Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menyusuri Sejarah Prostitusi di Kota Solo (Bagian I)

3 Oktober 2012   11:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:19 1202 0
Menyusuri dan menikmati suasana malam di kota Solo memang memberikan kesan tersendiri. Di balik keanggunan warna jingga suasana malamnya, ternyata kota budaya ini menyimpan juga warna remang-remang bahkan abu-abu di beberapa sudutnya. Sebut saja kawasan prostitusi RRI yang saat ini masih menunjukkan eksistensinya. Bahkan transaksi di sini pun telah menambah jam operasionalnya menjadi sedikit lebih awal, yaitu sore bahkan siang hari.

Menurut telaah historis Erythrina Deasy K. (2008), pada tahun 1930-an di kota Solo telah terdapat titik-titik yang dipakai sebagai ajang prostitusi. Sebut saja Banjarsari, Kestalan (dekat stasiun Solo Balapan), Turisari, dan Cinderejo (kompleks Terminal Tirtonadi). Lokalisasi tersebut adalah resmi, pasalnya Belanda memasang tanda plakat stempel hitam sebagai tanda diizinkan oleh pemerintah kolonial. Sementara itu, bermunculan juga rumah bordil yang tanpa stempel alias ilegal seperti di Sangkrah, Semanggi, dan Alun-alun Kidul. Sedang PSK jalanan pun bisa dijumpai di sekitar Pasar Legi. Zaman dahulu, di Pasar Legi ini banyak warga yang mencari wedang petruk (angkringan) atau sekadar menikmati dinginnya angin malam. Dan faktor inilah yang mendorong ”kupu-kupu malam” beterbangan mencari mangsa. Sedang faktor lain adalah para pedagang yang datang dari luar daerah sebelum hari pasaran banyak yang menginap di pasar dan tentu saja mereka butuh "hiburan" di malam harinya.

Bila dikaitkan dengan temuan Gayung Kusuma dalam Perilaku Seks di Jawa Awal Abad ke-20, pada awalnya seks bersifat privat, namun kemudian menembus tataran ruang publik yang vulgar. Hal itu disebabkan beberapa faktor berikut.


  • Pertama, kedatangan orang-orang Eropa dan perkebunan besar membawa pengaruh bagi pribumi dalam hal gaya hidup, perilaku seks, dan tindakan yang melanggar norma.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun