Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Senandung Pengertian Anak; Fahmi Rifli Pradana (Catatan Seorang Ayah 1)

12 Oktober 2013   21:12 Diperbarui: 5 Juli 2015   08:24 387 0

Orang tua mana yang tidak senang saat kelahiran anaknya ? Apalagi anak pertama. Pastinya, semua orang tua termasuk saya gembira menyambut si “permata hati”. Lahirnya anak pertama kami, Fahmi Rifli Pradana pada 5 Juli 1997. Dan kita semua sepakat, setiap anak memiliki kisah tersendiri. Kisah yang unik dan menjadi cerita yang tak terlupakan.

 

Di antara dua rasa; itulah perasaan saya sebagai seorang ayah saat menantikan kelahiran bayi Fahmi. Rasa senang karena Sabtu pagi pukul 6.00 kala itu, istri tercinta mulai mules dan minta di antar ke klinik bersalin tanda sebentar lagi lahir bayi Fahmi. Juga rasa khawatir karena saat itu saya sedang tidak bekerja setelah 2 bulan sebelumnya kantor Majalah Mobil Indonesia bangkrut. Khawatir apabila biaya bersalin melebihi biaya yang saya punya, hanya 800 ribu rupiah.

 

Alhasil, cukup panjang waktu menanti kelahiran bayi Fahmi. Sedari pagi hingga matahari terbenam belum ada tanda-tanda istri saya melahirkan. Lima kali sudah istri saya bolak-balik ke ruang persalinan, namun apa mau dikata jika belum waktunya. Hari pun semakin larut, akhirnya saya memutuskan untuk proses kelahiran via Dokter. Tadinya berniat via bidan, maklum soal biaya agar lebih murah. Tepat pukul 21.20 WIB, Sabtu Legi atau 28 Shafar 1418 H lahirlah seorang bayi laki-laki lahir, ananda Fahmi Rifli Pradana, nama yang saya berikan di hari ke-empat setelah lahir. Lelah fisik, lelah hati menunggu .... apalagi istri saya.

 

Dari sini senandung cerita dimulai, saat asyik tertidur di kursi lobby Klinik Bidan Kartini Cipulir, saya dibangunkan suster yang memberitahukan istri saya kejang-kejang di tempat tidurnya. Jarum jam pada 00.30 WIB di 6 Juli 1997. Upaya menancap jarum inpus gagal. Diagnosa para bidan, menyatakan istri saya punya penyakit “ayan”. Dalam kantuk berat, saya kalut. Hingga diputuskan istri saya dirujuk ke RS Fatmawati. Entah apa gerangan? Di RS Fatmawati, istri saya ditolak dengan alasan kamar penuh. Sekarang saya baru mikir, realitas itulah yang terjadi pada “pasien miskin” di RS. Alasan klasik. Setelah ditolak, pihak suster klinik lanjut mengantar ke RS Harapan Kita. Istri saya diterima dan dirawat di sini, namun saya bingung karena “terngiang” berapa biaya yang harus saya keluarkan? Ditambah bayi pertamaku Fahmi yang tetap tinggal di Klinik Kartini. Ibu dan bayinya yang terpisah, menetes air mataku ...

 

Dalam kalut, siapapun, bisa mengambil keputusan rasional, itu benar. Keesokan harinya, Senin 7 Juli 1997, sebagai suami saya memutuskan untuk “memulangkan” istri saya. Percuma seharian tidak ada Dokter dan makin lama biaya pun makin membengkak. Setelah menandatangani surat pernyataan bertanggung jawab, saya mengajak istri pulang ke Klinik, yang memang menolak. Saya katakan, “saya ingin ambil bayi saya dan menyelesaikan pembayaran”. Lunas dan saya tolah saat ditawari pembuatan akte kelahiran Fahmi. Kami pulang bertiga naik bajaj ke rumah mertua. Uang yang ada sudah habis, saya tawakal dan bersyukur hadirnya putra pertama kami, Fahmi Rifli Pradana. Fahmi = Pengertian, Rifli = Syarif & Preli, Pradana = Pertama. Artinya, buah pengertian saya an istri yang pertama kali atau anak pertama saya dan istri yang penuh pengertian.... Sungguh, Allah SWT punya rencana pada mereka yang dicintai-Nya.

 

Senandung pengertian anak mulai terlihat. Saya ikhtiar keras untuk menafkahi keluarga kecilku walau 4 bulan setelah itupun belum punya kerjaan tetap. Dari mana nafkahnya? Dari menulis di koran, dari honor tulisan dan sedikit honor mengajar di malam hari, STKIP PGRI Jakarta (sekarang Unindra). Sambil tekun tahajud setiap malam dan pasrah pada Allah SWT, akhirnya saya dapat kembali bekerja dan menafkahi keluarga dari gaji yang saya terima. Tidak besar, tapi cukup untuk keluarga yang sederhana. Kerja keras dari pagi hingga malam, tak banyak tanya. Saya melakukan yang harus saya kerjakan dan menjadi tanggung jawab saya, sebagai ayah dan suami. Itu saja!

 

Kini 16 tahun sudah berlalu, saya menjadi saksi dan aktor “keberkahan” hidup keluarga saya sendiri. Fahmi Rifli Pradana telah tumbuh menjadi remaja yang menyenangkan hati saya. Tak ada lagi tetes air mata dalam mendidik dan mendampinginya. Justru harapan dan tantangan besar yang membentang ... Apa yang dapat saya siapkan untuk mengantarnya ke “gerbang” kehidupannya kelak ? Fahmi, sudah kelas 3 SMA dan bersiap untuk masuk perguruan tinggi tahun depan, insya Allah lancar Nak, batin saya.

 

Saatnya Abi berpesan padamu Nak; sungguh di dalam dirimu ada bakat sebagai pemimpin dan kamu dapat menjadi inspirasi untuk orang di sekitarmu. Kamu anak yang punya naluri intuitif dan imaginatif, bahkan tajam dan hati-hati. Pantas menjadi pelindung dan cukup simpatik. Kamu punya modal yang kuat, percaya pada diri sendiri. Banyak orang merasa senang denganmu karena bertanggung jawab, murah hati, mudah bergaul. Kamu juga selalu gembira seperti tidak pernah susah, bicaranya berisi, bahkan penuh keberuntungan. Kamu berbakat menjadi cendekiawan/intelektual karena teliti, sabar, dan berhati longgar. Etos yang kamu punya adalah suka bekerja, kuat menderita, dan mampu menjalankan tugas menjadi kemuliaan. Juga mempesona dan sering membuat tenteram hati orang lain. Dan berhati-hatilah terhadap fitnah, jangan sering begadang, serta hindari kesombongan.

 

Catatan ini Abi buat sebagai bukti cinta Abi pada kamu Nak. Sebagai anak laki-laki, beranilah bermimpi sebagai tekad untuk meraih yang kamu inginkan. Mimpi yang berpegang pada masa lalu sebagai hikmah dan masa depan sebagai arah. Jadilah manusia yang punya “sikap” karena sikap kitalah yang bisa “membaikkan” atau “menghancurkan”. Kamu punya potensi, punya keberanian, punya kemauan untuk mengubah segalanya.

Ingatlah, hanya 10% hidup kita tergantung pada apa yang terjadi tapi 90% tergantung pada cara kita menyikapinya. Kitalah yang menentukan SIKAP kita dengan berpegang pada ajaran Allah SWT. Kamulah Nak yang mempertegas “senandung pengertian” di antara kita. Salam cinta untuk anakku, Fahmi Rifli Pradana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun