Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Tiga Kuliah Kepemimpinan Bu Risma di Tragedi AirAsia QZ8501

2 Januari 2015   19:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:57 7498 21


Nah, Anda sudah memperhatikan sepatu Bu Risma bukan? Apakah menurut Anda sepatu itu sesuai dengan busana yang dikenakan beliau? Apalagi beliau adalah seorang wali kota. Namun, ya begitulah Bu Risma. Bagi beliau yang terpenting adalah sepatu itu menunjang mobilitasnya untuk melayani korban. Dari pagi hari hingga sore hari, saya menjadi saksi mata betapa Bu Risma terus berjalan ke luar masuk ruangan crisis center, memberikan keterangan pada media dan menemui banyak pihak. Inilah kuliah kepemimpinan Bu Risma yang pertama; pemimpin lebih mengedepankan peran daripada penampilan. Apa gunanya punya pejabat alias pemimpin publik yang terlalu memperhatikan penampilan sehingga mengorbankan mobilitasnya untuk melayani?

Sebagai seorang yang seringkali harus berdiri dan memimpin ibadah kedukaan, saya mengerti betapa sulitnya memilih kata-kata yang pas bagi keluarga yang berduka. Tentu saja mudah hanya untuk berbicara kata-kata penghiburan yang bersifat umum, namun yang seperti ini tentu saja tak akan menyentuh hati. Pergumulannya adalah bagaimana menempatkan diri dalam posisi keluarga korban, sekaligus sebagai rekan yang memberi kekuatan. Ini tidak mudah.

Saya mencoba mengingat apa yang disampaikan Bu Risma kepada keluarga korban di Crisis Center. Dengan logat khas Surabaya, kurang lebih beliau berkata, ”Hari ini giliran keluarga bapak dan ibu. Besok bisa jadi giliran saya.  Kita tidak pernah tahu. Hidup ini milik Allah.” Ah, saya tertegun mendengar perkataan ini. Bu Risma menguatkan keluarga korban dengan kalimat-kalimat yang langsung nyambung di hati. Menaruh empati, sekaligus menguatkan hati. Inilah kuliah kepemimpinan Bu Risma yang kedua; pemimpin itu lebih mengedepankan komunikasi yang nyambung di hati daripada basa-basi.

Siang hari itu, saya beristirahat dari kegiatan pendampingan keluarga korban, sambil berdiri dan menikmati kopi yang tersedia di salah satu sudut, saya mendengar seorang perempuan berkata, ”Aku bukannya ga mau bantu lho mas. Aku gak pegang datane warga luar Surabaya.  Aku wis kontak walikota karo bupatine njaluk data wargane.”

Bu Risma ternyata sedang berbicara kepada media tentang penanganan korban yang berasal dari luar Surabaya.  Beberapa saat sebelumnya, saya melihat dan mendengar sendiri beliau menelpon seorang kepala daerah dan meminta data korban yang berasal dari daerahnya. Cepat dan lugas. Coba bayangkan seandainya dalam situasi krisis masih harus menempuh jalan birokrasi yang penuh liku itu. Inilah kuliah kepemimpinan Bu Risma yang ketiga; dalam situasi krisis, pemimpin lebih mengedepankan komunikasi informal daripada birokrasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun