Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Apa Khabar Somasi #IndonesiaTanpaFPI?

29 Mei 2012   06:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39 583 2
Maraknya kekerasan atas nama agama, yang dilakukan oleh ORMAS keagamaan, serta lemahnya perlindungan hukum dari aparat kepolisian terhadap warga, antara lain kasus pembubaran diskusi buku Irshad Manji dan itimidasi serta pemukulan jurnalis peliput kasus jemaat HKBP Filadelfia Tambun Bekasi, menjadi latar belakang beberapa institusi masyarakat sipil dan perorangan melayangkan somasi kepada Kepala Kepolisian RI. Selain disampaikan langsung ke Kapolri, Somasi tersebut juga diwadahi secara terbuka dalam blog http://indonesiatanpafpi.wordpress.com. Sampai artikel ini diturunkan, Selasa (29/5/2012) pukul 13.15 Wib, sudah 17 institusi dan 2.512 perorangan yang masuk peserta somasi dalam blog tersebut.

Melalui somasi itu, Kapolri diberi tenggat dua minggu terhitung tanggal somasi yaitu 10 Mei 2012 hingga tanggal 24 Mei 2012 untuk melakukan reformasi internal supaya kejadian serupa tidak terulang kembali. Jika dalam dua minggu masih ada pembiaran kasus-kasus kekerasan atau intimidasi atas nama agama, maka #IndonesiaTanpaFPI akan menempuh langkah hukum baik pidana maupun perdata. Dengan demikian tenggat waktu somasi tersebut telah terlewati.

Dengan lewatnya jangka waktu tersebut tentu akan ada evaluasi apakah telah ada respon atau tidak. Jika tidak ada respon atau respon ada tapi tidak memadai, maka kemungkinan akan ditempuh somasi kedua dan somasi kedua tersebut sebaiknya merupakan kali terakhir.

Sampai hari ini belum ada terdengar respon dari Kapolri terkait somasi tersebut. Alih-alih respon malah timbul lagi ancaman-ancaman bernada kekerasan pada pekerja seni yang harusnya dijamin konstitusi perlindungannya, karena ekspresi seni merupakan hak asasi manusia. Sebut saja ancaman akan membubarkan konser dan menghadang kedatangan Lady Gaga di banndara, yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), sehingga berujung pembatalan konser oleh pihak Lady Gaga karena alasan keamanan.

Masih berdekatan dengan waktu somasi yang sama, ada 17 gereja di Singkil Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di tutup oleh pemerintah setempat dengan alasan klasik, tidak ada izin. Harusnya, jika tidak ada izin, pemerintah setempat memberikan izin itu.

Sulitnya perizinan pendirian tempat ibadah pangkal soalnya ada di pemerintah. Warga bisa saja menolak pendirian suatu tempat ibadah, namun jika pemerintah mengizinkan dan memberi perlindungan maka pendirian tempat ibadah akan tetap terlaksana. Dalam kaitan ini, pemerintah harusnya tidak boleh beralasan pendirian tempat ibadah ditentang oleh warga, oleh karena beribadah dijamin konstitusi sebagai hak asasi manusia dan pemerintah adalah pelaksana konstitusi itu. Jadi tidak ada alasan pemerintah tunduk pada tekanan massa. Negara kita adalah negara hukum. Yang ada supremasi hukum, bukan supremasi massa.

Jangan dilupakan bahwa penyegelan gereja di Singkil oleh warga tersebut dimotori salah satunya oleh FPI. Hal ini dibenarkan oleh Pj. Bupati Aceh Singkil, Razali. “Keresahan itu dimotori oleh Forum Umat Islam yang di dalamnya ada FPI,” kata Razali sebagaimana dikutip The Globe Journal.

Dalam hubungan ini, Polri sebagai aparat hukum negara merupakan unsur pelaksana konstitusi dan perundangan organik sebagai pelaksana hak konstitusional warga negara. Kongkretnya, Pasal 12G ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia, namun kenyataannya diabaikan oleh Polri yang diberi mandat undang-undang untuk mengamankan. Alih-alih Polri melindungi peserta diskusi buku Irshad Manji dan jemaat gereja HKBP Filadelfia, ini Polri malah terlibat warga membubarkan acara diskusi buku Irshad Manji dan membiarkan ibadah jemaat HKBP Filadelfia digeruduk massa. Maka, bisa disimpulkan Polri telah dapat dikualifisir melanggar HAM yang tercantum dalam konstitusi UUD 1945 tersebut.

Kita sama tahu sampai hari ini tidak terlihat langkah hukum kongkret Polri terhadap pengancaman FPI kepada Lady Gaga  dan promotor Big Daddy Intertainment selaku penyelenggara konser, juga terhadap pelaku kekerasan atas nama agama dalam diskusi buku Irshad Manji, dan penyegelan gereja oleh warga dan FPI di Singkil NAD.

Pembiaran pengancaman oleh Polri tersebut menjadikan tiadanya jaminan keamanan. Jaminan keamanan tidak hanya dimaknai kesediaan Polri mengamankan suatu acara, misalnya konser musik, melainkan juga meliputi tindakan aktif Polri untuk meniadakan dan mengusut setiap bentuk ancaman yang berpotensi menimbulkan instabilitas dan tindakan kriminal lainnya.

Jika setiap ormas bebas saja melakukan pengancaman akan membubarkan acara, akan menghadang, akan membunuh, dan lain-lain, kemudian ancaman itu mengakibatkan hilangnya rasa aman dan kerugian materil, maka hakikatnya sudah tidak ada ketertiban yang harusnya dijamin hukum. Tidak ada alasan Polri untuk tidak memproses hukum setiap ancaman demikian.

Tiadanya jaminan keamanan oleh Polri otomatis Polri dapat dikualifisir melanggar tugas pokoknya sendiri sebagaimana digariskan Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.[]

Catatan: Penulis ikut masuk sebagai peserta dalam Somasi tersebut di atas hanya terbatas dalam konteks menuntut Polri melakukan reformasi internal supaya kekerasan atas nama agama tak terulang kembali. Tidak meliputi gerakan membubarkan FPI sebagai sebuah ormas. Sebab, harus dibedakan antara FPI sebagai sebuah ormas yang eksistensinya juga dijamin konstitusi, dengan perbuatan anggotanya yang acap melakukan kekerasan. Pelaku utama dan pelaku penyertaan (deelneming) dalam perbuatan kriminil kekerasan tersebut yang harusnya diusut tuntas dan dipenjarakan.

Artikel terkait: #IndonesiaTanpaFPI dan #IndonesiaTanpaJIL, Mana Suaranyaaa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun