Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Menanti Kesempatan

28 Mei 2021   00:26 Diperbarui: 28 Mei 2021   02:49 378 41
Namanya Ian. Usianya dua puluh lima tahun, sedangkan aku, dua puluh tiga tahun. Ketika pertama kali  bertemu dengannya, aku baru saja pindah ke apartemen yang letaknya tidak jauh dari tempat pekerjaanku yang baru.

Ian mempunyai kebiasaan merokok di balkonnya. Yang aneh, aku paling benci pria perokok, tapi entah mengapa aku justru tertarik pada pandangan pertama saat melihatnya sedang merokok.

Lebih gila lagi, aku bahkan berandai-andai jika suatu hari aku memiliknya,  aku akan berbicara baik-baik dan memintanya untuk berhenti merokok.

Untuk urusan pria, terus terang aku memang sangat pemalu. Jangankan pacar, bicara dengan siapapun lawan jenisku, aku pasti berkeringat dingin. Kalaupun mampu berucap, kata-kata yang terlontar akan membuat mereka mengernyitkan dahi.

Parah, memang! Jadi wajar kalau aku masih menjomblo hingga kini.

Entah mengapa, Ian begitu berbeda. Memikirkannya membuat hatiku menggebu-gebu, ingin cepat mengenalnya. Tak sabar untuk memilikinya! Sayangnya, aku tidak tahu harus memulai dari mana.

Suatu hari, terlintas ide gila di benakku. Aku berpikir, kalau aku pura-pura menjadi perokok dan merokok di balkon, Ian pasti akan menyapa. Kemudian kita berdua dapat mulai berkomunikasi, mengenal satu sama lain.

Jadilah hari itu aku bertekad membeli sebungkus rokok. Ian selama ini kuperhatikan sangat menyukai rutinitas. Pola hidupnya mudah ditebak. Ian selalu merokok di balkon pada jam yang sama. Jam enam pagi dan jam delapan malam. Setiap hari.

Pagi itu tepatnya pukul enam, kulihat Ian di balkon menikmati sebatang rokok. Segera kunyalakan batang rokok, tanpa menghisapnya. Kemudian aku berdiri di balkon dengan rokok di tangan.

Lima menit aku berada di sana dan Ian bergeming barang sedikitpun. Sepertinya ia terlalu menikmati rokoknya. Tak lama, Ian bergegas masuk ke Apartemennya.

Walau kecewa, aku berharap jam delapan malam nanti aku akan melihatnya kembali di balkon. Dugaanku tidak meleset. Ian berada di sana menikmati sebatang rokok tepat pada jam delapan malam.

Seperti tadi pagi, kunyalakan sebatang rokok, lalu keluar menuju balkon dengan rokok di tangan. Dan seperti tadi pagi pula, aku harus kecewa. Ian sama sekali tidak memperhatikan keberadaanku.

Keesokan harinya kuulangi hal yang sama. Jam enam pagi dan jam delapan malam. Lagi-lagi, aku harus kecewa!

Ini hari ketiga aku di balkon, masih berpura-pura sebagai perokok. Masih  berharap ia menyapa. Kembali harapanku sia-sia. Ian tetap bergeming.

Pagi itu aku memutuskan untuk tetap terus berpura-pura menjadi penikmat kepulan asap dan demi cinta aku akan terus berharap.

Malam kelima, seperti orang gila aku berdiri di balkon dengan sebatang rokok yang kubiarkan berasap di tanganku. Meski tak berharap banyak, mataku tetap tertuju padanya.

Tak kuduga, tetiba ia menengadahkan pandangannya ke arahku. Entah enerji supranatural dari mana merasuki tubuhku, sontak aku punya nyali melambaikan tanganku ke arahnya. Ian tak membalas lambaianku tapi malah menunduk lalu masuk ke dalam apartemennya.

Malam itu aku takbisa tidur. Ian telah memandang ke arahku dan itu berarti ia mulai tahu akan keberadaanku. Pikiranku melayang taktentu arah.

Keesokan paginya, saat berpura-pura merokok di balkon, tanpa kuduga Ian berjalan mendekati balkonku.

"Penghuni baru, ya?"

" Iya, tapi gak juga sih aku sudah tiga mingguan tinggal di Apartemen ini!"

Percakapan itu bagaikan pemecah gunung es. Setelahnya,  percakapan di balkon terus berlanjut. Jam enam pagi dan jam delapan malam. Setiap hari.

"Kuperhatikan, kamu kok tidak pernah menghisap rokokmu, sih?" Pertanyaan Ian yang tiba-tiba begitu mengagetkanku.

"Oh, eh.. aku sedang berusaha berhenti merokok. Ini caraku untuk menghalau keinginan merokok!" Tanggapku sekenanya.

Lega rasanya mengatakan itu. Karena setelahnya aku menjadi diriku sendiri. Berhenti berpura-pura.

Dua minggu setelah rutinitas di balkon, tiba-tiba ajakan meluncur dari mulutku. Entah dari mana keberanian itu muncul.

"Kapan nih kita makan bareng di luar?"

"Terserah, kapan saja kamu mau" Jawabnya singkat sambil melangkah masuk ke dalam apartemennya.

Dua hari setelah itu, aku mengajaknya lagi. Kali ini kutentukan kapan waktunya. Di luar dugaan ia mengatakan kalau ia tidak siap untuk itu, karena ia baru saja bertunangan. Orang tuanya telah menjodohkannya dengan gadis pilihan mereka.

"Hari gini? Masih ada aja perjodohan? Zaman Siti Nurbaya itu sudah basi banget!"

" Ah, kamu gak bakal ngerti, deh!"

"Hah? Apanya yang harus dimengerti, Ian? Kamu cinta dengan cewek itu?"

" Urusan cinta itu ada di nomer terakhir! Ah, sudahlah! It's complicated!"

"Do explain, please?" Aku mulai sengit.

"Semuanya sudah diperhitungkan oleh keluarga besarku dan keluarga besarnya. Hitungannyapun rumit, perpaduan tanggal lahirku, tanggal lahir dia, garis keturunan, silsilah keluarga. Bibit, bebet, bobot!"

"Aku gak mau denger rumit! Aku cuma pengen tahu, kamu cinta gak sama cewek itu?

" Semakin tinggi jabatan seorang lelaki, semakin tinggi uang mahar yang diberikan oleh pihak perempuan!"

"Jawabanmu gak nyambung, Ian! Ok, terakhir kali aku tanya, kamu cinta gak sama cewek itu?"

"Kalau aku tidak menuruti perintah kedua orang tuaku, aku akan dibuang dan dikeluarkan dari silsilah keluargaku!"

Bagiku, pernyataan Ian itu sangat tidak masuk akal. Keluarga macam apa yang mencoret anak mereka dari silsilah keluarga hanya karena tidak mau dijodohkan?

Bagai tentara yang kalah perang, aku seperti tak bertenaga lagi. Tanpa banyak bicara , aku masuk ke dalam apartemen meninggalkan Ian yang masih berdiri di balkonnya.

Hatiku seperti diiris-iris dan dikucuri cuka. Perih!

Setelah kejadian itu, aku takpernah lagi menapakkan kaki di balkonku. Sepertinya Ian juga begitu. Ia tidak lagi merokok di balkonnya. Entah di mana ia merokok, aku takmau tahu lagi!

Peristiwa di balkon itu membuatku menjadi frustrasi karena yang aku inginkan hanyalah berjalan-jalan berdua dengannya. Aku tahu aku akan mencintainya, jika dia memberiku kesempatan. Dan aku yakin ia akan mencintaiku, jika ia memberi dirinya kesempatan.

Entahlah, mungkin aku harus bersabar. Kata orang, kesabaran akan berbuah kebaikan. Biar pencipta alam semesta ini saja yang menentukan apa yang terbaik untukku. Juga Ian.

****

Tiga bulan telah berlalu.

Suatu pagi, aku melihat sebuah amplop merah jambu. Seseorang telah menyelipkannya dari bawah pintu.

"Ada Rumah Makan Makasar dekat kantorku. Aku belum pernah ke sana. Kata orang soto konronya enak. Kamu mau menemani? Jam tujuh malam ini. Kalau mau. Ian."

Sontak, hatiku berdegup kencang! Bagaimana dengan pertunangannya? Apakah sudah berakhir? Kenapa? Atau ia melakukan ini hanya karena kasihan denganku? Gak! Aku gak butuh kasihannya!

Beribu pertanyaan dan spekulasi membombardir benakku. Akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi undangannya. Memberinya kesempatan dengan harapan ia juga memberi kesempatan kepada dirinya sendiri.

Selepas kerja aku tidak langsung menuju rumah makan tetapi pulang ke apartemen terlebih dahulu untuk membersihkan diri karena aku ingin terlihat bersih, cantik dan wangi saat menemuinya nanti.

Pukul tujuh aku meninggalkan apartemen. Jarak dari Apartemen ke rumah makan sekitar 30 menit. Sengaja aku pastikan untuk datang terlambat. Biarin! Lebih baik ia menungguku, daripada aku yang harus menunggunya.

Perjalanan menuju ke rumah makan yang kuharapkan berjalan lancar, ternyata macet total. Tak seperti biasanya parah seperti ini. Dalam hati aku menebak pasti ada kecelakaan besar. Hatiku mulai terasa tidak enak, karena yakin aku akan sangat terlambat menemui Ian.

Aku menyesali keputusanku. Kalau saja aku berangkat lebih awal pasti tidak akan terjebak macet seperti ini. Seharusnya, akulah yang menanti kedatangan Ian di sana.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat aku tiba.  Aku yakin Ian pasti sudah tidak ada di sana. Meski begitu, tetap kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah makan.

Mataku menulusuri setiap sudut ruangan. Dugaanku benar! Ian takterlihat di sana.

Ketika hendak melangkah keluar, seorang laki-laki menghampiriku. Ternyata karyawan rumah makan.

"Mbak, janjian dengan yang namanya Mas Ian ya?"

"Iya, kok tahu?"

"Tadi Mas Ian nungguin cukup lama juga. Tapi terus pergi setengah jam yang lalu. Dia bilang kalau ada yang nyariin dia, katanya ditunggu di balkon jam delapan."

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit saat aku meninggalkan rumah makan, takmungkin rasanya kutemui Ian di balkon malam itu. Kupikir, aku akan menemuinya di balkon besok jam enam pagi.


***

Sekarang hari Jumat, dua hari setelah kemacetan total itu. Hari yang seharusnya menjadi kencan pertamaku dengan Ian.

Kemacetan yang kemudian aku ketahui disebabkan karena kecelakaan besar seperti yang telah kuduga. Hanya saja aku takpernah sedikitpun menduga kalau kecelakaan itu melibatkan Ian.

Ternyata Ian mengendarai kendaraannya dengan kencang hingga lepas kendali dan menyebabkan kecelakaan beruntun yang merenggut nyawanya.

Ya, Ian ngebut hanya karena ingin berada di balkonnya tepat pada jam delapan malam untuk menemuiku.

Hatiku seperti ditusuk-tusuk!

Malam ini di balkon, pikiranku melayang mengenang semua peristiwa indah bersama Ian. Meski hanya sebatas percakapan-percakapan di balkon. Bagiku, itu adalah kenangan indahku bersamanya yang tak akan pernah kulupa.

Seorang wanita muda terlihat membereskan kamar Ian. Sebentar lagi apartemen itu akan kosong. Melompong seperti hatiku!

Tiga bulan aku menanti untuk berkencan dengan seorang pria yang tidak akan pernah kumiliki. Dan menanti, aku akan melakukannya lagi, jika Tuhan memberiku  kesempatan.


Widz Stoops. PC-USA. 05.27.2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun