Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kebun Toyib Jadi Galangan Kapal

23 September 2011   16:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 179 0
Kebun Tayib Jadi Galangan Kapal
- Ganti Rugi Dibayar 30 Persen

Diposting oleh admin pada 28 Juni, 20110 Comment

AWALNYA, Pulau Janda Berias dihuni secara turun temurun oleh Tayib bin Rasyid (71). Hanya saja, sejak enam tahun lalu, mereka dipaksa pindah ke Tanjungriau Laut, karena lahan yang dimiliki keluarganya, beralih tangan ke investor. Kini Pulau Janda Berhias masuk kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Awalnya, keluarga Tayib sempat dipekerjakan lahan warisan orangtuanya. Tugasnya menebas rumput dan pohon. Namun, pekerjaan itu hanya diperoleh mereka selama seminggu. Sejak investor menggunakan alat-alat berat, jasa tenaga Tayib kalau kuat disbanding sejumlah alat berat yang bekerja jauh lebih cepat dengan hasil yang lebih besar. Saat Tayib dan keluarganya semakin tersingkir, ganti rugi yang sudah dijanjikan investorpun belum mereka terima seutuhnya.

MARTUA BUTAR BUTAR – Batam

Tayib bin Rasyid yang ditemui, beberapa waktu lalu tampak duduk bersandar di kursi kayu yang sudah rewot, di rumah panggungnya yang ada di pelantar Tanjungriau. Tayib hanya menggunakan singlet dan celana pendek. Pagi itu, Tayib memilih tidak melaut. Sampan yang biasa dipakainya, ditambatkan di bawah tangga rumah panggungnya.

Kini, Tayib hanya bisa memandangi Pulau Janda Berias dari kejauhan. Pulau yang pernah mereka tempati secara turun temurun itu ternyata masuk kawasan free trade zone (FTZ). Janda Berhias, yang masuk dalam Kelurahan Tanjungriau, Sekupang itu sedang dipersiapkan untuk daerah industri pembuatan jasa perawatan kapal dan jasa penyewaan tanks farm serta industrial park maritime. Rencana pembangunan industri itu sesuai dengan dokumen surat persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kini di Pulau Janda Berias beroperasi puluhan alat berat, seperti beko, buldozer dengan dioperasikan dan diawasi tenaga dari luar pulau itu. Alat-alat berat itu digunakan untuk memotong bukit, meratakan lahan hingga menimbun, dalam aktivitas reklamasi pantai. Karena luasnya lahan yang direklamasi, hingga membuat Pulau Janda Berhias dan gugusannya tersambung. Aktivitas itu juga akan terus berjalan, jauh dipandangan eks penduduk Pulau Janda Berias, yang kini tinggal di seberangnya, tepat di Tanjungriau.

Dari kejauhan, aktivitas di Pulau Janda Berhias ini bisa terlihat dari rumahnya Tayib di Tanjungriau. Tayib mengaku sekali-sekali ia bertandang ke Pulau Janda Berias. Di wilayah perairan Pulau Janda Berias, Tayib masih punya dua kelong yang belum diganti rugi. ‘’Batu 30 persen kelong saya yang diganti. Dan nominal yang diganti juga 30 persen dari biaya pembuatan kelong,’’ ucapnya.

Satu sudah diganti rugi investor pulau yang berhadapan dengan Belakangpadang itu. Harapan Tayib, ada di antara 21 orang cucunya yang bekerja di perusahaan di Pulau Janda Berias dan gugusannya.

Tayib saat ditanya Tanjungpinang Pos keberatan dengan pernyataan pihak PT Batam Sentralindo, yang menyebutkan PT Batam Sentralindo sudah menyelesaikan tanggung jawab terhadap masyarakat dan nelayan di sekitar lokasi proyek.

Sambil menengadah kepalanya, Tayib melempar senyum menanggapi pernyataan Peter dari Batam Sentralindo. Terlebih, pengakuan Peter beberapa waktu lalu menyebutkan, biaya ganti rugi yang dibayar investor jumlahnya tiga kali lipat dari yang ditentukan. Baik mulai ganti rugi hak garap dan tanaman, dampak lingkungan ke nelayan, kompensasi dampak reklamasi, hingga ganti rugi kelong milik masyarakat di sekitar Pulau Janda Berhias sebelum proyek dimulai.

“Kalau saya tidak salah waktu itu sekitar Rp10 juta sampai 15 juta per kelong,” kata Peter.

Terkait kelong ini, Tayib mengaku sudah menerima ganti rugi, namun hanya untuk satu dari tiga kelongnya. Tayib juga membantah, ganti rugi yang diterima hingga tiga kali lebih besar dari yang seharusnya. Bahkan, Tayib mengaku rugi, karena satu kelong, hanya diganti Rp15 juta.

“Baru satu saja kelong saya yang diganti. Itupun kami rugi. Modal membuat satu kelong, menghabiskan dana Rp30 juta sampai Rp40 juta,” beber Tayib.

Tayib juga masih memiliki rumah di Janda Berhias dan lima petak tanah untuk rumah, yang belum diganti rugi investor Pulau Janda Berias (PT Batam Sentrealindo).
“Kalau tanah kebun kami sudah diganti rugi. Tapi, kebunnya masih ada. Pembangunan belum sampai di sana. Itu, kelihatan dari sini,” kata Tayib sambil menunjukkan ke arah salah satu sudut Pulau Janda Berias.

Walau kebun Tayib seluas dua hektar sudah diganti, namun nilai ganti ruginya tidak sesuai dengan dijanjikan oleh pihak perusahaan.

Awalnya, investor Pulau Janda Berias berjanji akan mengganti setiap tapak rumahnya seharga Rp5 juta. Namun, hingga saat ini belum diganti rugi. Bahkan, beberapa orang warga di luar Pulau Janda Berhias yang lebih dulu mendapat ganti rugi.

“Karena sudah berkembang (informasi) ganti rugi, banyak yang nitip didaftarkan lahannya,” ungkap Tayib sambil menunjukkan surat tanahnya seluas 2 hektarnya di Pulau Janda Berias.

Kebun seluas 2 hektar, awalnya dijanjikan, akan diganti rugi, per meter seharga Rp5 ribu. Perjanjian itu dicapai di kantor Lurah. Saat itu, petugas suruhan investor berkomunikasi dengan warga bernama, Agus. Namun dalam perjalanannya, realisasi perjanjian itu, Tayib hanya menerima pembayaran sebesar Rp2 ribu.

Pada foto copy surat tanah yang ditandatangani Kepala Desa Pulau Buluh, Ikhsan SY, disebutkan Tayib berkediaman di Pulau Janda Berias. Tayib memiliki sebidang lahan hasil warisan dari orang tuanya bernama Rasyib Bin Ani. Lahan itu dibuat jadi Kebun sejak 1958, dengan panjang 200 meter dan lebar 100 meter atau 2 hektar.

“Karena mereka mau masuk, dijanjikan Rp5 ribu per meter. Tapi, yang sampai ke tangan saya hanya Rp2 ribu per meter,” ucapnya.

Tayib tidak berbuat banyak saat harga ganti rugi tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Saat itu, Tayib tidak berdaya karena dia sedang sakit. Selain besaran ganti rugi lahan kebun, seharusnya mereka juga mendapat ganti rugi tanaman di kebun itu. Awalnya, untuk tanaman akan diganti, karena di lahannya ada berbagai jenis tanaman seperti petai, cempedak, mangga dan kelapa.

‘’Setiap tanaman mereka janjikan Rp22 ribu, namun hingga kini belum saya terima dananya. Selain itu, Ganti rugi Rp700 ribu untuk sumur juga tak mereka realisasikan,” ucapnya.

Tidak hanya Tayib saja yang merasa dicurangi. Menurut Tayib, tetangganya, Kasim yang ia perkirakan mengalami kerugian lebih besar. ‘’Lahan dia paling banyak disana. Selain pak Kasim, lahan milik Gunawan, menantu pak Kasim juga belum dibayar. Padahal, sudah nak dibangun, tapi masih ade belum diganti,” ucapnya.

Tayib dan pemilik lahan lain di Janda Berhias hanya berharap, ada bantuan pihak lain untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

“Kalau lah pulau itu maju, kite senang. Tapi ape salah, kite juga dapat hak yang harus kite terime,” harapnya dalam logat Melayu yang kental.

Pengakuan Tayib ini sekaligus harapan kepada anggota dewan untuk diperjuangkan kedepan. Setidaknya, jika selama ini anggota DPRD Batam berdebat soal perubahan status kawasan Pulau Janda Berhias dan gugusannya, Tayib berharap, kejelasan nasib haknya ikut diperjuangkan.

Keluh kesah Tayib terkait nasibnya dan rekannya Kasim, ditanggapi Sekretaris LPM Tanjungriau, Celcon, yang ikut serta bersama Tanjungpinang Pos. Dia berjanji akan menyampaikan langsung ke Taufiq Syah, Manager Konstruksi PT Batam atau ke Direktur PT Batam Sentralindo, Peter Ali Tjokroaminoto.

Celcon sendiri mengaku terlibat dalam musyawarah dengan pihak PT Batam Sentralindo. Musyawarah antara warga eks Pulau Janda Berhias dengan investor itu, difasilitasi pihak Kelurahan Tanjungriau. Di dalamnya, terlibat LPM Tanjungriau. Terakhir mereka menggelar rapat penyelesaiannya dengan pihak Batam Sentralindo, November 2010.

“Nanti kita akan bantu fasilitasi, biar pak Tayib dapat haknya,” kata Celcon, yang disambut senyum penuh harap dari Tayib dan istrinya.

Awalnya tidak mudah mencari warga eks Pulau Janda Berhias, termasuk rumah Tayib. Tanjungpinang Pos menemui Wakil Ketua DPRD Batam, Aris Hardi Halim, yang mengaku pernah mendapat telepon warga Janda Berhias yang digusur. Namun, Aris mengaku tidak tahu nomor telepon atau kontaknya. “Saya memang pernah mereka hubungi, tapi tak ada kontaknya. Mereka tinggal di Tanjungriau,” ucap Aris.

Informasi Aris ini yang kemudian menjadi petunjuk awal untuk mencari tahu siapa eks warga Pulau Janda Berhias. Setelah bertanya dengan beberapa warga Sekupang, didapat nama Sekretaris Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Tanjungriau, Celcon. “Pak Tayib, orang lama di Janda Berias. Dia salah salah satu tokoh di sana sebelum pindah ke Tanjungriau,” kata Celcon meyakinkan.

Walau cuaca dingin karena hujan, pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB, Sabtu (25/6), Celcon menunggu di simpang Lapangan Bola Tanjungriau. Dengan menggunakan motor, Tanjungpinang Pos mengikuti motor yang dikendari Celcon hingga masuk gang-gang tak beraspal, di pinggir laut Tanjungriau Laut.

Setelah lewat beberapa gang rumah panggung, seorang anak kecil sudah menunggu. Ternyata, sebelum kehadiran Tanjungpinang Pos, pagi itu Celcon sudah ada komuniksi dengan warga setempat. “Kalau warga yang dulu tinggal di Pulau Janda Berias, pak Tayib. Ini cucunya. Dia yang tahu rumah pak Tayib,” ucap Celcon saat berhenti di depan seorang anak laki-laki, berumur sekitar tujuh tahun.

“Ayo dari sini om. Motornya di situ aja, nanti tidak bisa masuk ke tempat kakek, jalannya tak muat,” ucap salah seorang cucu Tayib, sambil berjalan di depan.

Tanpa menunggu aba-aba, cucu Tayib langsung naik tangga rumah panggung, tempat tinggal Tayib. Sejenak, dia mendorong pintu rumah yang sedikit terbuka, hingga terbuka lebar. “Kek, ada tamu,” ujarnya sambil berlalu menuruni anak tangga rumah kakeknya.

Tayib kemudian keluar rumah, diikuti dua cucu perempuannya dan kemudian, disusul istrinya, Cahaya. Tayib kemudian memperkenalkan dua cucu. Dua cucu perempuannya, dari dua anak perempuannya, yang ditinggal bapaknya. Setelah itu, Tayib berkeluh soal nasib keluarganya, setelah investor masuk Pulau Janda Berias.

Sebelum menjadi bagian dari Tanjungriau, Pulau Janda Berias masuk desa Tanjung Buluh. Tayib awalnya tinggal di Pulau Janda Berias sebelum menempati rumah panggung di bibir pantai Tanjungriau yang membelakangi Pulau Janda Berias. Pulau Janda Berias sebelumnya menjadi tempat tinggal Tayib dan istrinya.

Keluarga Tayib yang terakhir meninggalkan pulau yang sudah ditinggalinya sejak tahun 1981. Sekitar tahun 1990-an, Tayib hidup di Pulau Janda Berias bersama puluhan kepala keluarga. Namun, satu persatu keluarga itu pergi meninggalkan pulau itu.

Sebelum akhirnya Tayib dan keluarga meninggal pulau itu, ada juga Riluah, yang juga besannya tinggal disana. Satu anak laki-lakinya kini mengikuti jejaknya menjadi nelayan dan satu bekerja di galangan kapal di Tanjunguncang. Sementara dua anak perempuannya bekerja serabutan, di Tanjungriau.

Mereka pindah daerah lain disekitar Pulau Janda Berhias dan sekitarnya. Namun, lebih banyak tinggal di Kecamatan Sekupang. Tidak adanya sekolah untuk tempat anak-anaknya menuntut ilmu, menjadi alasan utama mereka meninggalkan pulau itu. Di samping itu, fasilitas kesehatan tidak tersedia.

“Banyak tak tahan karena tak ade sekolah,” kata Tayib, sesaat setelah keluar rumah panggungnya dan mempersilahkan Tanjungpinang Pos, yang ditemani Sekretaris Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Tanjungriau, Celon.

Kini hak kelola tanah itu sudah berpindah tangan dan dikelola PT Batam Sentralindo. Sekitar tahun 2005, Tayib memilih pindah ke Tanjungriau. Tayib menjadi keluarga terakhir yang meninggalkan pulau yang sudah ditinggalinya, selama lebih dari 20 tahunan.

Dulu hingga sekarang, hanya ada satu sumur yang digalinya dan kerap dibanggakan Tayib. Sumur peninggalannya itu menjadi bagian dari cerita yang kerap terucap dari Tayib. Bukan letak Pulau Janda Berhias yang strategis dan berdekatan dengan Singapura. Namun, sumur itu hanya akan menjadi kenangan bagi warga eks Pulau Janda Berhias dan warga Pulau Buluh.

Perubahan status pulau yang dekat Belakangpadang ini berikut gugusannya, mengemuka di Gedung DPRD Batam.
Wakil Ketua DPRD Batam, Aris Hardi Halim, bereaksi keras mendengar informasi, perubahan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 Tahun 2007. Peraturan itu awalnya memuat Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru.

Status kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas tersebut berlaku hingga 70 tahun, terhitung sejak 2007. Namun kemudian PP itu direvisi berdasarkan PP nomor 5 tahun 2011. Peraturan Pemerintah ini ditandatangani dan diundangkan 4 Februari 2011.
Keluarnya PP itu, melahirkan tuduhan jika Badan Pengusahaan (BP) Batam, sudah melangkahi DPRD Kota Batam. Dewan merasa dilangkahi karena tidak dilibatkan.

Wakil Ketua DPRD Batam, Aris Hardi Halim juga menyebutkan, peruntukan Janda Berhias masih untuk lahan pertanian, sesuai Perda No 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004- 2014. Sementara, Ranperda RTRW Kota Batam yang menyebutkan Pulau Janda Berhias sebagai kawasan industri belum disahkan

Namun, Kepala Bagian Humas dan Publikasi BP Batam, Dwi Djoko Wiwoho, menyebutkan hal berbeda. Dia mengatakan, Pulau Janda Berhias sudah masuk dalam rencana induk Otorita Batam sejak 1986, sebelum masuk dalam wilayah otonomi Kota Batam tahun 1999.

Aris tak bergeming dan dia kemudian sidak ke Pulau Janda Berhias. Dia mendapati aktivitas cut and fill yang sudah berjalan. Sejak saat itu, perbincangan soal Pulau Janda Berhias terus mengemuka. “Reklamasi Pulau Janda Berhias tidak memiliki izin galian C dan Amdal. Belum ada pembayaran pajak galian C. Pemko Batam kehilangan potensi pajak tiga miliaran rupiah,” cetus Aris.

Tidak hanya Aris, unsur pimpinan di dewan juga sampai menggelar konfrensi pers. Mereka menegaskan sikap untuk membentuk pansus Pulau Janda Berhias.
Tidak ketinggalan, Ketua DPRD Batam, Surya Sardi bersama Wakil Ketua DPRD Batam, Zainal Abidin dan Aris ikut serta menyatakan sikap untuk membentuk pansus.

Mereka bicara perubahan status Pulau Janda Berhias. Namun, tidak ada yang menyinggung nasib warga yang kini tergusur dari Pulau Janda Berhias.

Wakil Wali Kota Batam, Rudi, mengaku perubahan status Pulau Janda Berhias, tanpa sepengetahuan mereka. Tidak ketinggalan, Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan berkomentar. Namun Dahlan menyebutkan, Pulau Janda Berhias memang diperuntukkan untuk industri. Terkait dengan penduduk yang mendiami pulau itu sebelumnya, Dahlan menyebut sudah direlokasi dengan baik.

“Warga di pulau-pulau gugusan Janda Berhias, sudah tertanggulangi. Tidak ada masalah,” katanya.

Seperti pasukan perang yang pantang mundur, dewan menggelar rapat pimpinan. Fraksi didewan menyatakan mendukung rencana pembentukan pansus, kecuali PKB yang menyatakan abstain. Hasil rapat pimpinan ini diungkapkan Ketua Fraksi PKS, Ricky Indrakari.

Namun, sikap itu berubah. Anggota dewan di fraksi-fraksi DPRD Batam, menolak pembentukan Pansus Janda Berhias. Diantara sembilan fraksi yang ada, hanya tiga yang bertahan dengan keinginan awal, membentuk Pansus Pulau yang bertetangga dengan Pulau Seraya itu.

Lima fraksi, Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, Hanura dan PKB berbalik arah. Mereka akhirnya menolak mendukung hak angket. FPKN memilih absen dan hanya PKS, PPP dan PAN yang tetap konsisten mendukung hak angket untuk kemudian membentuk panitia khusus. Akhirnya, pansus gagal dibentuk dan direkomendasikan disikapi lewat komisi terkait.

“Patut dipertanyakan, perubahan sikap fraksi-fraksi lain. Ada apa ini? Tapi kami tidak akan berhenti. Kami akan gugat sampai ke Mahkamah Konstitusi, perubahan PP,” ancam Ricky.

Sikap ini juga menimbulkan isu suap terhadap pentolan-pentolan fraksi di dewan. Anggota fraksi Kebangkitan Bangsa (PKB) Riki Sholihin, melontarkan informasi yang diterimanya, sehingga ada perubahan sikap fraksi. Namun, persoalan yang sudah masuk meja Badan Kehormatan ini belum berujung.

“Sekalipun hanya lewat Komisi, namun kita tetap akan sikapi persoalan ini. Apa lagi,” ucap Ketua Fraksi PPP, Irwansyah.

Kemudian, Irwansyah bersama rekan-rekannya menggelar sidak pada 9 Mei 2011. Rombongan ini berangkat dari Pelabuhan Sekupang, dengan menggunakan kapal Pemko Batam. Sekitar 10 menit perjalanan, rombongan Komisi III, termasuk Tanjungpinang Pos, tiba di Pulau Janda Berhias.

Di bibir pantai pulau itu sudah dikelilingi batu yang tersusun rapi. Kapal merapat tepat di bawah pelantar yang dibangun PT Batam Sentralindo. Satu persatu anggota dewan menaiki tangga pelantar. Mereka langsung berjalan menuju pos pekerja dan diterima Koordinator Proyek PT Batam Centralindo, Indro Asmoro.

Tidak jauh dari pos petugas proyek, tiga truk bergerak diatas tanah berwarna kuning dan masih basah di Pulau Janda Berhias. Truk itu hilir mudik, mengangkut tanah yang dikeruk dari dinding bukit. Setelah beberapa saat memandang kearah aktivitas alat-alat berat itu, kemudian mereka meminta penjelasan Asmoro.

Sambil membuka berkas-berkas ditangannya, Asmoro menunjukkan beberapa perijinan, yang sudah diterbitkan Pemko. Seperti Amdal dan galian C dikeluarkan Pemko Batam, sejak tahun 2009 lalu. Sementara untuk izin prinsip untuk kawasan industri dikeluarkan 6 Agustus 2010, yang dikeluarkan 6 Agustus 2010 lalu.

Izin prinsip itu ditujukan ke PT Batam Setralindo dengan lahan seluas 75 hektar. Selain itu, ada juga surat persetujuan penanaman modal dari Badan koordinasi Penanaman Modal BKPM). Izin itu dikeluarkn untuk PT Batam Sentralindo, Jalan Bukit Indah Raya No 57 Sukajadi.

Saat itu, Asmoro juga mengakui kalau reklamasi sudah menggabungkan Pulau Janda Berias dan Pulau Mengkudu yang luasnya 400 meter persegi. “Sudah direklamasi. Pulau Mengkudu, pas yang kita pijak ini,” ucap Asmoro kearah anggota dewan.

Dasar ini, PT Batam Centralindo memulai aktivitas pembangunan, persiapan untuk industri perawatan kapal dan jasa, penyewaan tank farm (depo minyak) serta industrial park maritim. Mereka menyiapkan nilai investasi sebesar Rp125 milliar.

Tahap pertama, disiapkan 40 hektar lahan didaratan dan 20 hektar lahan yang direklamasi. Total areal yang sudah mendapat izin Amdal, ada seluas 242,18 hektar. Dokumen Amdal itu sesuai blok plan dalam dokumen Amdal yang ditandatangani Sekretaris Daerah Batam, Agussaiman.

Temuan terbaru ini yang menjadikan Komisi III untuk berinisiatif memanggil semua pihak terkait dengan Pulau Janda Berhias. Pada hearing di Gedung Dewan, disepakati, aktivitas di Pulau Janda Berhis, dihentikan. PT Batam Centralindo diminta mengurus UWTO untuk lahan yang akan direklamasi.

“Pak Jauhin, nanti kita panggil semua yang mengeluarkan dokumen-dokumen ini. Ini perlu dipertanyakan,” kata Irwansyah.

Tepat 11 Mei 2011, rapat dengar pendapat digelar dengan dihadiri Taufik Syah dari PT Batam Centralindo, Badan Pengusahaan Batam, Bapedalda dan lainnya. Setelah para anggota Komisi III, dari Pemko Batam dan BP Batam menyampaikan pendapat, disepakati untuk menghentikan aktivitas pembangunan di Pulau Janda Berias.

“Legalitas yang dimiliki perusahaan dalam melakukan aktivitasnya masih sangat kurang. Komisi III meminta, semua aktivitas dihentikan. Kami tetap mendukung investasi di Batam. Tapi tolong, jalankan aturan dengan sebaiknya. Kalau tidak juga dihentikan, maka kami akan melanjutkan ke proses hukum,” ancam Irwansyah, yang memimpin hearing itu.

Mendengar keputusan itu, Manajer Teknik, PT Batam Centralindo, Taufik Syah, menyatakan menerima. Dia juga mengaku akan langsung berangkat ke Jakarta untuk menemui pimpinannya, untuk menyampaikan keputusan itu. Sementara lahan yang direklamasi untuk tahap pertama, luasnya sudah 65 hektar dihentikan.

“Kami bisa menerima keputusan itu. Perusahaan sudah membayar UWTO untuk lahan seluas 22 hektar ke BP Batam sebesar Rp150 juta. Tapi memang, perizinan masih kekurangan,” katanya.

Namun pernyataan dan sikap itu berubah saat Taufiq bersama atasannya, Direktur PT Batam Sentralindo, Peter Ali Tjokroaminoto, mengundang wartawan. Bertempat di Hotel Harmoni One, Jumat (24/6), Taufik mengaku semua perijinan pembangunan proyek Kawasan Industri Maritim di Pulau Janda Berhias, sudah lengkap.

Namun, dari penyampaian Taufiq, semua perijinan dimaksud, masih sama seperti dengan yang disampaikan di Komisi III sebulan lalu. Menjawab Tanjungpinang Pos, Taufiq masih menyampaikan perijinan sesuai dengan dokumen yang disampaikan di Komisi III. Hanya klaimnya yang berbeda. Jika sebelumnya mengaku perijinannya masih kurang, kali ini mengaku lengkap.

“Waktu di Komisi III dulu, ada yang salah. Lahan yang kita minta dicadangkan untuk dibuatkan Izin Prinsipnya seluas 65 hektare. Tahun 2002 baru diajukan IP-nya untuk 22 hektare. Tapi kemudian di tahun 2010 diajukan lagi IP untuk 42 hektare, sekaligus menghanguskan IP yang 22 hektare. Jadi yang sekarang proyek yang sudah dijalankan baru untuk 42 hektare ini, bukan untuk 65 hektar,” terang Taufiq.

Taufik mengaku, dari 42 hektare yang sudah mendapat Izin Prinsip ini, seluruhnya sudah dibayarkan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dan jaminan pelaksanaannya pada tanggal 30 Maret 2011 lalu. Mereka juga mengaku sudah mendapat surat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Sementara surat izin reklamasi dari Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan sudah dimiliki untuk kegiatan reklamasi seluas 70 hektare.

“Pematangan lahan akan selesai Juli 2011 ini. Tapi, kita belum tahu kapan pastinya investor kilang minyak dari Cina mulai beroperasi,” imbuhnya mengakhiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun