Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Menyoal Fenomena Perilaku Korupsi (Mental Bobrok) Para Birokrat

17 Oktober 2019   22:27 Diperbarui: 17 Oktober 2019   22:59 477 6
Hal ini dapat dilihat dengan indikator utama melalui masih banyaknya perilaku korupsi yang eksis merajalela seolah telah menjadi bagian dari roda kehidupan berbagai kalangan, mulai dari pejabat publik, pejabat pemerintahan, politisi dan kalangan lainnya.

Sungguh sangat miris dan ironi saat tindakan korupsi terus menggejala, bahkan berkembang menjadi sifat kebiasaan yang semakin mengkhawatirkan keberlangsungan pemerintahan negara.

Apalagi belum lama ini, kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) para pelaku korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja terus terjadi dan banyak para pelakunya adalah para birokrat birokrat bermental bobrok.

Bahkan sebelumnya menurut sepengetahuan penulis sesuai berita yang beredar dan dari situs resmi KPK banyak sekali ratusan pejabat lainnya seperti gubernur, bupati, anggota dewan dan pejabat lainnya berhasil dijaring oleh KPK, ada yang masih proses dan ada juga yang akhirnya masuk bui.

Bayangkan saja jabatan-jabatan penting yang diemban dalam rangka menjalankan amanah rakyat di dalam pemerintahan ternyata disalah gunakan untuk perbuatan korupsi. Para pejabat yang seharusnya bertugas menjalankan amanah rakyat malah berkhianat kepada rakyat.

Inilah yang semakin memprihatinkan ditengah kondisi bangsa yang sedang dalam kondisi prihatin, justru perilaku korupsi menambah keprihatinan dan menjadi beban yang sangat berat sebagai persoalan bangsa.

Para koruptor inilah sejatinya yang menjadi beban terberat bangsa yang sesungguhnya, bukannya malah sebaliknya, justru rakyat yang dituding dan disudutkan menjadi beban bagi bangsa.

Maraknya perilaku korupsi di kalangan para birokrat, semakin menunjukkan bahwa tingkat kesadaran untuk mengelola dana publik secara transparan, terbuka dan akuntabel belum beres dan berjalan dengan semestinya.

Para pejabatnya masih larut dalam paradigma birokrat layaknya seorang bos besar, minta dilayani bukannya malah melayani rakyat, sehingga budaya suap menyuap, sogok menyogok, gratifikasi, jual beli jabatan, jual beli proyek dan sebagainya masih dianut para birokrat bermental bobrok.

Seperti ketika ada oknum yang memberikan suap dan sogokan guna mendapatkan kemudahan pelayanan cepat dan mudah, maka tak segan para birokrat menerimanya dengan senang hati.

Tapi di sisi lain, ketika ada masyarakat yang menggunakan prosedur normal justru mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya.

Maka, berlatar dari inilah muncul paradigma perilaku yang menjadi kebiasaan "Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah. Kalau bisa diperlama mengapa harus dipercepat. Inilah setidaknya yang dapat sedikit tergambar pada budaya birokrasi Indonesia saat ini.

Persoalan korupsi merupakan tantangan yang tidak ringan dalam membangun kemajuan bangsa. Terkadang masyarakat menjadi segan ataupun takut bersinggungan dengan rumitnya Birokrasi di negara ini bahkan kerap kali malah dianggap sebagai momok yang menakutkan. Birokrasi yang semestinya menjadi faktor pendorong justru malah menjadi penghambat.

Padahal program reformasi birokrasi telah dicanangkan dan selalu digembar gemborkan oleh Presiden Jokowi, namun nyatanya tidak seperti realitanya.

Dampak dari korupsi berakibat sangat fatal bagi kehidupan bangsa, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Ibarat kata korupsi layaknya kanker yang mendarah daging yang menjadi ukuran terhadap standar moral dan intelektual para pejabat birokrat saat ini.

Lalu yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa berbagai kenyataan berdasarkan ulasan penulis di atas, malah tidak membuat penyelesaian akar masalahnya secara tuntas?
 
Penangkapan berbagai pelaku korupsi seperti menjadi misteri yang dilematis mengenai ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi.

Pasalnya apakah dengan semakin rajinnya KPK menangkapi para koruptor yang makin lama bukannya makin berkurang ini, sebagai indikasi keberhasilan pemberantasan korupsi ataukah malah menjadi indikator kegagalan pemerintah dalam rangka memberantas korupsi.

Inilah yang sedikit membingungkan, seharusnya dengan banyaknya penangkapan para pelaku yang terlibat kasus korupsi sebelumnya dapat menjadi pembelajaran bersama untuk jera dan menjadi patokan untuk tidak melakukan korupsi, tetapi realitanya malah tetap saja korupsi masih runtun terjadi, jadi dimana sebenarnya nilai utama indikator keberhasilannya ?

Perlu jadi catatan, jika memang korupsi benar-benar berhasil diberantas dan dientaskan  sampai pada akarnya maka sebenarnya bangsa ini akan bertumbuh kembang dengan budaya baru dan semakin maju, berbagai masalah-masalah kebangsaan yang lainnya akan dapat terselesaikan.

Sejatinya mengatasi korupsi dalam ruang birokrasi tidak melulu hanya melalui sebuah kebijakan politik semata, akan tetapi, dibutuhkan solusi lain, tentang bagaimana mencari penjelasan seterang-terangnya, atas dasar apa motif perilaku korupsi itu bisa timbul dan mengapa bisa timbul?

Apakah dari faktor gaya hidup yang tinggi, atau memang menjadikan ruang birokrasi sebagai lahan mencari kekayaan pribadi atau alasan dan faktor motif lainnya? Inilah sebenarnya yang mesti ditelusuri.

Oleh karena itu kedepan pemerintah seyogiayanya dapat mencari solusi yang lebih tepat yang semakin membuat mawas diri dan menjadi rambu yang tegas bagi birokrat lainnya di pemerintahan atau istilahnya membuat jera untuk birokrat lainnya bila berbuat sama seperti para pelaku koruptor yang telah ditangkap.

Perilaku korupsi dalam tubuh birokrasi harus benar benar dibasmi sampai ke akar-akarnya dan menciptakan sistem serta budaya baru yang bebas dari korupsi.

Pada akhirnya yang dapat disimpulkan adalah bagaimana pemerintah dapat merealisasikan reformasi birokrasi dan reformasi politik negara, agar menjadi birokrasi yang melayani melalui budaya birokrasi sebagai perantara keadilan, transparan dan akuntabel.

Birokrasi yang mengutamakan nilai kemanusiaan yang mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi yang pada akhirnya akan menumbuhkan dan menjadikan birokrasi yang membangun suri ketauladanan melalui pola perilaku dan gaya hidup sederhana.

Entah sampai kapan korupsi ini dapat dientaskan, semoga saja KPK kedepan bukannya malah makin melempem dalam mengemban amanah dan tugasnya memberantas korupsi.

Semoga saja KPK dan hukum yang berlaku akan semakin garang dan semakin menjadi momok yang semakin mengerikan yang dapat membuat jera sebagai pengalaman berharga dan menjadi rambu yang tegas bagi pelakunya dan siapapun juga yang melakukan tindakan pidana korupsi atau jadi rambu pelajaran berharga sebagai parameter para pejabat birokrat, maupun pejabat setingkatnya dalam mengemban amanah rakyat demi kemajuan bangsa.

Semoga bermanfaat.

Sigit Eka Pribadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun