Delima, Passer Koeningan di Pasar Festival. Ketan putih kukus disiram serikaya yang padat lembut kubeli di Bopet Mini Pasar Benhil (gambar kanan paling bawah). Boleh juga setiap suap ketan diselingi gigitan pisang goreng kipas panas-panas. Terkadang aku sarapan ketan siram susu di warung jalan Garuda ujung di Kemayoran yang buka 24 jam. Tapi pagi ini aku sarapan ketan di rumah.

Ketan kukusnya boleh dapat kiriman. Senang betul, kalau bikin sendiri malas, dan mau beli polosan jarang yang jual. Ketan kupadu dengan mangga dan kusiram santan. Aneh? Ya memang betul aneh. Perkenalanku dengan hidangan ini tak sengaja. Aku sedang berjalan mengarungi ratusan kedai luar ruangan di bawah bintang sepanjang jalan Alor di Kuala Lumpur suatu malam. Susah menjatuhkan pilihan di antara segitu banyak tawaran menggiurkan. Tapi waktu bertubrukan dengan tulisan “Mango and Sticky Rice’ di satu kedai Thailand, memilih jadi mudah. Ternyata rasanya unik.

Yang kubuat pagi ini bahkan jauh lebih enak. Mungkin karena mangganya masak pohon, ketannya dimasak sempurna, dan santannya kental, segar dan legit. Mau mencoba?

KETAN MANGGA SIRAM SANTAN

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

(untuk ketannya)

1 cup ketan dicuci bersih dan direndam beberapa jam

100 ml santan

Daun pandan dirobek

Sedikit garam

Santan didihkan bersama daun pandan dan garam. Adukkan ke dalam ketan sampai santan meresap ke dalam bulir ketan. Kukus.

(menyajikan)

Hidangkan dengan mangga yang diiris kedua pipi lalu dipotong serong. Siram dengan santan yang dimasak sampai kental dan diberi sedikit gula dan garam. (Aku curang, pakai santan kemasan merek Kara)

Paling enak dihidangkan dingin, baik ketan, maupun mangga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun