Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

5 Jam Menyusuri Progo Hulu (Bagian II): Tergilas Perahu, Tenggelam dalam Kegelapan

4 Februari 2011   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:53 174 0

Gerimis tipis membayangi perjalanan kami menuju Temanggung. Hawa dingin masih terasa meski jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi lebih. Sekitar satu jam perjalanan kami tiba di Temanggung. Lokasi start arung jeram Progo Hulu tak terlalu jauh dari pusat kota Temanggung.

Helm dan pelampung mulai dipakai. Dayung yang menjadi senjata kami sudah di tangan. Kami sudah siap mengarungi Sungai Progo sejauh sekitar 20 km. Jarak yang cukup jauh bagi kami yang masih pemula. Sebelumnya kami menjajal rute Progo Atas sejauh 9 km dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Kali ini kami mencoba perjalanan jauh menyusuri sungai dengan perahu karet dengan estimasi waktu sekitar 4-5 jam.

Seperti biasa, pemandu memberikan arahan sebelum kami turun ke medan pertempuran. Beberapa instruksi sudah kami hafal seperti “maju” untuk mendayung maju, “mundur” untuk mendayung mundur dan “stop” untuk berhenti mendayung. Kini ada beberapa instruksi tambahan seperti “balance” yaitu semua penumpang perahu harus menuju titik tertinggi perahu saat miring agar perahu tidak terbalik begitu menghadapi jeram. Ada juga “tidur” yaitu kami harus menengadah rebahan di perahu.

Saatnya mengumpulkan semangat dan menepis rasa takut, kami menuju perahu masing-masing. Satu perahu diisi 7 orang, 5 peserta dan dua pemandu. Satu pemandu bertugas di belakang sebagai skipper, satu lagi di depan. Adanya dua pemandu dalam satu perahu ini mengusik pikiranku. Aku yakin perjalanan tidak semudah sebelumnya seperti di Progo Atas. Dalam pikiranku terbayang jeram yang bakal dilalui pasti lebih berat dan menantang. Rasa takut dan khawatir harus ditepis dan dengan keyakinan penuh aku meloncat ke perahu.

Aku biasa memilih untuk berada di posisi paling depan. Satu alasan yang pasti adalah ketika difoto, wajahku bakal paling kelihatan. Alasan lainnya, adrenalin lebih terpacu karena wajah langsung berhadapan dengan air yang bergulung-gulung tanpa terhalang punggung teman satu perahu.

Pelan tapi pasti, 6 perahu mulai mengarungi Sungai Progo. Semua mendayung pelan-pelan. Semua masih menyesuaikan diri dan membuat diri senyaman seperti seorang pendaki gunung yang melakukan aklimatisasi sebelum mendaki. Beberapa saat setelah itu, permukaan air Sungai Progo mulai bergelombang. Siap tidak siap, semua harus menghadapi tantangan yang sudah di depan mata.

Di awal-awal perjalanan, jeram-jeram yang dilalui masih cukup ringan. Hampir mirip rute Progo Atas. Bedanya, jeramnya lebih panjang sehingga pacuan adrenalin jadi lebih lama. Teriakan-teriakan mulai bersahut-sahutan kala perahu diombang-ambingkan jeram. Dan selalu ada senyum puas kala jeram terlewati. Tak terhitung berapa jeram yang telah terlewati, namun semakin lama rasanya jeram yang harus dilalui semakin menantang.

Perahu-perahu tidak bisa beriringan bersama-sama menembus kerasnya jeram. Semua harus antre, satu persatu perahu melintasi jeram. Pemandu pun harus berjuang ekstra keras agar tidak salah mengambil jalur. Kalau salah bisa-bisa perahu berputar-putar terlalu lama di jeram ataupun nyangkut di bebatuan yang menghadang.

Sesekali terdengar peluit dari pemandu menandakan ada perahu yang bermasalah. Ada kalanya suara peluit juga menjadi penanda agar perahu bisa berjalan menembus jeram setelah perahu di depan berhasil melewati jeram. Cipratan air ataupun perahu yang setengahnya tertelan kerasnya jeram benar-benar membuat “gila”. Rasa takut yang harus dilawan, rasa penasaran seperti apa melewati jeram dan keinginan menaklukkan jeram bercampur aduk menjadi satu saat melintasi kerasnya arus.

Setiap kali akan memasuki jeram yang cukup berbahaya, pemandu menghentikan perahu dan melihat arus di depan, memilih jalur mana yang harus dilalui. Kadang memberikan instruksi, seperti saat menghadapi jeram merah. Sungai Progo yang kami arungi ini dihimpit tebing-tebing curam. Di beberapa bagian, air mengalir dari atas tebing, ada yang dari sawah, ada pula dari sisa pembuangan pabrik tahu. Di penghujung jeram merah ini tebing sisi kiri menonjol ke kanan. Sedangkan sisi kanan sungai dipenuhi batu-batu besar sehingga perahu akan terbawa ke sisi kiri. Rafter yang ada di sisi kiri perahu harus siap tiarap menundukkan kepala agar tidak membentur tonjolan dari tebing itu.

Semuanya berjalan begitu cepat, suara menderu dari jeram seakan menelan teriakan kami. Tapi bahaya belum usai. Begitu jeram terlewati, tonjolan dari tebing sudah di depan mata dan semua siaga untuk tiarap. Lega rasanya, tidak ada yang terluka. Perjalanan kembali berlanjut.

Jeram-jeram keras kembali harus dilalui. Satu jeram yang lumayan sudah menghadang. Aku dan semua yang ada di perahu bersiap menembus jeram, mengayuh dayung sekuat tenaga. Air membuncah. Perahu yang membelah jeram menambah riak-riak air membesar. Dalam hitungan detik, hentakan keras membuatku terlempar dari perahu ke arah depan. Aku tersentak. Kejadian begitu cepat. Kaki, badan dan kepala langsung terbenam ke sungai. Mencoba tenang dan tidak panik. Pelampung yang mengikat di tubuhku membawaku kembali ke permukaan. Ketika kepala mulai muncul di permukaan, dari belakang perahu langsung menggilasku dan membuatku kembali terbenam di dalam sungai.

Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Air Progo berwarna cokelat dan di atasku dasar perahu berwarna hitam. Kepalaku hanya bisa menyundul dasar perahu. Seluruh tubuh terbenam di dalam sungai. Entah sudah berapa banyak air yang aku minum. Aku sudah tidak bisa tenang lagi. Sekuat daya aku mengangkat tangan berharap ada yang segera meraih tanganku. Entah berapa lama aku di dalam sungai. Tiba tiba ada yang memegang tanganku dan aku diseret ke perahu. Sorak sorai bergemuruh. Aku begitu lemas, terkapar di perahu.—Bersambung

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun