Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mozaik Masa Kecil Helvy: Sebuah Kawah Candradimuka yang Tak Terganti

12 April 2010   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 525 0
Ini adalah esai yang diikutkan untuk lomba esai HTR. Moga esai ini bermanfaat bagi pembaca.


Mempelajari kisah hidup seseorang selalu mengasyikkan, apalagi jika orang tersebut adalah orang besar. Di sana ada kebijaksanaan yang bisa kita dapat; ada mutiara kehidupan yang dapat kita reguk. Mengutip sebuah kata mutiara, dengan mempelajari biografi seseorang, kita tak perlu turut jatuh ke lubang yang sama dengan si tokoh demi mendapatkan pencerahan. Kita cukup membaca pengalamannya dan kita akan mendapat ilmu kehidupan. Dan kisah masa kecil adalah kisah yang paling menarik hati saya.

Masa kecil seseorang sungguh layak untuk dipelajari, karena masa kecil adalah dasar untuk melewati kehidupan di masa dewasa. Prinsip-prinsip yang orang itu cengkeram dengan kokoh, paradigma-paradigma yang dia yakini dengan tegas, dan karakter-karakter dalam dirinya yang melekat, semua itu dibangun ketika mereka masih anak-anak dan remaja. Mengenang masa kecil juga bisa menjadi ajang untuk mengenal siapa diri kita. Dalam pola pikir khas bocah, permainan lucu, dan kegiatan-kegiatan anak kecil, tanpa sadar mereka sedang meletakkan pondasi hidupnya untuk masa dewasa.

Tengok saja misalnya seorang Richard Branson, pendiri Virgin Group. Orang yang memiliki kekayaan $2.8 milyar ini sudah mulai bekerja di usia 15 tahun. Pada saat itu ia masih bersekolah. Orang-orang menyangsikannya, tapi toh ia tetap melaju. Ketika ia drop out dari SMA-nya, ia tak putus asa dan tetap melaju tanpa henti. Akhirnya, kini ia menjadi salah satu orang terkaya di Inggris[1]. Tidak jauh berbeda dengan Lee Iacocca. Walaupun usianya masih belasan tahun, ia bekerja di sebuah toko buah-buahan dan sayur-mayur milik seorang Yunani yang bernama Jimmy Kritis. Lee harus bangun sebelum fajar untuk pergi ke pasar grosir dan mengambil barang dagangan. Untuk pekerjaan yang memakan hampir 16 jam per hari itu, Jimmy hanya membayar Lee 2 dolar. Namun, Lee tetap tak menyerah. Toh, ketakmenyerahan itu kini membuahkan hasil: ia dikenal sebagai CEO Chrysler[2]. Pengalaman-pengalaman masa kecil mereka tak diragukan lagi berpengaruh besar pada diri mereka hingga dewasa.

Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh dari Soekarno. Seringkali ketika Soekarno masih bocah, mungkin sekitar dua tahun, sang ibu selalu bangun sebelum fajar, lalu duduk tenang menghadap ke Timur. Ia menanti matahari terbit. Ketika Soekarno terbangun dan mendekati beliau, sang Ibu memeluknya dan berkata, "Engkau dilahirkan pada saat fajar. Engkau akan menjadi pemimpin rakyatmu, orang yang mulia. Jangan lupakan bahwa kau adalah putra sang fajar". Sejak kecil Soekarno sudah bergaul dengan rakyat kecil[3], cocok dengan perannya di masa mendatang. Dan memang, semua orang Indonesia mengenal siapa Soekarno: presiden pertama Republik Indonesia.

Helvy Tiana Rosa dilahirkan di Medan, 2 April 1970. Lebih dikenal sebagai pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) dan kini Helvy menjadi dosen UNJ. Pengenalannya cukup sampai situ saja, karena memang sudah tidak perlu diperkenalkan lagi. Saya rasa setiap orang cukup mengetahui siapa itu Helvy. Namun, yang menarik adalah, seberapa banyak sih orang yang mengetahui kisah masa kecil Helvy? Saya rasa tidak terlalu banyak. Padahal seperti yang saya bilang di atas, penelusuran masa kecil menjadi begitu relevan untuk mengetahui proses pembentukan dasar-dasar skill, karakter, dan ke"diri"an seorang Helvy. Sebagai penulis, proses-proses penempaan apa yang telah ia lakukan pada waktu kecil dan remaja sehingga ia mampu menjadi dirinya seperti sekarang? Mempelajari masa kecil dan remaja Helvy sama saja dengan membuka mata kita bahwa keberhasilan itu memang butuh perjuangan yang dimulai dari sedini mungkin dan berjalan tanpa henti. Atau jika kita meminjam istilah dari John C Maxwell: "Sukses dibangun setiap hari[4]."

Helvy terlahir dari keluarga sederhana. Saking sederhananya, jika ingin makan, Helvy, Asma Nadia (adiknya yang juga penulis), dan Eron (adiknya yang sekarang menekuni dunia musik klasik), harus membagi sebuah telur menjadi tiga[5]. Ibu dan ayah Helvy begitu suka membaca, dan tampaknya kebiasaan itu menurun ke Helvy kecil. Buku-buku yang sudah dibaca disewakan, lalu uang sewanya dibelikan buku lagi.[6]

Helvy kecil mempunyai hobi unik: memperhatikan kakeknya yang menulis. Seringkali selama seharian ia memandangi kakeknya yang terus menulis sekurang-kurangnya selama dua jam tiap hari di ruang kerjanya. Helvy kecil juga sering membongkar-bongkar buku kakeknya sampai-sampai suatu ketika kakeknya memangku Helvy di hadapan teman-temannya dan berkata, "ini dia orang yang suka membongkar buku dan melihat saya menulis". Kakeknya mempunyai jadwal rutin: mengangkat Helvy ke atas meja untuk pidato di hadapan teman-teman sang kakek. Dengan logat yang cadel, Helvy kecil berpidato dengan semangat dan setelah itu kakeknya akan bertepuk tangan paling keras. Bayarannya cukup menguntungkan: buah kana dan kerupuk merah. Helvy mengakui bahwa kakeknya lah yang membuatnya ingin menjadi seorang penulis.

"Kakek lah...", tutur Helvy. "Orang pertama yang membuat saya ingin menjadi penulis. Sayang, beliau meninggal karena sakit ketika saya bahkan belum bersekolah."[7]

TIM yang Penuh Kenangan

Helvy yang ingin menjadi penulis akhirnya mulai berpikir yang "aneh-aneh". Saat kelas 2 SD, Helvy mengajak Asma untuk mencari uang dengan cara menulis di majalah. Namun, tradisi memberi uang bagi cerita yang dimuat saat itu belum ada. Honornya masih berupa buku. Akhirnya, hadiah buku yang diterima Helvy dijual untuk biaya sekolah. Kelas 3 SD inilah puisi Helvy untuk pertama kalinya dimuat di majalah anak-anak dan ketika kelas 5 SD untuk pertama kalinya dimuat di Koran nasional (Sinar Harapan Minggu).

Ketika kelas 3 SD, muncul lagi satu hobi Helvy: bermain ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Tujuannya jelas, yakni ingin bertemu dengan para penulis dan para sastrawan yang sering mangkal di TIM. Mereka adalah Putu Wijaya, Rendra, Taufik Ismail, dan masih banyak lagi. Dengan membawa sebuah piring beling kecil, hampir setiap hari setelah pulang sekolah Helvy berjalan kaki dari gunung Sahari ke TIM. Dengan tubuh hitam, kurus kering, berkepang dua, dan membawa piring beling, Helvy pun mengamen puisi di hadapan para penulis senior itu.

Suatu ketika saat mengamen di TIM, Helvy melihat Putu wijaya. Maka, ia pun bergegas mengamen puisi di depan Putu. Putu Wijaya, tanpa menoleh, memberi Helvy uang Rp50. Taufik Ismail juga memberi Helvy Rp50, sedangkan Arifin C Noer memberinya Rp25.

Setelah pulang dari TIM, Helvy bilang ke Asma kalau dia ingin menulis surat kepada pengarang-pengarang yang bukunya sudah ia baca. Ia ingin menanyakan kata-kata yang tidak ia pahami. Maka, Helvy pun menulis untuk Putu Wijaya, Taufik Ismail, dan pengarang-pengarang lain. Surat itu tak pernah dibalas, tetapi Helvy juga jadi mulai menulis surat untuk Agatha Cristhie, Sidney Sheldon, dan lainnya. Namun, kebiasaan itu berlanjut hanya sampai kelas 6 SD.

Momen-momen seperti itu sangat membekas dalam hati Helvy kecil. Tampaknya pertemuannya yang intens dengan para penulis senior pada waktu Helvy masih bocah telah menumbuhkan perjuangan Helvy yang luar biasa untuk menjadi penulis. Momen-momen itu adalah momen magis yang tak tergantikan oleh apapun: sebuah kawah candradimuka penguatan mental seorang anak kecil yang bermimpi menjadi penulis.

Nanti, puluhan tahun setelah itu, Helvy dewasa menemui Taufik Ismail dan bertanya, "pak, bapak ingat tidak, saya kan pernah ngamen puisi."

Taufik Ismail bertanya, "oh, kapan itu, Helvy?"

"Waktu saya berusia delapan tahun. Bapak ingat tidak, ada anak yang kurus kering, hitam, berkepang dua, bawa pering beling..."

"Ooo, itu ya?"

"Ya, itu, yang bapak lantas memberi uang Rp50 dan saya disuruh pergi jauh-jauh."[8]

Masa Perkembangan

Ketika Helvy menginjak bangku SMP, majalah-majalah remaja mulai disapu bersih oleh Helvy. Pernah ada sebuah majalah yang terbit isinya semua tulisan dari Helvy. Untuk mengakali hal itu, ia punya akal. Ia memfotokopi kartu pelajar teman-temannya dan memakai nama pena banyak sekali. Untuk rasa terima kasih, Helvy membelikan bakso untuk teman-teman yang telah ia catut namanya. Karena "ulahnya" itu, Helvy mempunyai nama samaran lebih dari dua puluh nama. Dan nama yang paling ia sukai adalah Widhi Asmara.[9] Ada cerita lucu tentang hal ini. Cerpen-cerpen yang ditulis tangan oleh Helvy tidak pernah ada yang dimuat, tetapi ketika ia menulis ulang dengan mesin tik yang dipinjam dari tetangganya, tiba-tiba saja cerpennya langsung dimuat.

Pada tahun 1988, Helvy memakai jilbab, dan sejak saat itu nuansa kepenulisannya mulai kental dengan Islam. Pada saat itu, Helvy mulai merumuskan prinsip kepenulisannya, yakni bahwa "menulis berarti mencerahkan". Saat SMA ini pula Helvy menjadi pengurus majalah dinding (mading) dan teater. Lulus SMA, Helvy melanjutkan kuliah. Dalam diskusi di acara FIB BUZZ tahun 2007 yang dihadiri penulis, Helvy menuturkan bahwa setelah lulus SMA, bisa saja ia melanjutkan ke jurusan Akuntansi atau Manajemen UI, tetapi ia tidak melakukannya. Ia tetap memilih jurusan Sastra Arab FS UI (sekarang FIB UI) dilatarbelakangi semangat yang tinggi untuk mempelajari Islam.

Di kampus, Helvy mengikuti senat FS UI (sekarang BEM FIB UI) dan masuk ke dalam FORMASI (Forum Amal dan Studi Islam), semacam Rohis-nya FIB. Sambil mengikuti organisasi, Helvy terus menulis dan memenangkan beberapa lomba penulisan ilmiah dan fiksi yang diadakan fakultas, universitas, dan nasional. Dan untuk menjaga kualitas karya-karyanya, dalam seminggu, di luar buku-buku yang harus dibaca sebagai tugas kuliah, paling sedikit Helvy harus membaca 2 buku sastra. Ketika Helvy menginjak tahun ketiga kuliah, dia menjabat sebagai pemred Annida, sebuah majalah remaja yang concern dengan fiksi.

Di masa-masa kuliah inilah Helvy mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP). Pada tahun 1997, Helvy, Asma, serta beberapa teman dari FS UI bertemu di MUI (Masjid Ukhuwah Islamiyah). Berawal dari diskusi tentang minat baca dan tulis di kalangan remaja Indonesia, akhirnya terbentuklah semacam forum tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menulis. Anggota awalnya tidak lebih dari 30 orang dan Helvy terpilih menjadi Ketua Umum yang pertama. Beberapa tahun kemudian, FLP menjadi fenomenal dan menggurita di seluruh Indonesia.

Dalam acara mengenang wafatnya Ismail Marahimin di FIB UI tahun 2008 yang dihadiri penulis, Helvy datang untuk memberikan komentar tentang almarhum. Ketika kuliah, Helvy memang mengambil mata kuliah Penulisan Populer I & II yang diasuh oleh Ismail Marahimin. Helvy menceritakan bahwa ia sering frustasi karena sikap dosennya itu. Setiap mengumpulkan tugas, pak Ismail selalu mengkritik karya Helvy dengan keras, bahkan tak jarang menjelek-jelekkan karyanya. Cara pak Ismail mengajar memang lumayan keras. Namun, Helvy menanggapi kritik itu dengan perbaikan karya. Ternyata, seorang dosen (kalau tidak salah pak Maman S Mahayana[10]) mengatakan bahwa pak Ismail sering memuji Helvy dengan penuh semangat ketika mengobrol dengan dirinya. Pak Ismail rupanya sengaja menjelek-jelekkan karya Helvy supaya ia tahan banting sebagai penulis dan tidak pernah puas dalam menyempurnakan karyanya. Setelah menjadi penulis, ketika Helvy datang ke FIB untuk mengucapkan salam, pak Ismail selalu berkelakar sambil tersenyum,

"Wah, rupanya kamu benar-benar jadi penulis ya?"

Penutup

Tidak mungkin rasanya penulis menangkap semua mozaik dari masa kecil dan masa remaja Helvy karena kemampuan penulis yang terbatas. Sejatinya, apa yang Helvy raih pada saat ini, semua itu ada prosesnya. Dan proses penggodokan itu terjadi pada masa kecil hingga masa kuliah Helvy. Membaca kisah perjuangan dan perjalanan Helvy sebagai penulis, insya Allah akan mendatangkan inspirasi yang hebat: seolah-olah kita mendapatkan peta yang menunjukkan ke arah mana kita harus berjalan.

Ketika duduk di kelas 2 SMP, Helvy bertemu dengan Putu Wijaya di sebuah forum. Helvy menemuinya dan berkata,

"Mas Putu, saya ingin jadi penulis. Nama saya Helvy, tolong dong dikasih kata-kata!"

Kemudian Putu Wijaya menulis:

"Helvy, menulis adalah berjuang!"

Lalu, 15 tahun kemudian, Helvy yang sudah menjadi penulis mendatangi Putu Wijaya dan berkata, "Mas Putu, berkat tulisan itu, sekarang saya sudah menjadi penulis dan telah menulis hampir 30 buku."

Putu Wijaya membalas, "bagaimana mungkin perkataan saya yang iseng-iseng itu bisa membuat kamu menjadi pengarang? Pastilah itu karena kamu seorang yang memang senang berjuang. Selamat!"

Iya, Helvy...Seperti kata Putu Wijaya, menulis adalah berjuang...dan perjuangan ini belum selesai...

[1] 9 Prinsip Sukses dari CEO Perusahaan Raksasa Virgin Group: Richard Branson hal.21

[2] Iacocca: Sebuah Otobiografi hal.7

[3] Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams hal.21

[4] Salah satu judul buku John C Maxwell.

[5] Menulis Bisa Bikin Kaya karya Helvy Tiana Rosa hal.14

[6] Ibid,. hal.18

[7] Segenggam Gumam; Esai-esai Tentang Sastra dan Kepenulisan karya Helvy Tiana Rosa

[8] Menulis Bisa Bikin Kaya karya Helvy Tiana Rosa hal.36-44

[9] Ibid hal.16

[10] Seorang dosen Sastra Indonesia. Kini pak Maman S Mahayana sedang ada di Korea Selatan menjadi dosen tamu.

DAFTAR PUSTAKA

Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam: Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan. Bandung: PT.Syaamil Cipta Media.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun