Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Nasib Trem Malang Setelah 115 Tahun

17 November 2012   01:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:12 3826 1

Tanggal 14 November 2012 kemarin sebenarnya adalah tanggal bersejarah bagi Malang. Sebab 115 tahun sebelumnya NV Malang Stoomtrammaatschappij (Maskapai Trem Uap Malang) mulai menjalankan trem uap sebagai alat transportasi massal di Malang. Rangkaian trem penumpang yang ditarik oleh satu lokomotif uap tersebut sejak 14 November 1897 dioperasikan pada rute antara Stasiun Trem Jagalan yang berlokasi di Van Kesetren Weg (sekarang Jalan Halmahera) dan Stasiun Trem Bululawang yang berlokasi di Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang. Rute sepanjang 11 kilometer tersebut merupakan rute trem pertama yang dibuka untuk umum oleh maskapai tersebut. Selanjutnya tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun 1908, jaringan rel trem uap Malang telah berhasil menghubungkan Kota Malang dengan wilayah-wilayah penyangga, yakni Tumpang, Singosari, Dampit, Gondanglegi dan Kepanjen dengan panjang rute keseluruhan 85 kilometer (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997 : 176). Tentu panjang rel yang pernah dibangun secara keseluruhan melebihi 85 kilometer karena Maskapai Trem Malang memiliki banyak stasiun dan emplasemen yang masing-masing setidaknya memiliki dua jalur trem atau dua sepur.

Namun 115 tahun setelah trem uap pertama kali dioperasikan di Malang, keberadaannya seolah terlupakan. Sejak trem mulai dihentikan pengoperasiannya di Malang pada tahun 1978, Stasiun Trem Jagalan di Jl. Halmahera sekarang berubah fungsi menjadi rumah tinggal, peronnya sudah lenyap dan di depannya berderet kios-kios buah-buahan. Kantor Maskapai Trem Malang yang berada di Jl. Irian Jaya juga sudah lenyap dan di atasnya berdiri rumah-rumah. Begitu pula bangunan-bangunan lain seperti gudang dan bengkel kereta (balai yasa) yang keberadaannya sudah sulit dilacak dan hanya bisa dilihat foto-fotonya yang sekarang tersimpan sebagai bagian dari koleksi arsip digital Leiden University, Belanda. Nasib Stasiun Bululawang juga tidak jauh berbeda. Bangunan yang dalam foto-foto lama terlihat berukuran lebih dari 15 meter persegi, sekarang tinggal tersisa kurang lebih 6 meter persegi. Jangan ditanya nasib stasiun-stasiun lainnya! Stasiun Trem Kendalpayak dan Stasiun Trem Sedayu diruntuhkan lalu di atas tanahnya didirikan bangunan  untuk kegiatan bisnis dan tidak jelas apakah pemakaian tanah bekas stasiun tersebut sudah seijin PT KAI selaku pemilik aset atau belum.

Hilangnya trem sebagai satu moda angkutan massal merupakan akibat dari mindset pengambil kebijakan di bidang transportasi yang kurang berpihak pada angkutan massal berbasis rel. Alih-alih  mengembangkan trem uap Malang menjadi trem listrik atau trem diesel, trem mulai dihilangkan dari Malang sejak tahun 1978. Puluhan stasiun dan haltenya menjadi terlantar. Relnya ada yang dibiarkan terpendam dalam tanah atau dicabut.

Pada kenyataannya, wacana pembangunan jalan raya maupun jalan tol memang mengemuka dewasa ini. Seolah-olah dengan kebijakan seperti itu, masalah kemacetan yang terjadi di banyak kota besar dapat dipecahkan. Padahal realita yang terjadi di DKI Jakarta menunjukkan bahwa betapa pembangunan jalan tol ternyata tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Kebijakan semacam itu justru hanya akan memicu pembelian kendraan pribadi.

Saat ini kemacetan lambat laun juga mulai mendera Kota Malang karena kepemilikan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat lebih banyak dibandingkan dengan masa ketika trem masih beroperasi. Pada pagi hari ketika orang-orang berangkat kerja dan jam pulang kerja pada sore hari atau pada hari libur, kemacetan sangat terasa di titik-titik tertentu di Kota Malang, misalnya di kawasan perempatan Blimbing, Embong Brantas dan kawasan Jalan Semeru.  Pada sisi lain, jika  melihat fakta sejarah bahwa pembangunan jaringan trem pada kurun waktu 1897 hingga 1908 yang mendahului kelahiran Kota Malang (Gemeente Malang)  pada 1914, nampaknya kota ini memang dirancang sebagai kota dengan jaringan angkutan massal berbasis rel. Jadi ketika trem dihapuskan dan pertambahan kepemilikan kendaraan pribadi dibiarkan tanpa kendali, timbulnya kemacetan parah sudah dapat diprediksi mulai sekarang.

Namun satu masalah penting yang juga patut menjadi perhatian akibat penonaktifan trem di Malang adalah terlantarnya aset-aset  milik PT Kereta Api Indonesia Persero. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1959, Maskapai Trem Malang merupakan salah satu perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi dan hingga saat ini aset-asetnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia Persero. Jika melihat fakta bahwa harga tanah permeter persegi di sepanjang jalur trem Malang bisa mencapai lebih dari Rp 1,5 juta per meter persegi, sungguh ironis melihat fakta bahwa aset berharga mahal tersebut lebih banyak yang tidak terurus. Belum lagi nilai komersial bangunan-bangunan berupa stasiun-stasiun, gudang, maupun rumah dinas beragam ukuran yang masih berdiri tegak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun