Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Buruh Mbatil

21 Februari 2019   08:34 Diperbarui: 21 Februari 2019   08:38 75 9


fajar belum juga menyingsing,
ketika sekelompok wanita perindu matahari berkejaran
melupakan mimpi yang tak berlanjut saat Tahajud
menerabas dingin dengan asap menyesap
menyusur koridor, menangkup embun dengan harap merasuk
aroma tembakau meruar, tertanam sangat dalam dan diam
tangannya terampil, kalahkan mesin dengan ujung gunting
agar siang nanti dapat membawa pulang selembar uang berwarna biru
buat sangu anak dan sedikit makan enak
bisa membeli cabai, tahu dan tomat sudah nikmat
tak perlu jauh ke Kliwon atau Bitingan
bakul tiban pun sudah menunggu di parkiran

berderet angkot pun menanti, untuk mengangkut kami kembali
berjejal bahkan bertumpuk di dalam angkot seperti tak manusiawi
apakah kami mengeluh, Tidak ! yang terpikir segera sampai di rumah
umbah-umbah, isah-isah dan resik-resik menanti
karena kami adalah wanita sejati
istri, ibu bahkan nenek yang mandiri
yang datang jauh meninggalkan brak-brak Mbitingan, Pengkol, Mburikan, Mbarongan, Nggawon , karangbener
dan Nggebog
dan esok pagi-pagi  kami akan di sini lagi

jangan ditanya kemana lelaki kami,
karena hanya menadah tangan pada suami bukan sifat kami
kalau hanya sekedar untuk membeli daster, tahu, tempe atau terasi
tak usah sebut juga sebagai Kartini
sebab kami bukan keturunan priyayi
apalagi sebagai Pahlawan sejati
karena ini sudah jalan hidup kami
selagi tangan masih bisa menari
dan kaki masih sanggup berdiri
tak ada keluh, apalagi merasa tersakiti
biar anak-anak kami bisa sekolah tinggi
tak bernasib sama dengan kami lagi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun