Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Mirah, Merah, Murah, Marah

23 Februari 2010   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46 311 0
[caption id="attachment_80110" align="alignleft" width="199" caption="ilustrasi dari www.images.google.com.au"][/caption] Kawan, aku hendak berbagi cerita mengenai Mirah, teman kampungku. Mirah ini janda kembang di kampung. Bukan janda pengusaha kembang. Tapi janda yang ingin disebut kembang. Mirah sedari muda, ketika masih merah warna pipinya, hmmm sekarang terkadang warnanya bersemu ungu, suka menyebut dirinya kembang. Mirah senang dibandingkan dengan kembang yang banyak dikerubungi lebah.

“Aku khan menarik, maka banyak orang ingin dekat denganku.” Kata Mirah di suatu pagi yang cerah.

“Aku ini bak kembang mawar yang merah merona di terpa sinar mentari yang baru saja merekah, embun-embun yang sedari malam menempel masih lengket memeluk kelopakku.” Katanya lagi berpuisi.

Mirah ini suka warna merah. Kalau temannya Mas Inu suka warna ungu, Mirah ini suka warna merah. Ia tidak pernah resah meski banyak mata kerap bergairah menatap merah gincunya, merah saputan pipinya. Namun tak jarang banyak yang gelisah dan jengah dengan merah bajunya, merah sepatunya, merah tasnya, hmmm terkadang giginyapun merah karena terlalu tebal gincunya hingga merembes ke gigi.

Mirah memenuhi halaman rumahnya dengan berbagai bunga warna merah. Ada mawar, ada kana, kalau musim hujan tiba rumahnya merah meriah. Tentu saja itu membuatnya sumringah. Si Mirah kembang desa berwarna merah.

O iya, saya hendak bercerita bahwa Mirah yang suka warna merah ini hendak pergi ke pasar. Jangan dibayangkan dia mau bermain topeng monyat, “Mirah pergi ke pasar, teng-tong-teng-tong”. Bukan, ini Mirah pergi ke pasar karena persediaan gincu merahnya telah habis. Dia butuh pemerah bibir agar terus tampak merekah.

Dia masuk ke toko Barokah milik Ibu Maimunah.

“Aduh Jeng Mirah ini kok udah lama ga ke sini, ke mana saja?”

“Sibuk Buuuu, kapan hari ada tawaran syuting. Setelah saya lihat scriptnya kok banyak adegan panasnya, jadi saya tolak.”

“Adegan panas gimana tho Jeng?”

“Ahhh, Bu Maimunah ini kura-kura dalam perahu, itu lhooo yang buka-buka baju segala.”

“Khan jadi kedinginan kalau buka baju?”

“Aduh! Bu Maimunah ini. Buka baju khan mempertontonkan aurat, itu nanti mengundang syawat, hmmm emangnya saya ini perempuan apaan. Huh!”

“Lho Jeng, emangngya Jeng Mirah ini perempuan apaan?”

“Duhhh, Bu Maimunah ini, sudah-sudah. Aku mau cari gincu merek Markonah yang warnanya seperti mawar yang baru merekah itu. Ada nggak?”

“OOO jangan kuatir. Saya khan selalu menyediakan barang-barang kebutuhan Jeng Mirah. Saya import langsung dari luar negeri lho.”

“Ahhh yang bener?”

“Kok Jeng Mirah tidak percaya. Lihat saja tulisannya, made in garut. Itu negeri jauh lho Jeng.”

“Garut? Hmmm kok rasanya pernah dengar….”

“Pasti penah dong. Penghasil rempah-rempah terkenal.”

“Bukannya itu di ujung barat pulau Jawa?”

“Lhooo itu salah, itu khan Garut penghasil dodol. Ini garut penghasil rempah-rempah. Di sana melimpah segala hasil tanah.”

“Terus hubungannya dengan gincu ini apa.”

“Wow, jangan salah. Meski Garut terkenal karena hasil tanahnya berupa rempah-rempah, gincunya termasuk mewah Jeng.”

“Ahh sudah ah. Susah ngomong sama kamu. Berapa sih harganya?”

“Untuk Jeng Mirah dibutuhkan gincu merah yang mewah. Gincu biasa yang asal membuat bibir basah, kurang pantas untuk Jeng Mirah. Hanya akan mengurangi reputasi Jeng Mirah sebagai kembang kampung kita ini.”

“Aduh! Ga usah memuji-muji gitu ahh, toh semua sudah tahu kalau aku kembang kampung, huh.! Berapa sih harga gincu merah mewah itu?”

“Murah kok Jeng. Cuma sejuta rupiah saja.”

“HAAA! Apaan tuh! Gincu sampai sejuta.”

“Jenggggg ini barang mewah. Yang sangat pantas untuk Jeng Minah kembang kampung.”

“Ihhh, jangan buat aku marah lho ya. Gincu apaan, harga sejuta rupiah. Emangnya aku dapat bail out Century hingga beli gincu saja sejuta? Hah! Emangnya aku dapat subsidi! Hanya [erlu Kamu ketahui aja ya. Tidak ada subsidi untuk janda! Meskipun itu janda kembang. Apaan, gincu sejuta. Emangnya aku koruptor, bisa beli gincu sejuta.”

“Jenggggggg, ini gincu import. Ini sudah tidak dikenakan pajak, kalau kena pajak harganya bisa 2 juta rupiah.”

“Ihhh, apaan gincu kena pajak. Emangnya ini mkobil buat mentri bebas pajak. Memangnya ini pesawat kepresidenan, perlu yang mewah. Ini gincu. Ini pemerah bibir agar tampak merekah.”

“Jengggggg, jangan marah dulu dong. Jeng Mirah ini khan symbol kampung kita, sebagai janda kembang. Malu dong kami ini kalau janda kembangnya tidak pakai barang mewah. Yang lain, janda-janda yang lain itu boleh pakai gincu murahan. Tapi Jeng Mirah, sebagai symbol kampung kita ini, harus memakai yang mewah.”

“Alaahhhh itu khan kalau aku pejabat Negara. Aku ini symbol Negara. Perlu memakai barang yang mewah. Yang sebenarnya bisa untuk membangun sekolah dari pada untuk beli mobil sedanmewah atau pesawat presiden mewah. Aku ini hanya janda. Janda. Janda. Janda itu tidak ada penghasilannya. Pendapatan utamaku itu digosipin. Masih makai barang mewah! Ga jadi beli ah!”

Karena marah, Mirah tampak semakin memerah. Ia melangkah gagah meninggalkan toko Barokah. Di depan kios Marwah ia berhenti dan menoleh. “Wah, ada gincu merah ga!”

“Ada Rah. Mau berapa?”

“Sebiji berapa?”

“Seribu.”

“Nih uangnya! Ambil kembaliannya. Aku mau sepuluh biji”

“Untuk apa sih beli banyak gincu.”

“Mau aku sumbangkan ke wakil kampung, agar bibirnya merona merah, hingga berani berkata gagah, berteriak lantang membongkar segala kelicikan pengurus koperasi ABAH yang mendapat gelontoran dana dari pak Lurah. Kalau mereka masih tidak berteriak garang, gincu ini bisa juga buat nimpuk mereka. Sudah ahhh aku mau lihat siarananya di tipi.”

(ahhh selesailah sudah.)

Melbourne, 23-02-10

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun