Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Perkembangan HAM di Indonesia Pasca-Ordebaru

1 April 2015   09:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 315 0



Tulisan ini memaparkan perkembangan situasi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pasca-Orde Baru. Manfaat yang ingin diperoleh adalah mengetahui pengaruh demokratisasi terhadap kinerja penegakan HAM.


Paparan yang dikemukakan di sini bukanlah tinjauan dari sudut ilmu hukum – perspektif yang dahulu lebih umum digunakan dalam kajian tentang HAM. Situasi HAM akan dilihat sebagai sebuah capaian (outcome) dari proses politik demokrasi. Cara pandang seperti ini antara lain dipopulerkan oleh David Beetham. Tesis utamanya adalah bahwa kemajuan atau kemunduran HAM menjadi penanda penting capaian demokrasi karena demokrasi mempersyaratkan adanya hak dan kebebasan manusia (warga negara) untuk dapat menjalankan kontrol terhadap pengelolaan kepentingan bersama. Karena itu, Beetham membangun kerangka democracy assessment yang mencakup penilaian terhadap institusi-institusi yang berkaitan dengan HAM.[1]


Tulisan ini menyandarkan diri pada hasil-hasil tiga democracy assessment yang dilakukan oleh Demos dan Universitas Oslo (Demos-UiO) pada 2003/2004 dan 2007, serta oleh Universitas Gadjah Mada dan UiO (UGM-UiO) pada 2013. Ketiga assessment itu menggunakan kerangka yang dikembangkan Beetham dan membuat sejumlah penyesuaian dalam sebagian instrumennya (Priyono dkk. eds. 2007; Samadhi dan Warouw, eds. 2009, pp. 55-59).


Sebagai pemandu perbandingan hasil-hasil dari ketiga assessment, bagian awal tulisan ini akan memaparkan garis besar metoda assessment yang digunakan, khususnya untuk menilai perkembangan situasi HAM.


1. HAM dalam kerangka assessment Demos-UGM-UiO


Secara garis besar, ketiga assessment menggunakan kerangka kerja yang sama untuk menilai situasi institusi-institusi demokrasi, termasuk institusi penegakan HAM. Ada tiga aspek yang menjadi sasaran penilaian, yaitu (1) situasi aktual institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM, (2) kecenderungan perubahan situasi institusi demokrasi dari waktu ke waktu, dan (3) pengaruh aktor terhadap situasi aktual dan kecenderungan perubahan itu.[2]


Penilaian terhadap situasi aktual institusi dilakukan berdasarkan pencermatan atas dua aspek, yaitu kinerja[3] institusi dan cakupannya. Penilaian atas kinerja institusi didasarkan atas kualitas dukungan berbagai perangkat aturan dan regulasi formal yang berlaku terhadap prinsip-prinsip HAM. Misalnya, seberapa kuat perangkat-perangkat aturan dan regulasi formal yang berlaku dapat mendorong pemajuan HAM. Semakin kuat dukungannya, semakin baik kinerja institusi HAM.


Mengenai cakupan, ada dua dimensi yang dinilai. Pertama, dimensi sebaran geografis, yaitu penilaian atas keluasan wilayah keberlakuan perangkat aturan dan regulasi formal yang berkaitan dengan institusi HAM. Kedua, dimensi kedalaman substansi HAM dalam berbagai aturan dan regulasi formal. Misalnya, seberapa komprehensif prinsip-prinsip HAM diakomodasi di dalam berbagai perangkat aturan dan regulasi formal yang ada. Semakin luas sebaran wilayah keberlakuannya dan semakin dalam muatan substansinya, semakin baik cakupan institusi HAM.


Situasi aktual institusi HAM, karena itu, adalah akumulasi kecenderungan penilaian terhadap kinerja dan cakupan aturan dan regulasi formal dalam mendukung prinsip-prinsip HAM. Semakin baik kinerja dan cakupan institusi-institusi yang berkaitan dengan aspek-aspek HAM, semakin baik pula situasi aktual institusi HAM.


Kedua, penilaian atas kecederungan perubahan situasi institusi. Aspek penilaian ini tentu saja didasarkan atas pencermatan kualitatif terhadap perkembangan kecenderungan situasi institusi HAM dalam periode lima tahun terakhir hingga saat assessment dilakukan. Perubahan itu dapat mengarah pada situasi yang membaik, memburuk, atau tidak berubah signifikan (stagnan).


Ketiga, penilaian tentang bagaimana para aktor mempengaruhi institusi HAM. Apakah para aktor cenderung menggunakan sekaligus mempromosikan aturan-aturan dan regulasi yang mendukung prinsip HAM, atau sebatas menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau mungkin pula cenderung memanipulasi dan mengabaikan institusi HAM? Aspek ini penting untuk melihat kapasitas para aktor untuk memanfaatkan struktur kesempatan politik yang ada dalam upaya mempengaruhi situasi aktual institusi HAM.


Perlu dicatat di sini bahwa pada assessment Demos-UiO 2003/2004 dan 2007, penilaian atas institusi HAM disebar melalui penilaian reflektif terhadap empat aspek yang tergolong dalam kualifikasi Hak Sipil dan Politik, serta empat aspek Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Terakhir, ketika assessment dilakukan oleh UGM-UiO pada 2013, penilaiannya dilakukan secara agregatif, yaitu terhadap Prinsip HAM Universal.


Meskipun kerangka kerja yang digunakan tetap sama, masing-masing assessment dilakukan dengan instrumen yang berbeda. Perbedaan itu lebih merupakan sebagian implikasi dari upaya pengembangan instrumen daripada perombakan total. Karena itu, perbedaan-perbedaan instrumentasi tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pemaparan hasil-hasil ketiga assessment yang akan diperbandingkan.


Sekalipun berbeda instrumen, secara kualitatif sesungguhnya tidak ada perbedaan. Para informan yang melakukan assessment pada 2013 tetap diminta melakukan evaluasi dan refleksi menyangkut aspek-aspek HAM sebagaimana ada di dalam instrumen sebelumnya. Dengan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan akumulatif, hasil-hasil assessment 2003 dan 2007 dapat diletakkan bersisian dengan hasil assessment UGM-UiO 2013.


2. Situasi HAM 1998-2003


Periode ini adalah tahun-tahun pertama reformasi. Gejala-gejala yang tampak di permukaan adalah menonjolnya praktik-praktik dan ekspresi kebebasan di berbagai sektor. Partai politik mendadak berkembang jumlahnya, meningkat sangat drastis jika dibandingkan dengan tiga partai hasil rekayasa fusi partai pada awal 1970-an. Pemilihan umum 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Para pekerja bebas mendirikan organisasi dan serikat buruh. Media massa juga tumbuh pesat, dengan corak dan isi yang beragam, mulai dari informasi bernilai berita, gosip, hingga konten menjurus pornografi. Seiring dengan perkembangan teknologi, industri media juga tumbuh tidak lagi hanya dalam bentuk media cetak, TV dan radio, tetapi juga online media yang menghadirkan karakter media interaktif yang tak terbatas. Aksi-aksi demonstrasi, baik yang luas di jalanan maupun yang terbatas, misalnya aksi mogok makan, berlangsung nyaris setiap saat di berbagai tempat. Singkatnya, periode ini sangat ditandai oleh berbagai letupan ekspresi kebebasan yang sangat kontras dibandingkan suasana ketertutupan dan penuh kekangan yang menjadi ciri selama puluhan tahun kekuasaan otoritarian.


Tetapi, dalam konteks demokratisasi, apakah semua gejala kebebasan dan keterbukaan itu sekaligus menjadi indikasi pesatnya capaian kemajuan situasi HAM di Indonesia?


Situasi aktual hak sipil dan politik


Hanya sekitar 60 persen informan yang meyakini aturan-aturan dan regulasi formal yang berlaku saat itu menjamin penegakan dan penghormatan atas hak-hak sipil dan politik. Di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya, situasinya lebih buruk. Secara rata-rata, hanya 33 persen informan yang menilai institusi demokrasi yang ada pada saat itu menjamin hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jika dibuat rata-rata, situasi HAM saat itu cenderung dianggap baik oleh hanya 45 persen informan.


Benar bahwa institusi formal demokrasi cenderung menjamin “kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi”, dan “kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan”, akan tetapi hasil penilaian reflektif para informan menyimpulkan jaminan atas kebebasan-kebebasan itu tidak cukup terdistribusi secara merata di berbagai tempat dan belum mencakup semua prinsip-prinsip yang seharusnya ada. Kebebasan untuk “mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja” juga kelihatannya baru sebatas ekspresi spontan, belum secara formal memperoleh jaminan sebagai bagian institusi demokrasi yang integral. Yang paling mengejutkan, hanya sebagian kecil informan (26 persen) yang menyatakan bahwa perangkat-perangkat aturan dan regulasi demokrasi yang ada telah menjamin “kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut”, itu pun dengan cakupan yang terbatas. Alhasil, aspek kebebasan yang disebutkan terakhir itu memperlihatkan situasi yang lebih buruk dibandingkan situasi rata-rata hak sipil dan politik. Lihat Tabel 1.


Tabel 1. Penilaian terhadap situasi hak sipil dan politik (2003/2004)








NO



ATURAN DAN REGULASI FORMAL



Kinerja baik



Cakupan luas



Penilaian umum





1



Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut



26%



31%



29%





2



Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi



81%



67%



74%





3



Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja



66%



47%



57%





4



Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan



81%



67%



74%






Institusi hak sipil dan politik



64%



53%



58%





Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.


Situasi aktual hak ekonomi, sosial dan budaya


Di antara aspek-aspek dalam hak ekonomi, sosial dan budaya, aspek kesetaraan gender dan emansipasi memperlihatkan situasi yang terbaik. Namun, secara umum kecenderungan penilaian baik itu hanya direfleksikan melalui penilaian 47 persen informan. Jaminan atas “hak memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar” dan “hak-hak anak” tampaknya menjadi aspek yang paling terabaikan dalam pembangunan institusi demokrasi. Secara rata-rata, situasi pada kedua aspek itu dianggap baik oleh hanya 26 persen dan 22 persen informan. Lihat Tabel 2.


Tabel 2. Penilaian terhadap situasi hak ekonomi, sosial dan budaya (2003/2004)







NO



ATURAN DAN REGULASI FORMAL



Kinerja baik



Cakupan luas



Penilaian umum





1



Kesetaraan gender dan emansipasi



54



39



47





2



Hak-hak anak



24



28



26





3



Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar



18



26



22





4



Hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara



36



39



38






Institusi hak ekonomi, sosial dan budaya



33



33



33





Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.





Perkembangan institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM


Kecenderungan penilaian yang menyatakan situasi HAM tidak begitu mengesankan konsisten dengan data lain tentang penilaian atas perkembangan HAM selama lima tahun hingga assessment itu dilakukan. Secara rata-rata, hanya 50-an persen informan yang menilai situasi hak sipil dan politik mengalami kemajuan signifikan, dan sekitar 30 persen yang menilai situasi hak ekonomi, sosial dan budaya berkembang maju.


Perkembangan paling mengesankan tampaknya terjadi pada aspek “kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi”. Terdata 72 persen informan yang dalam refleksinya menyimpulkan kinerja dan cakupan institusi demokrasi sudah semakin baik mengatur aspek ini. Sebaliknya, perkembangan institusi demokrasi dalam periode lima tahun pertama reformasi dianggap masih belum memberikan jaminan yang cukup atas “hak memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar”. Secara rata-rata hanya 15 persen informan yang menyatakan aspek ini berkembang baik. Kemandegan situasi juga relatif terlihat pada institusi demokrasi yang berhubungan dengan “hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara”, “kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut”, serta “hak-hak anak”. Lihat Tabel 3.

Tabel 3. Penilaian terhadap perkembangan hak sipil dan politik (2003/2004)








NO



ATURAN DAN REGULASI FORMAL



Kinerja membaik



Cakupan meluas



Perkembangan membaik





A



Institusi hak sipil dan politik



56



51



53





1



Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut



27



26



27





2



Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi



75



69



72





3



Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja



58



54



56





4



Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan



62



56



59





B



Institusi hak ekonomi, sosial dan budaya



31



31



31





5



Kesetaraan gender dan emansipasi



59



55



57





6



Hak-hak anak



22



24



23





7



Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar



14



16



15





8



Hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara



28



27



28





Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.


Sikap aktor terhadap institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM








Menarik untuk diamati, kecenderungan penilaian tentang situasi dan perkembangan HAM seperti itu relatif setara dengan kecenderungan sikap para aktor pro-demokrasi terhadap aspek-aspek HAM yang dinilai. Sebanyak 70 persen aktor pro-demokrasi dianggap memiliki perhatian dan sikap mendukung terhadap aspek “kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi”. Proporsi itu adalah yang tertinggi dibandingkan proporsi dukungan yang diberikan kepada aspek-aspek HAM lainnya. Di sisi lain, aspek-aspek HAM tentang jaminan atas “hak-hak anak” dan “hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar” serta kebebasan untuk “mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja” tidak cukup memperoleh dukungan dari para aktor pro-demokrasi. Aspek-aspek itu hanya didukung perkembangannya oleh masing-masing sekitar 45 persen aktor pro-demokrasi. Boleh jadi, kurangnya dukungan para aktor pro-demokrasi menyebabkan aspek-aspek itu berada dalam situasi yang tidak terlalu baik dan kurang mengalami perkembangan. Lihat Tabel 4.






Tabel 4. Kecenderungan aktor pro-demokrasi untuk mendukung institusi HAM (2003/2004)







NO



ATURAN DAN REGULASI FORMAL



Proporsi





A



Institusi hak sipil dan politik



53





1



Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut



46





2



Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi



70





3



Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja



45





4



Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan



50





B



Institusi hak ekonomi, sosial dan budaya



49





5



Kesetaraan gender dan emansipasi



57





6



Hak-hak anak



45





7



Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar



45





8



Hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara



47





Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.






3. Situasi HAM 2003-2007








Sebagian besar periode penilaian ini termasuk masa pemerintahan SBY-JK yang dimulai pada 2004. Periode pemerintahan ini ditandai oleh pendekatan yang menekankan perbaikan kinerja pemerintahan, seperti good governance, akuntabilitas pemerintahan, dan semangat antikorupsi.


Periode ini ditandai juga oleh menguatnya wacana tentang efisiensi demokrasi, misalnya tentang kebutuhan atas sistem kepartaian yang lebih sederhana. Gagasan efisiensi terjadi karena secara makro demokrasi telah kian berkembang semata-mata menjadi sebuah wahana kontestasi elektoral yang panas. Di dalamnya para elit bertarung satu sama lain memperebutkan kekuasaan dan menarik keuntungan. Dalam situasi seperti itu, demokrasi dianggap sebagai biang keladi munculnya konflik dan politik-biaya-tinggi melalui praktik-praktik politik uang.


Kedua karakter itu pada gilirannya melahirkan kecenderungan gaya politik baru, yaitu politik pencitraan dan politik yang mengutamakan keteraturan (politics of order). Politik pencitraan dibutuhkan bukan saja untuk ‘memoles’ secara cepat wajah good governance, tetapi juga menjadi alat baru bagi kalangan politisi dan aparat pemerintahan untuk merebut dukungan. Di dalam proses kontestasi para elit yang sama kuat sumber ekonominya, uang tidak lagi dianggap cukup. Citra populis mulai berkembang menjadi alternatif baru.


Situasi makro itu kelihatannya sedikit-banyak berpengaruh terhadap kinerja institusi demokrasi tentang HAM, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan atas hak-hak sipil dan kebebasan politik.
Situasi aktual hak sipil dan politik


Situasi hak-hak sipil dan kebebasan politik pada periode ini relatif baik. Jika dirata-rata, sekitar 62 persen informan yang terlibat dalam assessment cenderung memberikan penilaian baik terhadap empat aspek kebebasan sipil dan politik. Situasi ini relatif sama, atau meningkat sedikit, dibandingkan hasil assessment sebelumnya (58 persen, Tabel 1).


Aspek “kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan” masih menjadi aspek hak sipil dan politik yang paling baik dalam pembangunan institusi demokrasi. Indikasinya terlihat dari 72 persen informan – proporsi tertinggi – yang memberikan penilaian baik terhadap aspek itu. Hasil ini sekaligus mengindikasikan kecenderungan yang sama dibandingkan hasil assessment sebelumnya (74 persen, Tabel 1).


Perkembangan yang relatif signifikan terjadi pada aspek ”kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut”. Dalam hal kualitas/kinerja-nya, aspek ini dianggap baik oleh 82 persen informan – bandingkan dengan hanya 26 persen informan yang menganggapnya baik pada 2003/2004. Proporsi informan yang menilai aspek ini sudah tercakup luas pun bertambah, dari 31 persen menjadi sekitar 42 persen. Secara umum, 55 persen informan menilai institusi demokrasi yang berkaitan dengan”kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut” berada dalam situasi umum yang baik.


Akan tetapi, dengan cara pandang yang berbeda, kita dapat melihat bahwa kemajuan hak sipil dan politik itu lebih didorong oleh kualitas institusinya, bukan dari segi keluasan penerapan dan substansi kandungannya. Secara rata-rata, hanya 55 persen informan yang menyatakan regulasi tentang kebebasan sipil dan politik telah diterapkan secara luas, dan hanya 48 persen yang menilai aturan dan regulasi demokrasi mengakomodasi nilai-nilai prinsip kebebasan sipil dan politik. Jika dihitung secara rata-rata, aspek cakupan geografis dan substansi hak sipil dan politik hanya dianggap baik oleh 52 persen informan – relatif sama dengan hasil assessment sebelumnya (Tabel 1). Artinya, hak sipil dan politik hanya mengalami perkembangan formalistik demi citra positif, bukan dalam penerapannya.


Situasi formalistik itulah yang barangkali bisa menjelaskan mengapa di tengah-tengah proses institusionalisasi hak sipil dan politik, justru masih berkembang pelarangan dan serangan terhadap aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia, juga terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggap sesat (misalnya Jamaah Salamullah pimpinan Lia Aminuddin dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushadek). Tambahan lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada periode itu kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang konservatif, hingga menerbitkan fatwa yang melarang ajaran pluralisme, liberalisme, dan toleransi (Samadhi dan Warouw, eds. 2007, p. 68).





Tabel 5 di bawah ini menggambarkan secara ringkas penilaian terhadap situasi hak sipil dan politik.












Tabel 5. Penilaian terhadap aspek-aspek hak sipil dan politik (2007)







NO



ATURAN DAN REGULASI FORMAL



Kinerja baik



Diterapkan luas



Substansi baik



Penilaian umum





1



Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut



82



43



40



55





2



Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi



84



60



51



65





3



Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja



80



48



40



56





4



Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan



87



69



61



72






Institusi hak sipil dan politik



83



55



48



62





Sumber: “Tabulasi Data” dalam Samadhi dan Warouw eds. (2009); data diolah.








Situasi aktual hak ekonomi, sosial dan budaya


Penilaian informan terhadap kinerja hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, secara umum tidak terlalu berbeda dibanding terhadap kelompok hak sipil dan politik. Terhadap keempat aspek yang dinilai, rata-rata sebanyak 84 persen informan memberikan penilaian baik. Akan tetapi, secara rata-rata hanya sekitar 40-an persen informan yang menyatakan regulasi demokrasi yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, diterapkan secara meluas dan mencakup substansi yang komprehensif. Penilaian seperti itu mengindikasikan bahwa aturan dan regulasi yang berkenaan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, masih sebatas formalistik, tidak merata di semua wilayah, dan dangkal substansinya. Secara keseluruhan, hanya 56 persen informan yang cenderung memberikan penilaian baik terhadap situasi umum hak-hak sosial, ekonomi dan budaya.


“Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar” masih merupakan aspek terburuk di antara aspek-aspek lainya. Dibandingkan aspek-aspek lainnya yang dianggap baik oleh lebih dari 80 persen informan, aspek ini hanya dinilai berkinerja baik oleh 78 persen informan. Lebih dari itu, aspek ini juga cenderung dinilai hanya berlaku secara terbatas dan tidak cukup komprehensif substansinya. Secara rata-rata, hanya 51 persen informan yang menyatakan situasi institusi ini baik.


Situasi institusi yang paling baik dan mengalami perkembangan signifikan adalah “hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara”. Meskipun bukan yang dianggap paling bagus kualitasnya, akan tetapi aspek ini dinilai memiliki cakupan penerapan yang luas dan mengatur hal-hal yang substantif. Secara rata-rata, institusi demokrasi yang berkenaan dengan aspek ini dianggap baik oleh 64 persen informan. Kecenderungan ini meningkat dibandingkan assessment sebelumnya (38 persen, Tabel 2).


Macetnya perkembangan situasi institusi demokrasi yang berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan hal yang cukup mengkhawatirkan dalam proses pembangunan demokrasi. Kondisi itu telah menimbulkan pandangan bahwa demokrasi tidak berhasil menciptakan kesejahteraan. Masyarakat merasakan kehidupan ekonomi menjadi semakin sulit akibat mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, kebebasan dan keterbukaan politik dianggap hanya menimbulkan konflik, kerusuhan, dan aksi-aksi demonstrasi yang menyusahkan masyarakat. Tak heran jika pada periode itu mulai bermunculan ungkapan-ungkapan keputus-asaan terhadap demokrasi. Sebagian kelompok masyarakat menyatakan kerinduan pada stabilitas keamanan sebagaimana masa Orde Baru.


Tabel 6 di bawah ini menggambarkan secara ringkas penilaian terhadap situasi hak ekonomi, sosial dan budaya, hasil assessment Demos-UiO 2007.


Tabel 6. Penilaian terhadap aspek-aspek hak ekonomi, sosial dan budaya (2007)







NO



ATURAN DAN REGULASI FORMAL



Kinerja baik



Diterapkan luas



Substansi baik



Penilaian umum





1



Kesetaraan gender dan emansipasi



84



41



34



53





2



Hak-hak anak



88



40



42



57





3



Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar



78



40



35



51





4



Hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara



86



57



48



64






Institusi hak ekonomi, sosial dan budaya



84



45



40



56





Sumber: “Tabulasi Data” dalam Samadhi dan Warouw eds. (2009); data diolah.










Sikap aktor terhadap institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM






Dengan instrumen baru yang lebih lengkap, assessment Demos-UiO 2007 tidak hanya melihat sikap aktor pro-demokrasi, tetapi mengungkap pula bagaimana sikap aktor-aktor dominan (yang tidak selalu pro-demokrasi) terhadap perkembangan institusi demokrasi. Hasilnya, rata-rata hanya 38 persen aktor dominan yang dianggap memiliki sikap positif terhadap kemajuan institusi HAM, sedangkan di kalangan aktor pro-demokrasi proporsinya mencapai rata-rata 70 persen. Meskipun tidak cukup berimbang, data ini cukup menjadi pertanda awal yang penting dan optimistik, yaitu bahwa para aktor yang berpengaruh terhadap jalannya demokrasi setidaknya sama-sama memiliki perhatian terhadap aspek HAM.


Dibandingkan data sebelumnya, kecenderungan aktor pro-demokrasi untuk mendukung HAM melalui institusi demokrasi meningkat. Secara rata-rata 70 persen aktor pro-demokrasi dianggap cenderung mendukung institusi demokrasi yang berkaitan dengan prinsip HAM. Aspek hak sipil dan politik terlihat masih tetap menjadi prioritas (72 persen), tetapi proporsi aktor pro-demokrasi yang mendukung hak ekonomi, sosial dan budaya meningkat dari 49 persen menjadi 68 persen.
Tabel 7. Kecenderungan aktor untuk mendukung institusi HAM (2007)







NO



INSTITUSI HAM



Aktor dominan



Aktor alternatif





1



Hak sipil dan politik



39



72





2



Hak ekonomi, sosial dan budaya



36



68






Institusi HAM



38



70





Sumber: “Tabulasi Data” dalam Samadhi dan Warouw eds. (2009); data diolah.



4. Situasi HAM 2007-2013


Instrumen yang digunakan UGM-UiO pada assessment 2013 sayangnya tidak sedetil yang digunakan pada dua assessment sebelumnya. Aspek-aspek kebebasan dan hak-hak sipil dan politik serta hak-hak sosial, ekonomi dan budaya dikompilasi ke dalam satu indikator saja, yaitu prinsip-prinsip universal HAM. Karena itu, tidak ada gambaran yang diperoleh tentang kinerja HAM dalam aspek-aspek yang lebih terperinci. Rangkuman hasilnya disajikan pada Tabel 8.



Jika dibandingkan dengan kecenderungan umum yang ditemukan sebelumnya, assessment ini secara sepintas memperlihatkan bahwa situasi HAM terus mengalami perbaikan dalam isntitusionalisasi demokrasi. Kinerja institusi demokrasi yang berkaitan dengan pemajuan HAM dianggap cenderung positif oleh 78 persen informan, relatif jauh di atas kecenderungan penilaian pada periode sebelumnya. Meskipun dianggap baik oleh lebih banyak informan, situasinya boleh jadi tidak sepositif itu. Sebab, hanya 36 persen informan yang meyakini situasi aktual institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM mengalami kemajuan. Artinya, ada lebih banyak informan yang cenderung berpendapat sebaliknya.


Memang, assessment UGM-UiO 2013 memperlihatkan ada sedikit trend menurun dalam hal dukungan aktor pro-demokrasi terhadap institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM. Menurut penilaian informan, hanya 65 persen aktor pro-demokrasi yang memperlihatkan dukungan terhadap HAM. Di sisi lain, ada kecenderungan peningkatan proporsi aktor dominan yang bersikap mendukung aspek HAM dalam institusi demokrasi.


Analisis seperti ini mengantarkan pertanyaan: apakah keterlibatan aktor dominan yang cenderung meningkat memiliki korelasi dengan ketidakyakinan atas kemajuan aspek HAM? Sayangnya, instrumen UGM-UiO tidak menyediakan data yang cukup untuk menjawab itu. Secara spekulatif, bisa saja disimpulkan bahwa yang terjadi lagi-lagi adalah perkembangan formalistik belaka ketimbang perbaikan substansial.
Tabel 8. Hasil assessment 2013 mengenai institusi HAM







NO



INDIKATOR ASSESSMENT



Proporsi





1



Situasi institusi HAM cenderung baik



78





2



Institusi HAM cenderung berkembang



36





3



Aktor dominan cenderung mendukung institusi HAM



46





4



Aktor alternatif cenderung medukung institusi HAM



65
























______________




Kerangka pertama diperkenalkan David Beetham (1999) melalui proyek Democracy Audit yang dijalankan oleh sebuah kelompok riset di Pusat Hak Asasi Manusia di Universitas Essex. Kerangka assessment itu digunakan untuk menilai situasi 80 institusi demokrasi berbasis HAM. Pendekatan ini, kemudian, dikembangkan sebagai standar penilaian demokrasi oleh IDEA Internasional (Beetham, dkk. 2002, 2008).
















Yang dimaksud dengan institusi demokrasi adalah segala perangkat aturan dan regulasi yang berlaku dalam praktik politik demokrasi. Institusi itu dapat bersifat formal dalam berbagai bentuk aturan perundang-undangan (mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat lokal terkecil), tetapi dapat pula bersifat informal berupa nilai-nilai, kebiasaan, tradisi, yang secara umum diterima, berlaku, dan sudah dianggap sebagai bagian yang wajar dalam konteks sosial-politik di mana nilai-nilai, kebiasaan, dan tradisi itu ada. Dalam tulisan ini, hanya penilaian atas institusi formal yang akan dibahas.
















Pada assessment Demos-UiO 2003 istilah yang digunakan adalah kualitas.
















Referensi










Beetham, D. 1999. Democracy and Human Rights. Oxford: Polity Press.






Beetham, David, S. Bracking, I. Kearton, and S. Weir. 2002. International IDEA Handbook and Democracy Assessment. The Hague, London, New York: Kluwer Law International.






Beetham, David, Carvalho, Edzia, Landman, Todd, Weir, Stuart. 2008. Assessing the Quality of Democracy: A Practical Guide. Stockholm: International IDEA.






Priyono, AE., Willy Purna Samadhi and Olle Törnquist (eds.). 2007. Making Democracy Meaningful: Problems and Options in Indonesia. Jakarta: Demos.






Samadhi, Willy P., Nicolaas Warouw (eds.). 2009. Demokrasi di Atas Pasir. Jakarta-Yogyakarta: Demos-PCD Press.






Savirani, Amalinda, dkk. 2013. “Laporan Eksekutif Democracy Baseline Survey”. Proyek kerja sama riset UGM-UiO tentang Power, Welfare and Democracy (PWD). Yogyakarta.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun