Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary

Vespa Pink, Doping Maradona hingga Rendang

5 Juni 2021   16:06 Diperbarui: 14 Juni 2022   10:22 1233 3
VESPA Bajaj jadi teman setia. Lenteng Agung-Jatinegara- terus ke Senayan, Jakarta. Rute itu saya tempuh dengan motor berwarna pink. Hampir setiap hari. Rutin.

Motor racikan India itu jadi saksi perjalanan karier saya sebagai wartawan. Berawal dari tabloid Tribun Olahraga di Jatinegara, Jakarta Timur. Tabloid olahraga pertama di Indonesia yang lahir pada 1984. Anak dari koran harian sore Suara Pembaruan yang berkantor di Cawang, Jakarta Timur.

Saya banyak belajar dari sana pada 1990. Persisnya saat memasuki semester kedua di kampus tercinta IISIP. Redpel Ponco Siswanto dan Sormardjo (almarhum) memberi saya ruang untuk belajar menulis.

Saya tipikal orang yang tidak doyan dicekoki teori. Kuliah kabur-kaburan demi mengejar pengalaman di lapangan. Jelang ujian saya pakai 'SKS' atau sistem kebut semalam. Selesai!  

Masih segar dalam ingatan. Hanya saya dalam satu kelompok 3 jurnalistik yang kuliah sambil kerja. Selain organik di Media Indonesia, saya juga freelance di beberapa media.

Tujuannya: cari uang untuk bayar kuliah. Waktu itu Rp 450 ribu per semester.  Masih terjangkau. Tiap bulan saya tabung Rp 75 ribu hingga 6 bulan dari uang gajian. Menurut ukuran saya kala itu lumayan.

Risiko cape, itu pasti. Berangkat pagi pulang dini hari. Hampir tiap minggu liputan  keluar kota. Tapi saya nikmati.

Otak saya biasa-biasa saja. Tapi berusaha melek teknologi. Saya juga tidak terlalu bebal untuk lulus S1 dalam 4,5 tahun. Meski pakai absensi khusus. Karena kuliah sambil kerja.

"Maradona dan Dop".  Itu judul opini pertama saya sebagai freelance di Tribun Olahraga pada 1991. Maradona diagungkan di Napoli. "Si Tangan Tuhan' mengantar Napoli juara Seri A 1987 dan 1990.

Kariernya kemudian menurun setelah ia kecanduan barang haram. Maradona terbukti menggunakan doping pada 1991. Dia dilarang bermain sepak bola selama 15 bulan. Setelah bebas, ia comeback bersama Sevilla. Namun dipecat setahun kemudian.

Sebagai pemula, tentu bangga tulisan saya dimuat di media. Honor pertama habis untuk traktir teman-teman kos di sebelah kampus. Kami menyebutnya Pentagon.

Tapi bukan Pentagon markas besar Departemen Pertahanan AS yang dibangun pada saat Perang Dunia II. Ini Pentagon kongkow-kongkow Kelompok 3 jurnalistik angkatan 1989.

Bahkan tulisan Maradona dan Doping itu yang mengantar saya kenal dengan Jois, wanita Manado yang ujuk-ujuk bersurat kepada saya.

Belakangan saya tahu, dia ingin kenalan karena tulisan saya. Tulisan pertama, penggemar pertama. Semangat menulis makin bergairah.

Cita-cita saya sederhana: anak Betawi yang ingin keliling nusantara. Perlahan tapi pasti. Allah memberi saya jalan. Saya dipercaya dan mendapat kesempatan dari pimpinan. Bahkan hingga menyentuh bibir Asia dan Eropa. Sekali lagi, ini hanya karena kesempatan dan kepercayaan.

Tentu prosesnya panjang. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bermodal mesin ketik, jari-jari ini menari hampir setiap hari. Pagi, siang bahkan malam.

Dulu belum ada komputer. Banyak sekali kertas HVS lecek di tempat sampah. Salah sedikit, langsung saya sobek, dan buang. Mesin bermerek Royal itu acap saya bawa ketika tugas liputan keluar kota.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun