Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ini Benderaku, Mana Benderamu, Kawan?

19 Agustus 2013   11:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:07 168 0
Sejumlah rumah yang ada disamping kiri, samping kanan, di depan serta di belakang rumah saya, hingga hari ulang tahun kemerdekaan negara kita telah terlewati, sama sekali tidak mengibarkan bendera merah-putih di halaman depan rumahnya.

Rumah para tetangga saya itu ada penghuninya. Tidak ada satu pun dari antara tetangga rumah saya itu  yang berkewarganeraan asing. Sebagian besar dari antara mereka memang bukan orang berada. Namun dapat saya pastikan kalau mereka bukanlah keluarga-keluarga miskin yang menerima dana BLSM dari pemerintah, beberapa bulan yang lalu.

Ketika ditanya, kenapa mereka tidak mengibarkan bendera merah-putih, ada 3 jawaban 'klasik' yang mereka berikan. Pertama, karena tidak mempunyai tiang bendera. Kedua, karena tidak mempunyai bendera merah-putih atau lupa dimana mereka menyimpan bendera merah-putih yang mereka miliki selama ini. Dan yang ketiga, karena sibuk bekerja sehingga tidak ingat untuk mengibarkan bendera.

Ingin rasanya tertawa terbahak-bahak saat mendengar jawaban yang mereka berikan. Namun pada sisi yang lain, jujur saja, hati dan pikiran saya terusik dengan jawaban yang mereka berikan (dengan tidak mengibarkan bendera merah-putih dalam rangka menyambut hari kemerdekaan, di halaman depan rumah mereka).

Saya ingin tertawa, karena mereka semua mengaku sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka juga tinggal, hidup menetap, serta mencari nafkah di negeri yang telah memberi mereka ruang untuk berpijak dan menikmati hawa kebebasan. Akan tetapi entah kenapa, mereka seperti tidak merasa bersalah karena tidak mengibarkan bendera merah-putih pada hari kemerdekaan dari negara yang diakuinya itu.

Bukannya saya ingin mengatur kebebasan dalam menentukan sikap yang dibuat dan dilakukan orang lain. Bukan pula saya tidak mengerti dan tidak mau mengerti dengan jawaban yang mereka berikan. Akan tetapi, logika berpikir sederhana saya benar-benar tidak bisa menerima alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang membiarkan halaman rumah mereka 'tampil beda' dalam menyambut hari kemerdekaan bangsa kita tahun ini.

Mungkin, pilihan sikap seperti itu 'berani' mereka ambil karena mereka merasa, tidak ada satu pun peraturan yang mewajibkan setiap warga negara untuk mengibarkan bendera merah-putih dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, sehingga mereka tidak mempunyai perasaan bersalah karena tidak ada hukuman apabila mereka tidak mengibarkan bendera merah-putih setiap tanggal 17 Agustus.

Tapi, apakah mereka benar-benar lupa (atau sengaja melupakan), kalau kemerdekaan bangsa kita diraih setelah melalui perjuangan yang teramat panjang, dan tumpahan darah berjuta-juta pejuang kemerdekaan? Ada berjuta-juta anak negeri yang mengorbankan nyawanya dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari bangsa lain yang ingin menjajah kita (entah sampai kapan).

Padahal, sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah dulu, kita sering kali diingatkan, kalau bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati dan menghargai perjuangan serta pengorbanan para pahlawannya. Begitu besar harga yang harus dibayar agar sang merah-putih dapat berkibar di angkasa.

Oleh sebab itu, nikmatnya hidup bebas di alam kemerdekaan yang kita rasakan saat ini, janganlah diartikan dengan : kita memiliki kebebasan / hak untuk tidak mengibarkan bendera merah-putih pada saat bangsa kita memperingati hari kemerdekaan, karena keberadaan sebuah bendera bukan hanya sebatas simbol atau identitas suatu bangsa, akan tetapi juga merupakan sebuah penanda kedaulatan hidup serta keberadaan 'rumah' kita sebagai bangsa.

Apa jadinya kalau kita tidak memiliki 'rumah' yang memberikan kita ruang kebebasan? Mereka yang 'enggan dan lupa' mengibarkan bendera saat perayaan hari kemerdekaan kemarin, ada baiknya mengetahui kisah kehidupan dari orang-orang yang tinggal di suatu negara, sebagai imigran gelap.

Kehidupan orang-orang yang hidup sebagai imigran gelap di suatu negara, hampir setiap hari diliputi oleh perasaan takut. Mereka takut keberadaan mereka sebagai imigran gelap diketahui oleh aparat keamanan. Jika ketahuan, mereka akan ditangkap dan dipulangkan ke negeri asalnya karena datang serta mencoba untuk menetap secara illegal.

Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menyambut dengan tangan terbuka kedatangan para imigran gelap.

Keberadaan mereka adalah beban bagi negara yang mereka datangi. Bahkan mereka disebut sebagai "sampah" oleh warga negara yang negaranya mereka datangi.

Hampir sama dengan kehidupan para imigran gelap, kehidupan orang-orang yang mengungsi ke negara lain karena adanya konflik berdarah antar kelompok atau karena agresi militer bangsa lain, juga tidak sama enaknya.

Dalam blog pribadinya, Kuntarini Rahsilawati - seorang Backpacker Dunia, bertutur tentang pertemuan dan obrolan antara dirinya dengan seorang Oma asal Maluku, yang saat ini tinggal serta menetap di Den Haag, Belanda.

Oma itu berkata, "Kamu enak punya negara. Kami tidak punya disini. Kita sebenarnya satu, perang telah memisahkan kita. Kehidupan pelarian RMS di Belanda memang tidak seperti yang dijanjikan sehingga banyak dari antara kami yang kecewa, belum lagi kami harus berjuang mendapatkan penerimaan sosial masyarakat."

Ternyata, kondisi yang hampir sama juga dialami para pengungsi asal Papua yang mencari suaka ke Australia. Demikian pula halnya dengan para pengungsi asal Irak, Iran, Sudan, dan Rohingya - Myanmar, yang keluar dari negerinya karena perang atau konflik berdarah antar suku di negaranya.

Bahkan, kondisi yang lebih tidak menyenangkan dialami oleh Edward Snowden, mantan anggota intelijen CIA yang telah membocorkan rahasia negara ke media. Snowden bahkan sempat hidup tanpa status kewarganegaraan di sebuah ruang tunggu yang ada di bandara, karena pemerintah Amerika Serikat mencabut status kewarganeraannya setelah pembocoran rahasia negara tersebut.

Jika kita mengikuti perkembangan berita tentang kondisi kehidupan para imigran gelap serta para pengungsi tersebut, maka mengibarkan bendera merah-putih setiap menjelang perayaan Hari Kemerdekaan, jangan hanya dipandang serta dinilai sebagai sesuatu hal yang bersifat ritual belaka.

Mengibarkan bendera merah-putih sejak beberapa hari menjelang hari kemerdekaan itu selayaknya diartikan sebagai : kita mensyukuri nikmatnya hidup bebas dan merdeka yang kita rasakan saat ini, tanpa tekanan serta perasaan takut, baik dari bangsa lain maupun dari sesama anak negeri, yang ingin merampas kebebasan hidup di tanah air kita sendiri.

Oleh sebab itu, amat sangat tidak layak kiranya kalau kita enggan atau lupa mengibarkan bendera merah-putih untuk menyambut hari kemerdekaan negara kita, hanya karena tidak mempunyai tiang bambu untuk mengibarkan bendara, lupa tempat menyimpan bendera, atau karena terlalu sibuk bekerja.

Kenapa kita mau bersusah payah mencari tiang untuk antena televisi, untuk membuat tangga, atau untuk mengambil buah yang sudah matang di pohon, akan tetapi untuk mencari potongan bambu atau kayu reng sebagai tiang untuk mengibarkan bendera merah-putih kita enggan atau malas mencarinya?

Lalu, kenapa untuk membeli rokok setiap hari, membeli baju atau kosmetik setiap bulan, membeli makanan enak saat kita menginginkannya, dan/atau untuk karaoke-an sampai kuping budeg, kita bisa, akan tetapi untuk membeli bendera atau menjahit sendiri bendera saja kita tidak bisa?

Dan... untuk memasang bendera merah-putih serta mengibarkannya di halaman depan rumah itu, tidak sampai 15 menit. Benar-benar tidak repot, tidak membuat nafas ngos-ngosan, dan tidak perlu berdandan dahulu untuk melakukannya.

Banggalah sebagai anak negeri yang hidup bebas di alam merdeka dengan sang merah-putih sebagai jatidiri bangsa. Lihatlah nilai sejarahnya, kalau kemerdekaan hidup yang kita rasakan saat ini, yang bisa dinikmati di wilayah yang tidak mempersoalkan legalitas kependudukan atau kewarganeraan kita, merupakan buah dari perjuangan serta pengorbanan nyawa para pejuang kita untuk dapat merebut kemerdekaan, 68 tahun yang lalu.

Di halaman depan rumahku telah berkibar sang merah-putih dengan megahnya. Mana bendera merah-putih mu, kawan...???

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun