Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Nyai Ontosoroh vs Nyai Fatimah

29 Maret 2015   06:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:51 881 0
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri. – Nyai Ontosoroh –

Nyai Ontosoroh adalah salah satu tokoh sentral dalam novel tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer yang fenomenal itu. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang berani menggugat kedudukan perempuan Jawa yang dianggap hanya sekedar pajangan dan pemuas nafsu laki-laki semata. Dengan cara berpikir yang melampaui pemikiran kebanyakan perempuan pada masanya, Nyai Ontosoroh tak sekedar memperjuangkan hak-haknya melainkan juga mendobrak tradisi jahiliyah yang menempatkan perempuan hanya setara dengan uang dan jabatan.

Meskipun sama-sama mempunyai sebutan nyai, tapi nanti dulu, dua nama di atas berada pada jarak ratusan mil dalam pandangan etis dan budaya yang berkembang pada masyarakat umumnya. Sebutan nyai pada Ontosoroh adalah sematan bagi perempuan yang dijadikan gundik atau perempuan peliharaan serdadu atau pejabat Belanda di era kolonial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Depdikbud pada 1989, seorang nyai memiliki kesinoniman dengan gundik dan selir. Baik nyai, gundik maupun selir, diartikan sebagai bini gelap, perempuan piaraan, dan istri yang tidak pernah dikawini resmi (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nyai). Sedangkan nyai pada nama kedua, Fatimah, merujuk pada panggilan kehormatan kepada istri kyai, gelar ulama di tanah Jawa.

Sebagai perempuan yang tinggal di rumah gedung pejabat Belanda, seorang nyai mempunyai kedudukan ekonomi yang tinggi, namun tidak secara moral. Meskipun mereka berpakaian mewah dan mengenakan perhiasan mahal, seorang nyai selalu dikonotasikan sebagai perempuan yang gampangan dan serampangan dalam berakhlak. Berbanding terbalik dengan sebutan nyai yang satunya, kedudukannya dalam masyarakat memperoleh penghormatan yang sangat tinggi, meskipun secara ekonomi bisa jadi jauh dari kecukupan. Dia dianggap icon sikap dan perilaku perempuan baik-baik yang menjadi barometer perempuan dalam bertindak. Bahkan tutur kata seorang nyai akan menjadi sabda yang steril dari kekeliruan, hanya sedikit saja dibawah fatwa. Karena itu seorang nyai adalah orang suci, sumber cahaya bagi orang-orang di sekelilingnya, terutama bagi kaum perempuan. Melalui akhlaknya seorang perempuan dapat berkaca.

Kepribadian Nyai Ontosoroh sendiri dalam "Bumi Manusia" sebenarnya jauh dari stigma negatif tentang ke-nyai-an yang ada pada masyarakat. Benar, statusnya sebagai seorang nyai telah membuat Ontosoroh merasa sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Pada masyarakatnya dia dihujat, di sisi lain dia harus patuh kepada orang tuanya, ayahnya, untuk rela dijadikan istri simpanan pejabat kolonial demi jabatan dan uang, satu-satunya alat yang bisa digunakan sebagai pendongkrak status sosial keluarga pada masa itu.

Sadar akan kondisi tersebut Sanikem, nama asli Nyai Ontosoroh, berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Sanikem berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan segala jerih keperempuanannya hanyalah dengan belajar. Dendamnya kepada orang tuanya membuat ia berusaha bangkit dengan belajar segala pengetahuan Eropa. Dia belajar tata niaga, belajar bahasa Belanda, membaca media Belanda, belajar budaya dan hukum Belanda sehingga dia mampu menjelma menjadi raksasa perempuan yang tak gentar dengan ketidakadilan dan ketertindasan yang diterima kaumnya.
Sekilas mirip dengan sepak terjang R.A Kartini, entahlah, mungkin Pram juga terinspirasi tokoh ini ketika menciptakan karakter Nyai Ontosoroh. Pendeknya Nyai Ontosoroh adalah tokoh yang mewakili kaum perempuan menyuarakan suara hatinya agar tak hanya terdengar dalam keheningan anggukan dan ketundukan kepalanya di depan adat dan tradisi.

Sayangnya, dobrakan Nyai Ontosoroh tak diiringi juga dengan dobrakan terhadap pintu yang satunya, yaitu pintu menuju Tuhan. Buat Nyai Ontosoroh, Tuhan hanya ada dalam sebutan namun tidak dalam kelamnya nasib perempuan. Kepahitan demi kepahitan yang ditangguk sang nyai menjadikan hatinya begitu keras, sampai-sampai tak ada cekungan yang mampu menampung sedikit saja pengertian bahwa Tuhan bisa dimintai tolong membereskan segala persoalan yang dihadapinya. Keadilan baginya adalah barang mahal yang harus direbut melalui tangannya bukan dilantunkan dalam gumaman doa - doa pelipur lara.

Sementara Nyai Fatimah, adalah sosok perempuan yang hidupnya didarmabaktikan untuk nguri-uri kehidupan domestik yang jauh dari hiruk pikuk tuntutan-tuntutan perempuan modern yang memusingkan kepala. Baginya semesta hidup adalah kepatuhan terhadap tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Tuhan, ia meyakini jalan itulah yang akan mempertemukan dirinya dengan Tuhannya, karena Tuhan adalah muara segala muara hidupnya.

Seharusnya Nyai Ontosoroh bertemu dengan Nyai Fatimah. Sinergi dua perempuan ini akan menjelmakan perempuan-perempuan berjiwa Mekkah namun berpikiran Eropa. Seandainya Nyai Ontosoroh berkawan dengan Nyai Fatimah, perempuan akan menemukan makna utuh kehadirannya di dunia yang tidak hanya sebagai pencetak generasi umat manusia melainkan juga pejuang di garda terdepan sebagai sosok-sosok penyangga negara yang dirindukan jaman.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun