Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Lima Puluh Satu Alasan

25 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 8 Agustus 2021   05:32 226 10
“Oh Tuhan,  aku rindu padanya.  Aku sangat rindu padanya!”

Dari balik telapak tangannya yang menutupi wajahnya erat-erat, terdengar sedu sedan. Tak ada gunanya, pikirnya pahit, penuh keputusasaan. Betapapun kerasnya ia memohon, Tuhan tetap tak akan berubah pendirian. Sebetulnya ia mengerti bahwa Tuhan sudah punya rencana mendetil untuk seluruh jagat raya. Tak akan ada perubahan hanya karena seorang malaikat kecil seperti dirinya didera rasa rindu yang sangat dan berharap bahwa orang yang dirindukannya segera ditarik ke surga untuk mengobati rindu itu. Apalagi ia tahu pasti bahwa hari ini menurut waktu Bumi adalah hari ulang tahun orang yang sangat ia cintai tersebut.

Terdengar tangis tertahan yang kemudian diikuti oleh isakan-isakan kecil dan helaan nafas ketika malaikat kecil itu mulai bisa menguasai dirinya. Dilepaskannya tangannya yang basah bersimbah air mata dari wajah mungilnya yang muram. Diletakkannya kedua belah tangannya di atas meja. Dilihatnya sekeliling, ia bahkan merasa jauh lebih kesepian dan menderita. Tuhan, bagaimanapun, telah menjawab permohonannya dan membuatnya berpikir mengapa ada orang yang harus tetap tinggal di dunia. Tapi ia tak hanya harus berpikir. Tuhan juga menyuruhnya menuliskan alasan-alasan di balik hal itu.  

“Mungkin kau tak bisa mengerti alasan-Ku yang sesungguhnya,” jelas Tuhan, membantunya mengerti keadaan. “Atau mungkin,  kau tak akan pernah tahu apa alasan-alasan itu karena semuanya adalah rahasia jagat raya. Tapi luangkanlah waktu untuk memikirkannya. Cobalah bayangkan apa yang sekiranya akan kaulakukan – seandainya kau ada di posisi-Ku.”

Malaikat kecil itu berdiri terpaku kebingungan dengan mata nanar. Lalu tiba-tiba ia menjatuhkan diri, berlutut dan membungkuk dalam-dalam.    

“Ampuni aku, Tuhan. Aku tak akan berani, Tuhanku. Tak mungkin aku akan berani membayangkan berada di posisi-Mu.”

Tapi Tuhan hanya menyunggingkan senyum kecil. Penuh pengertian.

“Tentu tidak. Tapi bagaimana lagi caranya Aku bisa membuatmu mengerti akan hal ini? Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu. Aku tahu kau harus ‘terbang’ jauh dari sisinya dan meninggalkannya di saat kau masih sangat kecil...”  

"Tiga tahun," sela Hannah dalam bisik yang pilu.

“Ya, tentu aku ingat. Waktu itu kau baru tiga tahun,” balas Tuhan.

Hannah merasakan rahangnya menegang, lalu lemas dan seolah akan lepas. Ia memandang ke atas sejenak, lalu ditundukkannya kepalanya lagi. “Ampuni aku yang telah memotong pembicaraan-Mu.”

Tapi Tuhan tidak menganggap hal itu sebagai masalah. Dilanjutkannya sabda-Nya, “Dan dengan berjalannya waktu,  Aku sangat mengerti kau begitu merindukan kehadirannya. Karena meski kau bisa melihatnya dari atas sini, tentu sangat tidak sama rasanya dengan apabila ia ada di sisimu, di surga ini, merengkuhmu dalam pelukannya setiap malam sebelum kau terlelap. Aku mengerti.”

Hannah merasa seakan-akan tulang-belulangnya meleleh. Kedua kakinya yang sedang berlutut rasanya tak mampu lagi menyangga tubuh mungilnya. Semua perasaan yang selama ini berkecamuk di hatinya berdesakan dan akhirnya tumpah,  mengalir melalui tetes-tetes air mata yang tidak terbendung lagi, membanjiri kedua pipinya,   membasahi gaun putihnya yang manis. Gaun malaikat mungilnya. Tapi untunglah, sayap-sayap kecilnya diletakkan Tuhan dipunggungnya sehingga tidak ikut menjadi kuyup. Alangkah repotnya Hannah bila  sayap-sayap itu basah.

Alasan-alasan.

Tuhan mau ia tuliskan semua alasan mengapa ibunya yang tercinta masih tertinggal di bawah sana, menjalani hidupnya di dunia, sementara ia di sini. Kesepian. Hannah harus dapat menuliskan setidaknya empat puluh satu alasan, sama jumlahnya dengan banyaknya tahun yang telah dijalani ibu di dunia. Setelah itu barangkali, akan lebih mudah bagi Hannah untuk mencerna keputusan Tuhan atas hidup ibunya, sehingga ia tak akan terlalu berduka lagi.

Pembicaraannya dengan Tuhan-lah yang membuatnya ada di sini sekarang, sendirian di sebuah bangunan  megah di surga. Sebuah gedung perpustakaan yang indah dengan ribuan rak tempat menyimpan buku-buku tentang kehidupan manusia. Pilar-pilar tinggi yang berukir megah, kokoh menyanggah bangunan itu. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun