Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Setubuh Waktu

1 Januari 2011   17:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:03 312 4
Inilah persetubuhan yang terkadang tanpa keringat. Tanpa hela nafas berat. Tetapi dunia realita harus menjalani persalinan tanpa bekas darah.

Saya sering katakan pada beberapa rekan yang terkadang berlapang dada membuka kuping, untukku, pejantan yang baru menetas tadi siang. Kukatakan, kita tidak dilahirkan ibu, tetapi kita dilahirkan oleh waktu yang zalim menimpakan perih pada perempuan.

Pun, kita bukan buah persetubuhan dua manusia. Tetapi, di sini waktu berbaik hati lesakkan nikmat pada sepasang manusia yang diamuk birahi. Dan waktu juga yang sejatinya telah bersenggama. Kendati ia tidak tinggalkan gaung lenguh. Mungkin--kucoba reka--waktu lebih suka dirinya terlihat terlihat diam, namun ia berjalan. Ia tidak suka meraja palsu sehari laiknya pengantin. Namun tubuhnya terus terayun. Menerima anak-anaknya yang tidak sedikit terlahir sebagai bangsat. Sebagian lainnya terlahir sebagai keparat.

Waktu, ia adalah ibu yang terlalu baik, kukira. Sepertinya, untuk anak-anaknya yang memilih menjadi bangsat atau keparat, ia cukup bijaksana membiarkan anak-anak itu menciptakan hukuman untuk diri sendiri. Ia tidak perlu kotori tangannya menampar pipi anak yang ditetaskan lewat selangkangan perempuan pilihannya.

Ayah kita adalah waktu. Ibu kita adalah waktu.

Kita sama terlahir hari ini. Kita baru menetas siang tadi. Kusyukuri, beberapa rekanku tersadar bahwa mereka terlahir bersamaan denganku. Siang tadi, benar-benar siang tadi.

Memang mengerikan, saat waktu terlihat seperti tidak bertanggung jawab. Sebab tidak pernah keluarkan sepatah kata pun untuk ia jalin menjadi nasehat. Ia manterai untuk menjadi tombak yang bisa lobangi telinga anak-anaknya. Tidak pernah.

Dalam geraknya bersama diam. Ibu dan Bapak yang tidak pernah memberi nama untuk diri mereka sendiri--kecuali yang disematkan anaknya, waktu--membiarkan anak-anaknya memilih sendiri.

#

Membelah paha Jakarta. Ketika malam masih seperti cat dinding yang hanya dipercikkan saja.

"Bagaimana menurutmu, melihat orang yang merutuki waktu yang dipandang gagal menaburi semua yang baik-baik di kolam pribadi mereka?"

"Iya mereka sedang melemaskan otot mulut, kurasa."

"Kenapa begitu?"

"Iya, kalau tidak untuk tujuan itu, tak ada perlunya membuka mulut jika cuma karena alasan untuk merutuki waktu"

"Pertimbangannya?"

"Merutuk waktu, meski dibungkus bahasa seindah puisi pun. Bagiku--meski sederhana--lebih baik, kupergunakan saja untuk melumat bibir merah perawan yang bisa membuat hidupku kian gairah."

"Artinya, merutuk waktu itu sebagai..."

"Iya, merutuk waktu adalah pekerjaan yang jauh lebih rendah dari manusia berjiwa rendah yang hanya bisa mengukur pencapaian hidup dari kemulusan tubuh perempuan yang bisa diusapnya tanpa perlu tanggung jawab."

"Kau membingungkanku..."

"Seperti itulah pekerjaan waktu juga, kadangkala. Membingungkan, tetapi ia menuntutku juga dirimu untuk lepas dari itu dengan tetap memberi senyum paling ramah untuknya. Sebuah senyum yang harusnya jauh lebih menggoda dari yang bisa kau tebar untuk memikat perawan. Yang nantinya bisa membuat waktu terjerat. Sehingga waktu tidak berkesempatan membuat dirimu terjerat. Waktu adalah ibu, ia adalah bapakmu, yang bisa lebih beringas. Tetapi, ia masih bisa membuka dadanya untuk kau berteduh dengan tetap berjalan ke jalan yang kau ingin. Ke tujuan yang kau ingin... Seperti itu juga dalam perjalanan waktu, akan ada banyak kemustahilan. Namun, secara seimbang, waktu cukup rendah hati untuk bisa tunjukkan bahwa ada juga ketidakmustahilan yang berhasil ditemukan..."

"Dengan kompensasi?"

"Melumat musnah keakuan."


Jakarta, 2 Jan 11

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun