Mata bulatnya melihat orang-orang berseragam serba hitam berlalu-lalang, rombongan lelaki seusia pamannya -berbaju loreng bahu-membahu membawa kantong oranye. Dia juga mendengar banyak tangisan dari perempuan di tenda-tenda, perempuan di sepanjang jalan yang sama dengannya.
Tujuh hari berlalu. Dia tidak tahu persis apa yang terjadi. Ingatannya hanya dia sedang dalam perjalanan ketika ibunya meminta dibelikan telur di warung tetangga yang berjarak lima rumah. Rumahnya yang kini menjadi puing-puing, rata dengan tanah. Dan dia belum bertemu ibunya.
Dia terus menyusuri jalanan. Seorang paman berbaju motif loreng hijau tua menghampirinya.
"Siapa namamu, Dik? Sedang apa di jalan sendirian?" Lelaki itu menyamakan tinggi badannya dengan bocah perempuan.
"Saya belum bertemu ibu saya, Paman. Ibu saya di rumah." Bocah perempuan itu menjawab.
Lelaki di depannya menatap sekeliling. "Di mana rumahmu? Boleh antar Paman ke sana?"
Bocah perempuan itu mengangguk. Dia menggenggam tangan lelaki yang disebut paman itu, menuntunnya ke arah Barat.
"Di sini. Rumah kami semula di sini." Dia menunjuk reruntuhan tembok di bawah sandal jepitnya.
"Innalillahi wa innalillahi raji'un." Lelaki itu berucap lirih. Dia membawa bocah perempuan menjauh, mengisyaratkan teman-temannya untuk mulai membersihkan reruntuhan bangunan di tempat yang ditunjuk bocah perempuan.
Bocah perempuan itu mulai terisak ketika lelaki yang disebutnya Paman mengucapkan kalimat belasungkawa. Mereka menemukan ibunya.
***
Tujuh belas tahun berlalu, dia kembali merasakan luka itu. Luka masa kecil yang dipendamnya dalam-dalam. Perempuan itu menatap nama-nama di dinding, melangitkan segenap doa untuk orang yang berpulang.
'Selamat ulang tahun, Mak! Aku datang bersama menantu dan cucumu'.
#MY, 2 Januari 2022