Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

UU KDRT “Legalkan” Penganiayaan dalam Keluarga

26 Juni 2012   07:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 2196 3

Kalau ada undang-undang yang menjungkirbalikkan logika orang waras maka UU No 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)-lah namanya. Betul kalau dikatakan UU ini lebih melindungi maniak daripada menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga. Judul (penghapusan) tidak tercermin dalam isi.

Kalau saya atau anda, wahai sidang pembaca yang budiman, misalnya melakukan penganiayaan istri si Anu bin si Fulan, maka korban atau siapa saja yang mengetahui kejadiannya bisa langsung mengadu atau melapor kepada petugas piket di kantor polisi terdekat. Petugas akan menerima pengaduan/laporan ini. Biasanya pasal yang dikenakan kepada sang penganiaya adalah Pasal 351 dst KUHP yang mengatur perihal penganiayaan. Laporan ini tidak bisa lagi dicabut karena tindak pidana penganiayaan merupakan delik aduan relatif, artinya kalaupun ada perdamaian antara pelaku dan korban maka proses hukum akan tetap jalan terus, paling-paling perdamaian tersebut sifatnya hanya meringankan hukuman bagi pelaku saja.

Sekalipun Ratu Felisha (Feli) masih gadis (waktu itu, sekitar tahun 2006-an), karena ia terkenal, maka sangat menarik dijadikan contoh untuk memperjelas tulisan ini. Dengan kekuatan seorang gadis cantik seperti Feli ini, sebuah sandal bertumit keras digunakan oleh Feli untuk menggetok batok kepala Andika, pacar dari artis seteru lama Feli yaitu artis Andien. Kontan tindakan Feli ini diadukan Andika ke kantor polisi. Polisi kemudian memproses.

Seiring waktu akhirnya baru diketahui kalau Andika dan Feli ternyata masih bersaudara sepupu jauh. Mereka berdua akhirnya sepakat mengakhiri perseteruan. Perdamaian pun akhirnya dibuat dan diteken oleh mereka berdua. Tetapi (ada tapi-nya), perdamian dan permohonan Andika agar kasus ini dihentikan tidak digubris polisi. Kasus jalan terus hingga Feli dijatuhi pidana sekian bulan oleh hakim. Begitulah yang terjadi kalau seseorang menganiaya orang lain atau pacar orang atau istri orang.

Nah, bagaimana kalau si Fulan menganiaya istrinya sendiri. Apakah perlakuan hukum akan sama dengan contoh di atas? Jawabannya, tidak.

Sesuai ketentuan UU PKDRT kalau suami atau istri atau anggota keluarga lainnya melakukan penganiayaan satu sama lain, maka tidak bisa diproses hukum, kecuali kalau ada pengaduan. Artinya, korban harus mengadu dulu ke kepolisian barulah proses hukum akan berjalan. Dan, proses hukum inipun bisa dihentikan kalau pengaduan tersebut dicabut oleh pengadu.

Bedanya lagi. Kalau penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 dst KUHP tersebut, pelapor tidak perlu pakai kuasa untuk melakukan laporan ke kepolisian, artinya siapa saja yang mengetahui adanya penganiayaan bisa melapor. Sebaliknya dengan penganiayaan dalam keluarga sebagaimana diatur dalam UU PKDRT, orang lain (selain korban) harus pakai surat kuasa bila ingin melaporkan penganiayaan tersebut. Contohnya, adik korban atau tetangga atau pak er-te baru bisa melapor kalau sudah memegang surat kuasa dari korban (Pasal 26 UU PKDRT).

Dengan kata lain, tiba-tiba begitu banyak prosedur hukum terhadap penganiayaan yang dilakukan di dalam keluarga. Birokratisasi penanganan KDRT.

Padahal di mana pun di dunia ini berlaku asas hukum universal, yaitu persamaan didepan hukum (equality before the law). Artinya, orang dipandang sama dihadapan hukum. Apakah ia presiden, gubernur, direktur, tukang goreng, gelandangan, semua dipandang sama didepan hukum. Konsekuensinya, kalau presiden menganiaya orang lain maka ia akan dihukum sama seperti gelandangan yang menganiaya. Itulah esensi persamaan didepan hukum.

Tetapi mengapa kalau yang menganiaya itu suami atau istri atau anggota keluarga satu sama lain, maka perlakuan hukum tiba-tiba berbeda. Suami yang hobi memukuli istri diperlakukan istimewa atau memiliki hak khusus (prevelegi).

Dalam filsafat hukum dikatakan bahwa manusia memiliki hak mutlak terhadap tubuhnya. Tidak ada satu orang pun yang boleh mengintervensi hak mutlak itu tanpa persetujuan yang bersangkutan. Atas dasar inilah, kalau dokter mau membedah seseorang atau mau mengamputasi kaki pasien maka dokter tersebut harus terlebih dahulu meminta persetujuan (informed consent) kepada pasien atau keluarga pasien.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun