Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Museum Fatahillah Harus Tetap Menawan

20 April 2012   14:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:22 436 0

Tidak banyak orang yang menyengajakan diri berwisata ke museum apalagi jika penampilan museumnya kumuh dan tidak memuaskan hati.

Pergi ke museum untuk wisata bukan  juga merupakan suatu kebutuhan masyarakat dewasa ini selagi masih ada tempat-tempat yang memang lebih menghibur, semisal Dunia Fantasi atau Kebun Binatang. Pergi ke museum kalau tidak diwajibkan guru, ya tidak ikut. Maka, bisa dipastikan yang datang mengunjunginya kebanyakan anak sekolah atau malah wisatawan asing.

Museum Fatahillah, si Tua yang Menawan

Adalah Museum Jakarta atau lebih dikenal dengan Museum Fatahillah, yang diresmikan tahun 1974 sebagai saksi yang merekam perjalanan Jakarta sejak jaman Batavia. Menempati gedung Balaikota Jakarta tempo dulu, Museum  ini menemani Jakarta memperkenalkan dirinya ketika masih belia.

Sekarang, walaupun masih tampak gagah layaknya bangunan tua yang masih banyak di temui di sekitar Kota Jakarta, namun Museum ini sudah menampakkan kelayuannya. Bangunannya sudah mulai kusam. Namun merubah penampilannya juga mungkin bukan suatu hal yang bisa diapresiasi, karena kekhasan inilah yang membuat Fatahillah tetap ngangenin.

Sewaktu berkunjung akhir tahun kemarin, seperti biasa, Fatahillah ramai dikunjungi oleh siswa sekolah atas, mahasiswa dan mahasiswi tentunya, dan turis asing. Menurut penjaganya, turis asing yang sering datang adalah dari Belanda. Mungkin mereka masih berkepentingan mengenang keperkasaan nenek moyangnya menjajah Indonesia tempo dulu. Namun rupanya kita juga perlu berterima kasih  pada masa lalu yang telah mewariskan peninggalan-peninggalan yang bernilai tinggi seperti ini.

Para siswa sekolah menengah itu datang dalam beberapa rombongan, termasuk anak-anak sekolah saya. Kalau mahasiswa, ceritanya lain lagi. Biasanya mereka datang berpasangan. Justru tidak menyukai acara-acara rombongan yang cenderung ramai. Mereka menyukai ketenangan. Maka, biasanya para mahasiswa/i ini sering terlihat di pojok-pojok museum, samar-samar dengan pasangan muda-mudi  lain yang memadu cinta.

Di sini saya juga masih menyaksikan adanya pemandu  berbahasa Belanda yang memandu para turis berkebangsaan Belanda berkeliling museum.

Sekarang, yuk kita intip ke dalam Museum

Pertama datang, kita akan disambut oleh kesederhanaan Jakarta yang lebih mirip kemuraman. Bayangkan, koleksi-koleksi jati yang bernilai tinggi ini sudah mulai rusak di sana sini, bahkan beberapa koleksi mulai diikat dengan tali agar tidak jatuh. Padahal, melihat penampakan rupa dan kualitas kayunya, koleksi jati di museum ini luar biasa. Ratusan tahun bahkan usianya.

Pemeliharaan museum raksasa ini sepertinya dijalankan dengan sangat sederhana. Terlihat dari penampilannya yang jelas menunjukkan usianya. Apalagi jika mengingat koleksinya yang melulu furniture, jelas akan membuat merasa  bosan berada dalam waktu yang agak lama di Fatahillah. Fatahillah benar-benar dikhususkan bagi pecinta sejarah dan koleksi furniture. Namun museum ini masih mumpuni jika dijadikan sumber belajar bagi siswa. Untuk memahami alur cerita yang digambarkan dalam museum, pengunjung seharunya berjalan sesuai alur tahun yang tertera dalam koleksi museum. Jika masih bingung, minta saja dipasangkan guide yang disediakan dengan uang lelah yang relatif murah.

Saya sendiri tetap jatuh cinta sama si tua ini. Beberapa saran saya coba berikan ya untuk Fatahillah berpoles:

  • Fatahillah mempunyai halaman yang sangat luas (walaupun saya tidak tahu pengelolanya sama atau tidak dengan museum itu sendiri), jadikanlah halaman ini pusat keramaian yang sangat Betawi. Misalnya, tampilkan kesenian khas Jakarta. Ketika saya kemarin ke sana, terlihat ada segerombol seniman ondel-ondel satu paket dengan musiknya. Jadilah ondel-ondel tersebut jejingkrakan mengikuti irama yang dimainkan. Lumayan menarik, karena kesenian ini punya Jakarta. Saya agak kurang setuju kalau yang ditampilkan di halaman museum adalah grup band. Ga nyambung.
  • Mungkin untuk mengantisipasi turis-turis asing, bolehlah ada kafe yang sangat barat. Tapi, harus ada juga dong kuliner betawi aslinya. Jangan juga yang dicari pengunjung kekeuh.. nasi padang atau warteg. Di sana memang ada satu makanan khas Jakarta yang saya temui, yaitu kerak telor. Namun keberadaan kerak telor ini terpencil di pojokan. Boleh juga tuh ditemani bir pletok di sana.
  • Di halaman museum terdapat juga penyewaan sepeda. Mungkin mengambil kesan seperti jaman noni-noni Belanda dulu, lengkap dengan topinya yanag lebar.
  • Karena agak gelap di dalam museum, kesannya jadi mesum. Apalagi jika yang datang anak muda berpasangan. Tolong difikirkan pengawasannya.
  • Bisa tidak ya, museum Fatahillah go green? Mungkin dengan ditanami rumput atau tambahan pohon-pohon besar lagi agar rindang.
  • Indonesia tuh memiliki anak-anak bangsa yang bersekolah di luar negeri. Cobalah minta pendapat dan saran dari mereka tentang bagaimana mengelola harta warisan ini agar tidak musnah termakan jaman. Minta mereka menggambarkan bagaimana orang-orang luar negeri mengelola museumnya. Bayangkan, kalau koleksinya sudah mulai rusak, apa lagi yang bisa dijual Museum Fatahillah ?
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun