Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Buyung Benar, Penyitaan KPK Sembrono

24 Oktober 2013   16:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05 779 2
Advokat senior Dr Adnan Buyung Nasution diberitakan berang dan melayangkan surat protes atas penyitaan yang dilakukan KPK terhadap barang-barang milik kliennya, Chaery Wardana alias Wawan.

Pangkal soalnya, penyitaan yang dilakukan KPK tanpa kehadiran pihak pembela (advokat) tersangka Wawan. Sedangkan KPK sudah tahu bahwa Wawan memiliki kuasa hukum. Dengan demikian penyitaan KPK tanpa disaksikan pengacara.

"Makanya saya sekarang mau tanya juga, kemarin diambil buat apa aja. Siapa saksinya? Darimana pembelanya?Nggak ada. Nggak dicatat, diambil begitu saja. Kenapa nggak sekalian ambil rumahnya saja," beber Adnan sebagaimana dikutip dari metrotvnews.com (24/10/2013).

Jika demikian, tambah Adnan, tindakan satgas KPK serampangan dan tidak sesuai hukum. "Itu cara sembrono, serampangan itu. Tidak sesuai hukum, tidak menghormati hak asasi manusia, dan saya protes," tegas dia.

Dalam kesempatan yang sama Buyung menyarankan KPK bertanya pada penegak hukum senior tentang bagaimana cara penyitaan yang baik dan benar. Antara lain seperti penyitaan yang dilakukan kepolisian terhadap barang-barang yang dikuasai Gayus Tambunan (liputan6.com, 24/10/2013).

***

Hemat saya, substansi keberatan Buyung bisa dibenarkan. Penyitaan merupakan tindakan proyustisia, untuk keadilan, bukan tindakan untuk institusi KPK atau Komisioner KPK. Untuk keadilan. Karena itu, penyitaan mesti dilakukan secara benar menurut hukum.

Itulah perbedaan antara penyitaan dengan perampasan. Tidak cukup penyitaan hanya membawa surat perintah pimpinan dan surat izin dari pengadilan, lalu tanpa ba-bi-bu main bawa saja barang orang milik orang lain atau entah siapa.

Yang juga penting, penyitaan itu mesti disaksikan oleh pihak tersangka atau kuasa hukumnya. Terutama untuk memastikan bahwa prosedur penyitaan telah dijalankan, barang-barang yang disita memang milik tersangka, dan barang-barang itu ada kaitan langsung dengan tindak pidana yang disangkakan, lengkapnya sesuai prosedur yang digariskan KUHAP Pasal 38 dst namun dengan kekhususan sebagaimana diatur Pasal 47 UU KPK.

Misalnya, tindak pidana yang disangkakan korupsi. Maka, hanya barang-barang yang terkait tindak pidana yang disangkakan saja yang disita, bisa berupa uang, berkas dokumen, dsb. Di luar itu tidak ikut disita.

Prosedur penyitaan yang digariskan KUHAP tersebut hanya mungkin akuntabel jika disaksikan oleh pihak tersangka atau kuasa hukumnya, termasuk saksi-saksi penyitaan lainnya. Contoh, jika benda yang akan disita ternyata bukan milik tersangka, maka prosedur penyitaan harus dilakukan pada pihak pemilik sebenarnya dari barang itu.

Selama ini, penyitaan KPK cenderung hanya digantungkan pada niat baik KPK semata-mata. Jika barang yang disita tidak berkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan maka KPK akan mengembalikannya. Begitu saja.

Padahal, dalam proses hukum acara pidana Indonesia modern, sejak diberlakukannya KUHAP, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan di pengadilan, posisi tersangka/terdakwa dan polisi-jaksa-KPK pada dasarnya sejajar, sama-sama subjek dalam perkara. Hanya saja posisi yang berlainan.

Tidak bisa penyidik mentang-mentang. Mentang-mentang pegang kuasa lalu bisa seenaknya melakukan apapun atas pendapat sendiri, tanpa mengindahkan prosedur, tanpa mengindahkan hukum acara. Itulah beda premanisme dan penegakan hukum.

Kecenderungan kuat selama ini KPK salah mempersepsi hubungan sesama penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. KPK dan advokat harusnya setara, sama-sama subjek hukum, sama-sama penegak hukum, hanya dalam posisi yang berlainan. KPK mewakili negara dan masyarakat. Advokat mewakili kepentingan hukum kliennya.

Karena salah mempersepsi hubungan demikian maka KPK cenderung mengasingkan diri dari advokat. Tidak mau dikontrol, tidak mau diprotes, tidak mau diawasi, apakah hak-hak hukum seorang tersangka telah dilindungi. Bukti yang paling menyolok, KPK selalu ogah bertemu dengan advokat.

Ini jelas persepsi yang keliru dalam upaya mencegah kongkalingkong. Kongkalingkong bukan karena seorang penegak hukum tidak mau ditemui di kantornya, melainkan karena ada niat dan prosedur yang dilangkahi.

Kalau mau kongkalingkong, bisa di mana saja, di jalanan atau café pun bisa dilakukan. Tidak ada signifikansi langsung antara tidak mau bertemu dengan pengacara tersangka dengan kongkalingkong. Yang penting pertemuan dilakukan secara transparan dan disaksikan oleh pihak lain di kantor resmi.

Karena itu, bisa dipahami manakalah Buyung selaku advokat merasa geram karena dirinya ditolak bertemu Komisioner KPK. Logika sederhana saja, pada tersangka saja KPK bebas bertemu kapan pun, mengapa ogah menemui advokat di kantor? Dengan demikian KPK tak memandang advokat selaku sesama penegak hukum.

Advokat seolah dipersepsi tak lebih sebagai "penganggu". Padahal, penegakan hukum yang berhasil dan terhindar dari peradilan sesat, jika dilakukan secara terbuka pada kontrol pihak lain, termasuk pihak advokat, pers, LSM, dll. Kekuasaan tanpa kontrol, termasuk dalam penegakan hukum, sangat rawan menyimpang atau disalahgunakan.

(Sutomo Paguci)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun