Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Agama, Kekerasan, dan Semangat Perdamaian

30 September 2012   02:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:28 560 1
Sidik Nugroho*)

"Demokrasi itu bukan hanya tak haram, tapi wajib dalam Islam. Menegakkan demokrasi itu salah satu prinsip Islam, yakni syuro."

~ Abdurrahman Wahid

Saat ini, manakala kekerasan atas nama agama makin sering terjadi, publik membutuhkan suara-suara yang lantang untuk dijadikan panutan. Film Innocence of Muslims yang menyulut berbagai reaksi anarkis di berbagai penjuru dunia, juga Indonesia, menantang kita untuk memikirkan kembali apa itu demokrasi, toleransi, juga perdamaian.

Publik mungkin merindukan sosok Abdurrahman Wahid, mantan presiden dan guru bangsa yang suka bicara ceplas-ceplos itu. Pada tanggal 30 Desember 2009, pukul 18.45, sosok yang akrab disapa Gus Dur itu menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pada tanggal 29 September 2012, genaplah 1000 hari beliau meninggalkan dunia yang fana ini.

Gus Dur memiliki pandangan yang luas tentang kebangsaan. Beberapa pandangan dan kiprahnya memicu kontroversi. Contohnya, ia pernah menyarankan mengganti ucapan "assalamualaikum" dengan "selamat pagi", "selamat siang" atau "selamat malam". Ia pernah membuka Malam Puisi Yesus Kristus di sebuah gereja. Ia pernah hadir dalam National Prayer Conference pada bulan Mei tahun 2003 dan didoakan seorang pendeta bernama Cindy Jacobs.

Gus Dur bahkan sempat melakukan kunjungan ke negara Israel saat menjadi presiden. Gus Dur juga mencabut Inpres (Instruksi Presiden) nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang juga melarang perayaan Imlek. Sebagai gantinya ia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2001 pada tanggal 9 April 2001 yang menyatakan Imlek sebagai hari raya masyarakat Konghucu.

Romo Benny Susteyo, salah seorang sahabat Gus Dur, pada saat acara Dialog Muda Membangun Karakter Bangsa: Refleksi Pemikiran dan Aksi Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Moeslim Abdurahman pada 15 Agustus 2012 menyatakan bahwa Gus Dur melihat agama tidak hanya sebagai teks yang kaku. "Agama selama ini hanya dilihat sebagai suatu yang kering sehingga memberatkan, bukan malah membebaskan. Gus Dur melihat, agama harus diaktualisasikan ke dalam konteks sehingga tidak kaku dan kita mendapat kebebasan dari perasaan damai yang dicapai," katanya.

Pandangan Gus Dur tentang agama dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang punya reputasi internasional. Dalam sebuah tulisannya di Tempo, 21 Mei 1983, Gus Dur mengisahkan perjuangan Uskup Agung Helder Camara yang menerima Hadiah Niwano Yayasan Perdamaian Niwano di Jepang.

Gus Dur menyatakan bahwa perjuangan Uskup Helder yang adalah seorang Katolik juga dipengaruhi oleh Mahatma Gandhi, seorang Hindu dan Martin Luther King, Jr., seorang Protestan. Ia menyatakan, "... keteguhan mereka untuk berjuang secara militan tanpa kekerasan adalah sesuatu yang secara universal dapat dilakukan kalangan manapun... Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?"

Tantangan bagi Dunia Pendidikan

Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa Makassar terhadap sebuah restoran cepat saji beberapa waktu lalu -- begitu mengenaskan. Gara-gara tidak setuju dengan film Innocence of Muslims, mereka melakukan aksi yang anrkis. Mahasiswa, kaum cerdik dan cendekia, semestinya lebih terampil mengangkat wacana, tulisan, atau pemikiran, daripada batu-batu yang menghancurkan kaca restoran.

Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, tengah memulai sebuah program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak bisa menjadi sekadar program, tapi sebuah langkah yang disambut dengan antusias. Lewat pendidikan karakter, para pelajar dapat mempelajari lagi nilai-nilai penting yang dulu pernah digariskan oleh Soekarno, bapak bangsa ini. Dalam pidatonya yang terkenal tentang Pancasila, Soekarno pernah menyatakan, "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia... tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!"

Apa yang dinyatakan Soekarno itu sejalan dengan pemikiran Gus Dur. Semangat keberagaman, toleransi, dan cinta damai tampaknya masih dan akan terus menjadi PR terbesar bagi para guru untuk ditanamkan kepada murid-muridnya -- lewat pelajaran Budi Pekerti, Sosiologi, atau Kewarganegaraan -- bertahun-tahun ke depan.

Sepanjang hidupnya, tidak semua orang setuju dengan pemikiran dan kiprah Gus Dur. Beberapa kiai menuding Gus Dur sebagai orang yang terlalu liberal. Kecurigaan pun sempat muncul di beberapa kalangan bahwa Gus Dur lebih peduli pada pihak minoritas. Gus Dur mungkin menyadari bahwa toleransi akan menjadi persoalan yang besar di bangsa ini sehingga suatu ketika Gus Dur menimpali, "Mari kita lihat mana yang benar dalam sejarah." Nah, apa yang kita saksikan selama ini, entah itu berbagai aksi terorisme, atau radikalisme dan kekerasan atas nama agama,  menegaskan bahwa kita masih memerlukan pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang keberagaman, demokrasi, dan toleransi.

Memperingati atau mengadakan selamatan 1000 hari meninggalnya seseorang adalah tradisi di kalangan masyakat Jawa. Peringatan 1000 hari adalah peringatan terakhir, setelah hari ke-3, 7, 40, 100, dan setahun. Sudah 1000 hari Gus Dur meninggalkan bangsa ini, namun apa yang telah diwariskannya mungkin akan terus dipelajari tidak hanya sampai 1000 hari lagi. Selama perdamaian dan toleransi masih menjadi persoalan krusial di negara ini, maka selama itu pula kita masih membutuhkan Gus Dur.

*) Guru PKn SMA Santu Petrus Pontianak, penulis buku 366 Reflections of Life

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun