Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Kebersamaan, Kemandirian, dan Semangat Perjuangan

9 Maret 2011   03:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57 189 0
Sabtu, 05 Maret 2011, bertepatan dengan Hari Raya Nyepi umat Hindu. Aku, mas Bayu, Sita, Sri, Juhari dan Rahmat (personil Pimpinan Wilayah IPM Kepulauan Riau) berkumpul di pelabuhan Punggur sesuai jadwal yang kami tetapkan sebelumnya, yakni pukul 08.30 Waktu Insan Beriman.

“Bu bendum, nih udah ngumpul semua, udah bisa dibeli tiketnya” kataku pada Bendahara Umum, Ipmawati Sri Andri Yanti
“ok” jawab Sri tanda mengiyakan dan segera pergi ke loket tiket ditemani Ipmawati Siti Masita –Ketua Advokasi

Tidak lama kemudian, ia kembali dengan wajah sedikit bingung lalu bertanya, ”kak, biasanya kalau kita ke Bintan, harga tiket speed boat-nya Rp40.000, kan?”
”iya, kenapa?” jawabku dan balik bertanya
”aneh, kok tadi pas saya tanya ke loket, harganya Rp110.000/ orang, kak.” jelasnya
”hah??? Serius? Wah, itu sih kemahalan, mau habis berapa ratus ribu untuk memberangkatkan 6 orang? Ya sudah, kita naik roro saja” jawabku seraya mengambil keputusan

Kami bergegas meninggalkan pelabuhan itu lalu pergi ke pelabuhan roro yang berada di sebelahnya. Setibanya di pelabuhan roro, tanpa menunggu instruksi lagi, bendahara umum dengan masih ditemani sita langsung membeli tiket roro untuk sekali jalan dengan harga Rp14.500 per orang. Ya, harganya jauh lebih murah. Tapi konsekuensinya, kami terlambat sampai di tempat acara (walaupun personil yang lain telah berada di lokasi). Acara di Bintan, dimulai pukul 10.00 WIB, sedangkan roro baru berangkat dari Batam pukul 10.00 WIB. Lama perjalanan bisa memakan waktu 1 jam, belum lagi ditambah dengan lama perjalanan darat di Bintan. Hitung-hitungannya, kami baru bisa tiba di lokasi acara pukul 12.00 WIB. Berbeda jika menaiki speed, kami bisa tiba di lokasi acara 1 jam lebih cepat dari jadwal acara yang seharusnya.

Saat di pintu masuk pelabuhan roro, terdapat sebuah spanduk besar dengan tulisan, ”Hargailah Diri Anda dengan Memiliki Tiket”. Kemudian seorang teman di antara kami nyeletuk, ”berarti harga diri kita senilai Rp14.500, ya?”. hahahaha... kami semua tertawa sambil terheran-heran atas kalimat pada spanduk itu.

Sekitar pukul 09.00 WIB, kami masuk ke dalam kapal roro –jujur saja, ini kali pertama aku naik roro, dan ternyata personil yang lain pun demikian- kami harus menunggu selama 1 jam untuk keberangkatan kapal dan 1 jam lagi untuk lama perjalanan kapal sampai di tujuan. Wah, cukup membuat bosan karena kapal seolah-olah tidak bergerak. Sepanjang perjalanan, aku sibuk berdiskusi dengan Ipmawan Bayu Ginanjar –Ketua Perkaderan, topik yang kami diskusikan pun tidak jauh-jauh dari ”arah gerakan IPM Kepri ke depan”. Di sela-sela diskusi itu, aku menoleh ke belakang, kanan dan kiri seolah-olah menge-check keberadaan personil yang lain -khawatir yang lain tiba-tiba sudah tidak berada di tempat lalu nyebur ke laut, hehehe, khayalan yang aneh-.

Saat aku menoleh ke belakang, tampak Sri dan Juhari sedang asyik membaca buku sedang Rahmat terlihat konsen membaca koran. Kemudian ketika aku menoleh ke sebelah kananku, ada Sita dengan aktivitas tak jauh berbeda dengan yang lain, yakni membaca buku. Lalu dengan tenang, aku melanjutkan diskusi seru dengan mas Bayu (begitu aku memanggilnya) yang berada tepat di sebelah kiriku.

Tiba-tiba kami melihat orang-orang mulai berebutan menuju tangga, kami berenam malah kebingungan. ”sudah sampai ya?” bisik Sri padaku. ”ga tau juga nih” jawabku
Kemudian aku bertanya pada seorang ibu yang kebetulan berada di depanku, ”ini sudah sampai di Tanjunguban yah bu?”
”Iya, sudah. Ayo turun” jawab ibu itu sembari mengajak turun

Setelah tampak mulai lengang tanpa ada yang berebut turun lagi, aku seolah memberi instruksi kepada yang lain untuk segera turun lalu meninggalkan kapal itu. Begitu keluar kapal, seolah ada pesta penyambutan dan sapaan ”Selamat Datang di Tanjunguban Kabupaten Bintan!!”. Ya, kami semua tahu bahwa pesta dan sapaan itu berasal dari sinar matahari yang panasnya luar biasa nyentrik hingga buat kami terpana dan mabuk kepayang.

”Ya Allah, panas banget, berkali-kali lipat dari panasnya Batam ya!” gerutuku
”Ayo jalannya buruan, cari tempat yang teduh” ajak yang lain
”Kita minum dulu lah, haus banget. Laper juga nih, tadi pagi ga sempet sarapan” kata mas bayu
”haha... ide bagus itu!” kata Rahmat menyetujui

Hingga tiba lah kami di sebuah kedai milik warga Tionghoa. Kami masuk ke dalamnya (karena kedai yang lain tampak sama saja) lalu mulai memilih tempat duduk. Tata ruang dalam kedai itu tampak ’aneh’, bagaimana tidak? Hanya ada 4 meja kecil dengan 2 kursi berhadap-hadapan yang terbuat dari kayu, menyiratkan bahwa tiap-tiap kursi untuk diduduki 2 orang. Ya, memang benar untuk 2 orang, tapi jika 2 orang itu bertubuh mungil seperti aku. Maka apabila yang duduk di sebelahku badannya 5-10 centi lebih besar dariku saja, dijamin tidak muat. Hahaha. Alhasil, kedai itu pun penuh diisi oleh kami saja.

”Mau pesan apa?” tanya pelayan toko itu
”Sebentar ya pak, kami diskusi dulu, nanti kami panggil” kata Rahmat
”Ok” kata pelayan itu sembari meninggalkan kami
”Memangnya mau diskusi apa? Makan aja kok ribet?” kataku
”Makan di sini? Siapa yang bayar? Jangan salah, makanan di Bintan itu harganya jauh lebih mahal daripada di Batam” terang Rahmat dengan raut wajah yang sedikit panik
”Hahaha, percuma ada bu Bendahara, ya khan bu?” jawabku sambil melirik ke arah Sri
”Eh, makan di sini ga masuk anggaran!” jawab Sri kelabakan
”Waduh! Ya wes lah, pesan aja, nanti kita iuran se-ikhlasnya, kalau uangnya kurang ya cuci piring aja. haha” jawabku sambil tertawa
”Haha... emangnya bisa yah?” yang lain serempak meyakinkan
”Iya, bisa. Sudah, buruan pesan, tapi jangan yang mahal-mahal ya” kataku sambil tersenyum kecut
”Pak, kami pesan mie ayamnya 6 dan Teh Obeng-nya 6” Rahmat memesan

Tak berselang lama, pesanan pun datang. Tapi kami terkaget-kaget melihat penampilan Mie ayam dalam mangkok berwarna hijau itu. ”Kok mie-nya berwarna hijau?” tanya Sita pada pelayan yang mengantar makanan
”Iya, mie-nya kami buat sendiri. Hijau karena dicampur dengan Sawi” jawab pelayan itu
”Oooh.... keren ya!” sahut kami bangga
Memang, kami berenam belum pernah melihat mie ayam yang mie-nya itu berwarna hijau seperti yang kami dapatkan di Bintan. Selain itu, rasanya juga enak sekali. ”Besok pengen beli lagi” tersirat dalam hati

Selesai makan, kawan-kawan IPM Bintan datang menjemput kami. Terlihat Ramai sekali yang datang menjemput, itu karena kami dijemput menggunakan sepeda motor. Sehingga, seolah-olah ada pasukan ber-jas kuning yang sedang konvoi.

Hingga tiba lah kami di lokasi acara Rapat Kerja Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kepulauan Riau. Acara yang berlangsung pada tanggal 05-06 Maret 2011 ini digelar di SMK Muhammadiyah Tanjunguban yang juga merupakan satu-satunya sekolah Muhammadiyah di Kabupaten Bintan –Kepulauan Riau. Kondisi sekolah yang sangat sedehana tidak sedikitpun menyurutkan semangat kami, tapi justru menyulut api kebersamaan, kemandirian dan semangat perjuangan.

”Memang banyak kita lihat di wilayah lain mengadakan Rakerwil di gedung-gedung yang memang representatif, tapi bukan berarti karena kita tidak melakukan hal yang sama, lantas kita tertinggal atau kalah dari mereka. Justru kita sedang membuktikan bahwa kita mampu menyelenggarakan agenda yang sama dengan mereka walau diselenggarakan dengan sederhana, bahkan sangat sederhana. Ingat, yang perlu diperhatikan adalah proses dan output dari diadakannya Rakerwil ini, bukan dimana kita mengadakannya” kataku kepada seluruh peserta

-Batam, 07 Maret 2011-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun