Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Senja Buat Emilda

6 Agustus 2013   08:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:34 341 6

Benang nilon terulur beberapa senti lagi. Kertas layangan tipis terjerat di ujung, terbang sendirian. Langit mulai jingga, tapi aku tetap di sini. Senja… cepatlah datang.

Angin menelisik merdu, membawaku kembali pada peraduan. Ingatan kembali tepat di kaki bukit ini. Ketika siluet bertebaran. Di saat angin menyapa helai rambutmu. Tentang kamu… perempuan yang selalu menemaniku menerbangkan layang-layang dari atas kursi rodanya. Dulu.

“Terbangkan lagi, Ru,” pintamu kala itu. Senyum di sudut bibirmu sedikit pudar melihat kepalaku menggeleng pelan.

“Sebentar lagi senja, Emilda. Aku harus segera mengantarmu pulang.” Aku menurunkan layangan perpaduan warna biru dan jingga. Warna kesukaanmu.

“Lagi-lagi kamu takut dimarahi oleh orang tuaku.” Kamu menautkan jemari, memainkan satu sama lain. “Aku bertanggung jawab. Sudah kupersiapkan banyak alasan agar kamu tak dimarahi.”

Aku melemparkan sebongkah senyum. Kembali menggeleng pelan. “Tidak, Emilda. Kita harus pulang sekarang.”

Sebenarnya aku tak pernah takut akan dimarahi oleh orang tuamu jika aku membiarkanmu menemaniku hingga senja. Aku hanya tak ingin syalbiru pastel yang melingkari lehermu itu tak mampu menghangatkanmu.

Kembali, aku melirikmu dari sudut mataku. Tampak bibirmu mengerucut lucu. Aku tak tahu mengapa kamu begitu suka layang-layang, mengapa kamu begitu suka perpaduan warna biru dan jingga.

Tanganku mendorong kursi rodamu. Setiap hembusan nafas kuarungi dengan tenang. Jika saja kau tahu, senja selalu menyenangkan jika dinikmati bersamamu.

“Biru…”

Aku terbangun dari lamunan tentang cinta masa kecil. Perempuan berwajah lembut dengan jilbab sorong telah berlutut di hadapanku.

“Mari pulang.” Senyumnya cerah. Tangannya mengambil gulungan benang nilon dari genggamanku. Aku dapat melihatnya mengemas layangan, sama seperti yang kulakukan dulu padamu, Emilda.

Ahh… angin kembali menelisik.

Perempuan itu tersenyum melihat kepalaku tertunduk. “Besok kita main ke sini lagi, ya.” Ia berdiri di belakangku. Tangannya mendorong hati-hati kursi rodaku. Sama seperti yang kulakukan dulu kepada seorang gadis bermata teduh.

Emilda… besok akan kuterbangkan lagi layang-layang ini untukmu.

****

Aku kembali lagi, Emilda. Layang-layangterbang menuju langit, berpijak dari kaki bukit. Semarak awan melukiskan wajahmu, menggores kembali kenangan dari kanvas usang.

Emilda… aku masih ingat pertemuan kita yang entah pada tanggal dan hari apa. Yang kutahu, kita kembali bertemu di kaki bukit dengan perasaan beradu, berpacu tak beraturan.

Sembilu angin membuat sendu.

“Kau ingin aku menerbangkan layang-layang ini lagi?” tanyaku, sebenarnya pintaku. Kurobohkan tubuh berlutut di hadapanmu.

Kamu menggeleng lemah. Tak peduli, aku kembali bangkit, hendak menerbangkan layangan usang ini lagi. Untukmu.

“Aku tidak mau, Biru.” Kamu menghentikanku. Dapat kurasakan jemari lemahmu bertaut pada pergelangan tanganku. Aku kembali berlutut, menatapmu sayu. Biarkan aku menatap kedua matamu lekat, untuk kali itu saja.

“Kamu sudah tidak suka lagi pada benda ini?” tunjukku pada layang-layang yang kuletakkan di pangkuanmu.

Kamu tersenyum, memaparkan dua lesung pipi. Manis. “Aku tidak pernah bilang bahwa aku menyukai layang-layang ini.”

Gurat senyummu membuatku mengernyitkan dahi. Bukankah kita bertemu di kaki bukit ini untuk memainkan layang-layang? Bukankah kamu tak pernah mau jika digantikan dengan layang-layang lainnya, hanya karena benda satu ini berwarna biru dan jingga?

Wajah pucatmu masih menyimpan senyum. Matamu yang teduh remang-remang tampak melemah. Tapi, kamu selalu membuktikan kepadaku bahwa kamu wanita yang kuat. Wanita tegar yang kucintai diam-diam.

“Biru…” Kamu memanggil namaku, lirih. “boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?”

Aku mengangguk kaku. Payah! Jantungku hampir saja pindah tempat.

“Apa kamu mencintaiku?” Tiga kata yang selalu ingin kutanyakan padamu, kini kamu tanyakan padaku. Aku menelan ludah. Tentu, Emilda! Aku mencintaimu! ujarku di dalam batin. Kenyataannya aku hanya diam, menunduk sayu.

“Apa kau tahu, Biru…” Kamu memandang langit bersemburat jingga tanpa menunggu jawabanku. “Aku bahagia bisa menghabiskan hari bersamamu. Aku suka melihatmu menerbangkan layang-layang ini, untukku. Aku menyukaimu. Hanya itu.”

Aku mengangkat wajah. Begitu mudahnya kamu menghancurkan pertahananku, Emilda. Mengungkapkan semuanya tanpa jeda.

“Lalu mengapa kamu tak pernah mau jika aku memainkan layang-layang berwarna lain?”

Kamu tersenyum lemah. “Setiap melihat warna biru dan jingga, membuatku selalu mengingatmu. Biru adalah namamu. Jingga layaknya warna senja kali ini”

Aku kembali tertunduk sayu. Kata-kata “aku juga mencintaimu” pun tak kunjung keluar hingga kursi rodamu tepat berhenti di halaman rumah.

Seandainya saja kanker tulang tak merenggutmu kala itu…

“Biru…” Perempuan berkerudung sorong itu kembali berlutut di hadapan. memecahkan lamunanku akan kamu, Emilda.

“Mari kita pulang,” ajaknya dengan suara lembut. Ia mengemasi layang-layang serta gulungan benang nilon milikku.

Emilda. Sebenarnya, hari ini aku ada dua permohonan izin kepadamu. Setelah hari ini, tolong izinkan aku untuk tidak menerbangkan layang-layang lagi untukmu. Boleh, kan? Aku ingin memberikan hatiku seutuhnya pada perempuan berkerudung sorong itu. Laksmi, istriku yang setia.

Kulihat ia mendekatiku lagi. Berlutut mengajakku pulang.

Emilda… ini permohonanku yang kedua. Sekian lama aku menikah dengannya. Dia mendampingi pria tua dan lumpuh sepertiku dengan kesetiaannya. Tapi, selama itu pula dia tak pernah mendengarku mengatakan cinta kepadanya.

Riuh decitan burung  kembali pada rumpunnya. Semburat jingga semakin kuat. Emilda… izinkan aku.

“Laksmi…” ujarku, menggenggam erat tangannya dengan tanganku yang mulai keriput. Matanya teduh menatapku. “Aku mencintaimu. Hiduplah bersamaku selamanya.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun