Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Perjalanan Angker Menuju Desa Sinden

27 Maret 2021   20:59 Diperbarui: 27 Maret 2021   21:07 2254 4
Bagian 1

Suasana kantor gaduh. Satu sama lain saling curiga. Dua perusahaan dalam satu bendera yang sama, para karyawannya diminta untuk bisa melakukan perbaikan di segala lini. Tujuannya cuma satu, biar kompak dan perusahaan sehat.

Saya bersama lima teman kerja akhirnya memutuskan untuk mencari solusi. Atasan kami akhirnya mengarahkan kami untuk membahas permasalahan di luar kantor.

"Teman-teman kita harus outing supaya pikiran jernih." Kata pimpinan kami Hans.

"Oke siap pak!" Jawab kami kompak

"Btw di puncak ya pak? Tanya Ray yang paling bongsor badannya di antara kami berenam.

"Bukan. Kita outing di desa sinden" kata Hans.

Kami saling tatap. Heran dan asing mendengar nama tempat itu.

Kami langsung search Desa Sinden di Google. Enter! Baca judul. Scroll per halaman.

"Gak jelas nama tempatnya di Google gak dijelasin rinci pak". ucapku.

"Nih tempatnya!" kata Ara satu-satunya perempuan di antara kami seraya menunjukkan hasil pencariannya.

"Bener kan pak Hans?"

Pak Hans geleng kepala pertanda tak membenarkan lokasi itu.

"Kalau ini pasti bener." tunjuk Arda, penyuka burung kicau sok yakin.

"Betul itu pak Hans?" Toro dan Anto berbarengan merespon Arda. Aku, Ray dan Ara juga menunggu jawaban pak Hans.

"Sudah nanti saya duluan jalan. Saya serlok oke!"

Sekitar jam 9 malam, Pak Hans sudah share serlok di grup WhatsApp. Di bawahnya ditulis.

"Saya sudah di lokasi ditemani pak Yadi. Ini lokasinya. Kalian hati-hati" tulis pak Hans di grup WhatsApp.

Aku bersama lima teman berunding untuk mengatur perjalanan ke 'Desa Sinden'.

Kami sengaja menggunakan sepeda motor karena lokasi outing bisa dijangkau dengan motor jauh lebih cepat ketimbang mobil.

Selain itu, kata Pak Hans jalan untuk sampai ke lokasi belum diaspal dan juga dipenuhi lubang.

Aku bonceng dengan Arda. Anto numpang dengan Toro dan Ara merasa nyaman naik sama Ray yang bongsor biar tak begitu kena angin malam.

Kurang lebih jam 11 an kami mulai bergerak. Jalan beriring kompoi membelah malam.

Saat masih di kota kami bisa menjaga kompoi. Namun setelah memasuki sebuah pedesaan dimana jalannya naik turun tanpa lampu penerang, kami mulai sulit menjaga kompoi. Alhasil kami terpencar.

Aku dan Arda tak tahu pasti apakah berada paling depan, tengah atau belakang. Yang jelas kata pak Hans, kami harus tiba sebelum subuh.

Aku berusaha mencari tahu posisi Ray, Ara, Anto dan Toro dengan coba menelpon. Ops, ponselku tak menangkap sinyal.

"Coba sini hape Lo Da gue mau nelpon anak-anak. Gue ga dapat sinyal." kataku ke Arda sambil fokus mengendarai motornya di tengah kabut yang mulai tampak.

"Duh Lo gak ada sinyal juga." aku goyang-goyang HP Arda supaya dapat sinyal tapi tetap gak ada.

"Udah jalan aja Dam. Ya kalau ga mereka di depan pasti di belakang kita." kata Arda kepadaku.

Aku diam sambil bersedekap melawan hawa dingin yang mulai menusuk.

Tak lama Arda berkata agak keras,

"Dam, ada cahaya di depan"

Aku memastikan ucapan Arda. Benar ada cahaya.

Mendekati cahaya, terlihat Ara sendirian di jok motor Ray.

"Ray ngencing ke sana" sebelum aku dan Arda nanya, Ara langsung kasih tahu Ray sambil menunjuk ke arah semak-semak.

Tak lama Ray keluar dari semak-semak.

"Tega Lo ninggalin cewek di tengah hutan begini" Arda protes

Ray jawab santai.

"Daripada gue ngencing deket Ara urusan bisa lain."

Sontak Arda ngedumel.

"Tolol Lo ye!"

"Udah...udah...jangan resek Lo pada. Di tengah hutan nih! Yuk lanjut!" Ajak Ara sewot.

Aku, Arda, Ara dan Ray ngelanjutin perjalanan.

Kami jalan tak terlalu kencang karena kondisi jalan sudah sangat gelap dan jalan pun makin tak bersahabat.

Saat Kami tidak tahu dimana posisi Toro dan Anto, kami berhenti sebentar di sebuah warung kecil.

Pedagangnya seorang perempuan setengah tua.

Di tempat kami berhenti adalah sebuah pertigaan. Jalan yang ingin kami lewati lurus. Kondisinya samar-samar banyak lubang. Sedangkan jika berbelok nampak jalannya sudah sedikit bagus.

Waktu telah menunjukkan jam 1 malam lewat. Udara mulai terasa sangat menggigit.

Tak lama Toro dan Anto melintas. Jalannya pelan sekali.

Aku dan Arda yang duduk di luar warung menyambut Toro dan Anto. Sementara Ara dan Ray di dalam. Motor kami parkir agak ke dalam sehingga Toro dan Anto tak melihat motor kami.

"Ray dan Ara tadi berhenti. Sebentar lagi mereka.menyusul." Anto langsung bicara seperti itu.

Aku dan Arda saling melihat.

"Lo ngelantur ya berdua. Tuh mereka di dalam.!" Arda merespon begitu.

Gantian Toro dan Anto saling pandang-pandangan. Wajah kami berempat sama-sama seperti orang yang habis melihat setan.

Kami kemudian masuk ke dalam warung. Di dalam Ara dan Ray sedang mainkan HP.

"Emang ada sinyal? Udah dimana kita?" tanyaku.

"Gak tau belum ada sinyal nih" jawab Ara.

Spontan Toro langsung berkata dengan nada heran.

"Tadi gw sama Anto liat Lo berdua lg berhenti. Terus Lo Ray ngasih aba-aba gue suruh jalan terus, ya gue jalan aja." terang Toro.

"Bener" sambung Anto.

Ray dan Ara saling menatap.

"Yang bener Lo pada. Gue sama Ara gak ada tuh liat kalian lewat. Justru malah Arda sama Adam yang nyamperin kita." jelas Ray sambil memandang ke arah Anto, Toro, Arda dan Adam yang masih berdiri.

"Ya ampun beneran kita liat kalian berdua lagi berhenti." Toro memastikan lagi.

"Wah gak beres nih. Bentar....bentar...Lo minum dulu deh Toro, Anto" kataku coba nenangkan suasana.

"Pasti di antara kalian ada yang kencing ya di sana" tiba-tiba suara perempuan setengah tua penjaga warung terdengar serak-serak begitu sambil jalan ke arah kami membawakan mangkuk berisi mie instan.

Sontak setelah mendengar suara ibu setengah tua pedagang warung, mata kami langsung mengarah ke Ray.

Ray langsung pucat.

"Di situ memang gak boleh kencing. Kalian pasti diikuti." kata perempuan setengah tua sambil meletakan dua mangkuk mie instan di meja.

Seperti dengar suara petir di siang bolong, kami berenam langsung merinding.

"Kecuali kalian kembali ke sana dan siram bekas kencing tadi dengan air yang ada di bawah sana" terangnya sambil mengarahkan tangannya ke belakang warung.

"Air apa dan dimana itu Bu?" aku memberanikan diri bertanya mewakili teman-teman.

"Di bawah sana ada sungai kecil. Dulu tempat petilasan para leluhur. Air yang kalian ambil nanti di tempat itulah yang bisa membuat kalian tidak diikuti kemanapun kalian berjalan." Jelas ibu itu lagi.

"Tapi sudah mau subuh ini Bu. Apa mungkin kita bisa ke sana?" tanya Ara gantian.

"Justru kalau sudah pagi air itu sudah tak bisa lagi menghilangkan sisa kencing teman kalian."

"Elo sih Ray pake kencing segala. Berabeh kan jadinya!" Arda agak kesal.

"Iye Ray Lo jadi ngambat tujuan kita sampe lokasi nih!" timpal Anto.

Ray tak bisa berkata apa-apa.

"Air itu cuma yang kencing di sana yang harus mengambilnya. Kalian turun dari belakang warung ini terus nanti di sana ada sebuah makam keramat. Kalian harus jaga sikap di sana. Setelah melewati makam, belok kiri. Nah nanti ada pohon bambu. Di situ ada jalan setapak menurun menuju sungai. Yang tidak Kencing tunggu saja di atas dan yang kencing turun mengambil air. Ibu ada taroh ember di belakang bawalah!"

Sumpah ribet, rempong dan serem juga nih perintah si ibu.

"Ibu yakin dengan air itu kita gak diikutin lagi?" tanya Ray terbata-bata.

"Terserah kalian percaya atau tidak sama ibu. Yang jelas jangan sampai terlihat matahari kalian mengambil air itu." tekan ibu itu. (Bersambung)

Ciledug, Maret 2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun