Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Mencari Gesing, Gerbang Tanpa Penjaga

17 September 2010   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 246 0

“Masih virgin, dijamin gak bakal nyesel,” ucap seorang kawan pada suatu hari usai bercerita tentang tempat yang baru saja dia datangi. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa untuk mencapai tempat tersebut harus melewati hutan jati yang konon masih ada harimaunya. “Jalannya jelek dan belum ada listrik,” tambahnya. Dasarnya suka jalan-jalan, saya pun penasaran ingin berkunjung ke tempat tersebut. Setelah melalui fragmen rayu-merayu, akhirnya saya berhasil mengumpulkan 6 orang untuk mendatangi tempat tersebut. Hanya bermodal secuil informasi “Namanya Pantai Gesing, masuk Kecamatan Panggang” kamipun memulai perjalanan di suatu sore yang cerah.

“Sasha beneran tahu tempatnya kan?” tanya seorang kawan yang dituakan dengan nada ragu.

Saya mengangguk mantap. Padahal saya sama sekali belum memiliki gambaran tentang daerah tersebut. Yang saya tahu kami akan kesana melalui rute Jalan Imogiri Timur kemudian naik ke daerah Panggang, setelah itu entah. Saya hanya bermodal nekat, jika nanti tersesat nanti kan bisa bertanya. Tapi saya pura-pura sudah tau saja, daripada mereka membatalkan rencana keberangkatan.

Perjalanan pun dimulai, setelah menyeberang Ring Road Selatan kami menyusuri Jalan Imogiri Timur. Jalanan yang mulanya lurus dan ‘lempeng’ mulai menanjak dan berkelak-kelok. Bukit, lembah, dan jurang membentang di kanan kiri jalan. Hutan karst, hutan kayu putih, hutan jati, dan ladang silih berganti memanjakan mata. Jalan yang kami lalui merupakan jalan alternatif untuk mencapai Kabupaten Gunungkidul, oleh karena itu relatif sepi. Tak banyak kendaraan yang lewat di jalan ini. Perumahan juga jarang. Saya sempat berfikir andai ban bocor di tengah perjalanan tentu kami harus berjalan kaki sangat jauh untuk mencapai tukang tambal ban.

Setelah melewati banyak kelokan dan tanjakan kamipun memasuki Kecamatan Panggang. Kendaraan terus melaju, melewati kantor pos, kantor kecamatan, dan bangunan-bangunan lainnya. Akhirnya kami tiba di pertigaan besar. Kawan saya yang menyetir motor pun bertanya “Belok kiri apa kanan?”, saya hanya diam. Dia kembali bertanya hal yang sama “Kita belok mana Sha?”, saya pun akhirnya ngaku “Hehe, entah mas, aku gak ngerti?”, diapun langsung menghentikan motornya, kawan-kawan yang dibelakang juga berhenti.

“Kamu tu piye to Sha? Tadi bilangnya tau tempatnya. Kok sekarangmalah jadi nggak ngerti. Sakjane kamu pernah kesana pa belum e?”

“Belum hahahaha,,, aku cuma dapat info dari Rio kalau ada pantai bagus di Panggang, ya udah aku ajakin kalian semua. Kalo aku bilang nggak tau tempatnya kan kalian mesti ndak mau to? Hahaha”

“Woalah jan bocah, la terus ini meh piye?”

“Yang jelas gak mungkin kita balik Jogja, udah nyampe Panggang lho. Ikuti aku wae lah, kita ambil kiri,”

“Kamu yakin?”

“100 persen, feelingku bilang gitu”

“Oalah semprul, yawes, tapi nek tersesat kamu sek tanggung jawab,”

Akhirnya kamipun mengambil jalan ke kiri, tak lama kemudian muncul lagi pertigaan, hanya saja yang satu jalannya kecil dan lumayan jelek. Sayapun memutuskan untuk bertanya. “Lurus aja mbak, ikuti jalan yang jelek itu,” jawab mbak-mbak yang saya tanyai. “Jauh ndak mbak?”, “Waduh kurang tau ya mbak, soalnya saya juga belum pernah kesana,” gdubraaaaakkk,,,dengan memantapkan hati kamipun mengikuti jalan tersebut.

Melihat kondisi buruknya jalan saya berfikir bahwa kamisudah berada dalam track yang benar. Soalnya kawan saya dulu bercerita bahwa jalan menuju Panggang sangat buruk. Tapi beda dengan kawan-kawan seperjalanan saya. Mereka bilang bahwa pasti kami salah jalan. Saya tetep ngeyel. Dengan sedikit perdebatan kami pun jalan terus. Membelah hutan jati, naik turun gunung dan jalan berlubang, benar-benar menguras energi. Beberapa kali motor mbak Pipit terpeleset, mbak Menik sempat jatuh, dan saya terpaksa harus berjalan kaki karena motor tidak berani menuruni jalan curam yang kondisinya seperti sungai kering.

“Awas ya Sha kalo ternyata kita salah jalan. Apalagi kalau pantainya jelek. Gak lagi-lagi aku mau diajakin jalan sama kamu,” ancam kawan-kawan sambil misuh. Saya cuma tertawa. Untuk memastikan bahwa kami tidak salah jalan sayapun bertanya pada bapak-bapak yang sedang mencari rumput. “Injih mbak, leres. Namun caket kok, sekedap malih dugi,” (iya mbak benar. Gesing tinggal dekat, sebentar lagi sampai). Kamipun menjadi sumringah. Namun ada satu hal yang kami lupa, parameter dekat orang yang tinggal di desa dan di kota itu sangatlah berbeda. Yang bapak-bapak tadi bilang dekat ternyata masih jauh, bahkan hampir 2 kilometeran, duh yuuunggg.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun