Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Kisah Cinta dalam Belenggu Tradisi Misoginis

7 Juni 2015   02:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 408 1
Judul: 4 Musim Cinta
Penulis: Abdul Gafur, Pringadi AS, Puguh Hermawan, Mandewi
Penerbit: Exchange
Tahun Terbit: Maret 2015
Jumlah Halaman: 333
ISBN: 9786027202429

CINTA merupakan benang merah novel 4 Musim Cinta (Exchange, 2015) karya Mandewi, Gafur, Puguh, dan Pringadi. Empat pengarang yang berprofesi sebagai birokrat, menuliskan empat tokoh sentral yang juga memiliki profesi sebagai birokrat. Mereka muda dan jatuh cinta. Ide novel ini dengan mudah memikat kita untuk jatuh cinta pada untaian kisah yang dipintal para pengarangnya.

Ketika Birokrat Muda Jatuh Cinta

Novel 4 Musim Cinta tidak menuturkan pergantian musim secara geografis. Kata 4 Musim tampaknya merupakan simbolisme empat karakter tokoh sentralnya yang memang terlibat petualangan dan upaya menemukan cinta. Gayatri, perempuan Bali yang berkarakter kuat dan mandiri, sehingga menyulitkan dirinya menemukan pria yang mampu membuat dirinya menyadari keberadaan ruang kosong dalam setiap diri—sebuah ruang yang menjadi tempat tumbuhnya benih-benih cinta. Gafur, pria Makassar yang memiliki karakter kompleks dan terbiasa berhubungan seks dengan kekasih yang berbeda, mengakibatkan dirinya meragukan pernikahan. Pring yang tengah memperjuangkan cinta dalam jalinan pernikahan, membuat kisah 4 Musim Cinta menjadi spesial. Kehadiran Arga, pria Jawa yang dihantui dilema cinta dan selalu gagal menjalin cinta, menjalinan kisah seluruh karakter menjadi sinergis.

Sejauh ini, belum ada konvensi dalam mengaitkan karakter manusia (tokoh fiksi) pada jenis-jenis musim. Masing-masing negara memiliki persepsi terhadap musim. Bila merujuk pada gugusan fonetik, tokoh Pring rentan direlevansikan dengan musim semi (spring). Bahkan, ia pun memiliki kecerdasan linguistik dan ahli mengukir kata-kata puitik. Kalimat sederhana bisa dituturkan dengan berbunga-bunga khas musim semi. Tapi, bila merujuk pada kebudayaan Jepang, musim semi (spring) lebih tepat diwakili Gafur. Sebab, musim semi dalam bahasa Jepang adalah eufemisme dari seks. Eufemisme ini dikukuhkan dengan karya seni ‘shunga’ (gambar musim semi) yang memang menampilkan gambar-gambar erotis dan hubungan seks. Di antara empat tokoh yang membangun pondasi 4 Musim Cinta, Gafur merupakan pribadi yang memberi warna kental seksualitas dan menempati posisi musim semi dalam perspektif budaya Jepang. Karena itu, ‘empat musim’ dalam novel ini lebih tepat merujuk pada simbolisme empat karakter yang membangun cerita: Pring, Gafur, Gayatri, dan Arga. Simbolisme ini bebas ditafsirkan sesuai kerangka budaya yang membentuk imaji para pembaca.

Sayangnya, ide penulisan 4 Musim Cinta dengan empat penulis dan empat tokoh sentral, tampaknya menjebak penokohan menjadi ‘tokoh kolektif’. Implikasinya, proses individuasi tokoh utama menjadi kurang maksimal. Pergantian tokoh dan setting yang dapat disebut berlangsung terlalu cepat, rentan mengakibatkan distraksi narasi dan alur menjadi kehilangan ketajaman fokus. Bahkan, pada sebagian bab akhir, terdapat peristiwa yang terlalu singkat dan seolah berganti dalam hitungan menit. Seolah-olah sebagian besar peristiwa terjadi dalam waktu bersamaan. Bila pengarang membubuhkan ‘tanggal dan tempat’ sebagai pembukaan pada beberapa bab penting, pembaca akan lebih mudah masuk ke dalam ruang dalam dimensi cerita.

Birokrasi negara yang menjadi daya tarik dan keunikan novel ini, juga kurang diolah. Porsi birokrasi negara dalam 4 Musim Cinta masih berada di permukaan, yaitu kesibukan dan keluhan-keluhan para birokrat muda dalam suasana kerja yang paternalistik dan monoton. Kasus korupsi yang menjadi polemik besar dalam birokrasi negara hanya diulas dalam beberapa kalimat (lihat hal. 220). Hingga bab terakhir, tidak terlihat upaya (inovasi) para tokoh untuk mengubah kondisi atau sistem yang tidak kondusif tersebut.

Meskipun narasi menggunakan bahasa yang cenderung mudah dipahami, perubahan setting dan pergantian tokoh yang cepat, menuntut ‘kesabaran’ dalam menuntaskan membacanya. Dan melihat materi yang ditawarkan pengarang, 4 Musim Cinta tidak akan lengkap tanpa diberi label ‘17+’. Sebab, sebagian tokoh terlibat dalam relasi cinta yang ‘tidak biasa’ dan cukup gamblang menuturkan seksualitas yang melanggar tabu.

Dalam narasi novel 4 Musim Cinta, terjadi begitu banyak repetisi mengenai minat menulis, pertanyaan-pertanyaan tentang cinta, dan suasana monoton birokrasi negara. Repetisi tersebut rentan menimbulkan kejenuhan pembaca. Porsi ‘dialog’ mendominasi peristiwa. Hal ini mengakibatkan para tokoh terkesan ‘cerewet’ dan menggurui pembaca. Padahal, untuk meneguhkan eksistensi karakter, narasi merupakan jalan yang efektif.

Dari beragam sisi kekurangan dan kelebihan 4 Musim Cinta, keberadaan cinta dalam belenggu budaya misoginis membuat novel ini menjadi istimewa.

Sisi-sisi Sekeping Cinta

Memang, selintas kisah 4 Musim Cinta tidak menunjukkan warna feminis atau kritik terhadap bias gender dalam masyarakat. Rasa bahasa dan pilihan diksi pun tidak membuat dahi berkerut. Namun, disadari atau tidak oleh para pengarangnya, pondasi kisah yang meraka pintal, telah direbut relasi ‘budaya seks’ dalam tatanan masyarakat misoginis. Secara harfiah misoginis artinya ‘membenci perempuan’. Realitasnya, budaya misoginis dapat berwujud diskriminasi seksual, kecenderungan menyalahkan perempuan, kekerasan domestik, dan anggapan perempuan sebagai objek seksual.

Kesadaran misoginis bisa leluasa menyelinap dalam kesadaran pribadi yang dinilai baik atau bermoral, sebagaimana suami Indah (Pring). Pandangan Pring terhadap perempuan, menempatkan definisi misoginis yang representatif, sebagaimana pernyataan berikut: Citra perempuan ideal di mataku masihlah seseorang yang siap dan sigap menyambut suami pulang kerja, menyiapkan sarapan, membuatkan segelas teh hangat dengan sedikit gula kesukaanku. Aku tidak pernah membayangkan memiliki istri yang saat aku pulang kerja tak ada di rumah karena sibuk bekerja. Suami dan anak adalah prioritas (hal. 100). Dari pernyataan Pring terlihat penilaian bahwa posisi perempuan sebagai subordinat pria (the second sex) dan pria menjadi pemilik hak otoritas (superior). Hal ini ditegaskan ketidaksetujuan Pring pada keinginan istrinya (Indah) untuk melanjutkan pendidikan S2.

Uniknya, pada konteks Pring-Indah, terlihat pergeseran kesadaran misoginis yang sangat kental. Indah berani menyatakan pendapat dan meraih kendali situasi. Dalam tatanan misoginis, istri ‘tidak dibenarkan’ untuk maju dan meninggalkan ‘kewajiban’ pelayanan domestiknya. Meskipun menimbulkan keretakan dan diwarnai perselingkuhan dengan Gayatri, Pring memberi izin bagi Indah untuk melanjutkan studi S2 di ITB. Pada relasi Pring-Indah terlihat potensi pemaknaan cinta sebagai bentuk upaya dalam pembebasan dari belenggu misoginis. Memang, cinta semestinya tidak mengikat atau memunculkan dominasi, melainkan membebaskan masing-masing pribadi untuk mengaktualisasikan diri dan mengalami pertumbuhan secara intelektual-spiritual.

Di sisi lain, terdapat relasi misoginis yang masih mengakar. Hal ini terdapat pada kekasih Gafur, Dira. Dira merepresentasikan pribadi yang mengalami trauma dan represi tradisi misoginis. Dira mengidentifikasi pria pada sosok ayahnya yang meninggalkan ibunya. Ayah Dira terpikat pada perempuan lain. Dalam tatanan misoginis, perempuan dirugikan. Posisi perempuan cenderung lebih mengarah pada pelayanan kebutuhan pria. Setelah tidak dibutuhkan, perempuan akan ditinggalkan pria (suami). Perempuan pun menjadi tergantung pada peran pria yang dominan.

Setelah ditinggal ayahnya, Ibu Dira memutuskan untuk bunuh diri. Dari pengalaman traumatis ini, Dira memiliki kebencian pada pernikahan dan melunturkan kepercayaan pada pria, sebagaimana pernyataannya: Aku memang perempuan biasa yang membutuhkan laki-laki, setidaknya untuk kupeluk pada malam hari [...] Tapi, aku tak butuh pernikahan, Gafur. Aku tak ingin mengikat laki-laki dengan sebuah surat dan tanggung jawab. Itu bisa membuat mereka gila. Dan pada akhirnya mereka juga akan pergi meninggalkanku. Dan jika hal itu terjadi, akan terasa jauh lebih sakit. Kau tak mau kan, kalau aku nanti menjadi istri menyedihkan yang ditinggal suaminya, lalu menjadi gila dan bunuh diri? (hal. 156). Dari teks ini terlihat, kebencian Dira pada pernikahan adalah salah satu efek negatif misoginis, yaitu depresi seorang ibu (istri) yang diturunkan pada anaknya.

Bila seorang perempuan tidak mandiri sebagai individu, ia akan selalu didefinisikan simbol kuasa misoginis (pria) sebagaimana yang dialami Dira. Meskipun Dira terlihat dominan, ia mengalami kerapuhan dalam dirinya. Sikap dominan merupakan mekanisme pertahanan diri dalam memikul trauma represi misoginis.  Dira tidak percaya pada komitmen pria, sehingga tubuhnya menjadi objek seksual para pria yang ‘disangka’-nya sebagai kekasih, sebagaimana pernyataannya: Aku tidur dengan semua kekasihku. Seperti yang baru saja kita lakukan (hal. 85). Kecenderungan berganti-ganti pasangan seks, merupakan salah satu perilaku yang dimiliki seorang pengidap gangguan mental (psikologis). Hal ini ditandai menghilangnya Dira secara misterius di penghujung cerita yang mengindikasikan dirinya anti-sosial.

Uniknya, Gafur ataupun Arga mengalami kesalahan persepsi dalam memahami pribadi Dira. Kedua birokrat muda ini tidak menyadari bahwa karakter kuat dan mandiri yang dimiliki Dira merupakan sebuah mekanisme pertahanan diri. Ketidaktahuan Gafur dan Arga pada ‘penyakit mental’ yang diidap Dira, mengakibatkan mereka jatuh cinta perempuan Sunda ini. Kisah cinta segitiga antara Dira dengan Gafur dan Arga membuat ‘suspence’ 4 Musim Cinta penuh hentakan yang mendebarkan.

Selain Dira dan Indah, Gayatri menjadi perempuan yang memegang peran kuat dalam novel 4 Musim Cinta. Untuk beradaptasi dengan lingkungan yang misoginis, Gayatri ‘bertransformasi’ menjadi pribadi yang berkarakter kuat dan bebas. Ia mampu keluar dari kungkungan budaya misoginis yang masih memengaruhi adat Bali. Gayatri merupakan salah satu perempuan yang berupaya membebaskan diri dari kungkungan misoginis-primordial. Agak disayangkan, eksotisme adat Bali yang berpotensi memperkaya kisah, tidak diangkat secara detil.

Meskipun berada dalam lingkungan yang tidak nyaman bagi perempuan, Gayatri memilih jalan aktualisasi diri untuk beradaptasi. Ia seolah terobsesi untuk setara dengan pria. Hal ini dibuktikannya dengan mandiri secara pemikiran dan finansial. Belenggu misoginis tidak lagi menghancurkan dirinya. Bahkan, Gayatri pun memiliki kebebasan untuk memilih pria dan tidak keberatan dengan stigma negatif pada dirinya yang belum juga menikah, sebagaimana pernyataannya: Yeah, right. Perawan tua. kamu punya julukan tepat buatku (hal. 228). Selain itu, Gayatri pun memiliki kesadaran eksistensial sebagaimana pernyataannya: Pertemanan adalah penting, tetapi pertemanan dengan dirimu sendiri adalah yang terpenting (hal. 114). Dengan bersahabat dengan diri sendiri, menerima kekurangan-kelebihan diri, perempuan tidak akan rentan atau reaktif dengan gangguan yang timbul dalam tradisi misoginis. Gayatri memiliki kemerdekaan psikologis. Patah hati dan cinta yang belum menemukan muara, tidak membuat Gayatri putus asa meretas masa depan gemilang.

Perjalanan Menemukan Cinta

Budaya misoginis menuntut kepatuhan perempuan. Budaya ini rentan membuat perempuan rentan kehilangan hak otonom atas tubuh dan eksistensi sebagai pribadi yang memiliki hak azasi. Sifat perempuan dalam konstruksi budaya misoginis akan menyulitkan perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam lingkungan kerja yang paternalistik dan kompetitif. Budaya misoginis tidak hanya merugikan perempuan, melainkan menghambat kita dalam upaya penemuan cinta. Kita pun sudah sering menyaksikan dalam kehidupan nyata, betapa rapuhnya pernikahan (relasi/komitmen sejenisnya) dalam tatanan budaya misoginis.; selalu dibayang-bayangi perceraian, perselingkuhan, pertengkaran, kekerasan domestik, dan trauma. Hal ini disebabkan, konsepsi (pemahaman) pada cinta telah kehilangan esensi dan bercinta dinilai sebagai pelampiasan hasrat biologis, sehingga tereduksi dari kosmos. Akibatnya, obesesi pada cinta menimbulkan keraguan (ketidakpastian), hubungan seks sering kali menyisakan siksaan rasa hampa, dan pernikahan rentan dinilai merampas kebebasan perempuan. Tidak mengherankan, sebagian feminis radikal menuduh bahwa pernikahan merupakan perbudakan seksual (pelacuran) yang dilembagakan.

Novel 4 Musim Cinta menandai pergeseran kesadaran dalam memaknai cinta dari ranah misoginis menuju arah yang meneguhkan hak asasi. Tokoh Pring menghadirkan jawaban yang segar terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang cinta dan pernikahan yang sering direduksi pengaruh misoginis. Bahkan, secara esensial, pandangan Pring identik dengan definisi klasik tentang cinta yang diutarakan Milan Kundera.

Dalam The Unbearable Lightness of Being, Milan Kundera mendefinisikan cinta yang universal dan esensial: Bercinta dengan seorang wanita dan tidur dengan seorang wanita merupakan nafsu yang terpisah, bukan hanya berbeda, namun bertolak belakang. Cinta tidak memberinya merasakan hasrat untuk melakukan suatu persetubuhan (suatu hasrat yang meluas pada jumlah wanita yang tiada terbatas) namun pada hasrat untuk berbagi tidur (suatu hasrat yang terbatas pada satu orang wanita.

Di sisi lain, dalam memahami cinta, Pring dipengaruhi pemikiran seorang temannya, bahwa; Jatuh cinta dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Sebagai lelaki kita bisa jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama atau orang yang berbeda. Tapi, mencintai adalah keputusan. Sekali kita sudah memutuskan untuk mencintai, maka mencintailah selamanya. Nikmati prosesnya. Pahit atau manis (hal. 314).

Meskipun terdapat perbedaan bahasa, secara esensial cara Pring memandang cinta, identik dengan definisi cinta dalam pandangan Milan Kundera tersebut. Bahwa ‘hubungan cinta secara ideal’ adalah relasi monogami atau kesetiaan pada seorang belahan jiwa.

Peran Pring sebagai satu-satunya tokoh yang menikah dan memberi izin bagi istrinya (Indah) untuk mengaktualisasikan diri (melanjutkan studi S2); menandai pergeseran cinta dalam kuasa kesadaran misoginis menuju relasi yang memanusiakan. Dalam pandangan Pring, cinta bukanlah sekadar hasrat biologis; setelah hasrat itu tuntas dengan hubungan seks, cinta berakhir dan menyisakan hampa. Tujuan relasi cinta dilembagakan melalui pernikahan adalah untuk mengukuhkan kemanusiaan. Pernikahan mengukuhkan keberadaan cinta dalam sebuah sistem sosial budaya. Perempuan (istri) bukanlah perhiasan atau benda yang dikuasai pria (suami). Perempuan (istri) adalah mitra seperjalanan dan keberadaannya meneguhkan eksistensi pria.

Dalam relasi heteroseksual, pria tidak akan utuh tanpa kehadiran perempuan. Kemuliaan pria (suami) terletak pada kehormatan perempuan (istri). Pria (suami) tidak akan dihormati perempuan (istri) bila ia tidak menghormati impian-impian perempuan (istri) untuk meraih kemajuan. Niat Pring menamakan anak pertamanya Gayatri (teman perempuannya yang memiliki kemerdekaan psikologis) menunjukkan bahwa dirinya membuka diri untuk kemajuan perempuan.

Semuanya berubah, tanpa henti (Pantha Rei-Herakleitos). Demikian pula dengan esensi cinta. Novel 4 Musim Cinta menuntun pembaca untuk lebih memahami esensi cinta di zaman modern. Cinta yang berabad-abad dibelenggu kuasa misoginis, telah bertransformasi menuju arah yang lebih manusiawi. Bahwa, cinta bukan sekadar ketertarikan (ikatan) fisik dalam pengaruh hasrat seksual. Seksualitas merupakan berkah Ilahi dan energi kehidupan. Bila dimanfaatkan untuk tujuan yang mulia; cinta akan mengantarkan manusia menuju pencapaian-pencapaian spiritual dan melestarikan kemanusiaan. Hubungan seks yang didasari cinta melahirkan kasih sayang dan kekuatan. Cinta membuat kehidupan layak untuk diperjuangkan dan pernikahan membawa kebahagiaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun