Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Tular Nalar dalam Konstruksi Kaum Plutokrasi

28 November 2020   12:15 Diperbarui: 28 November 2020   12:19 94 3
Sejak perkembangan teknologi informasi hingga saat ini, jagad maya (daring) dibanjiri berbagai informasi yang kian masif dan eksesif hingga menyeruak ke ruang sosial (luring) dan sulit terbendung, akibat arus informasi mengalir begitu deras hingga kita sulit mengendalikannya.

Dalam menghadapi situasi ini memang tidak lah mudah, karena setiap persoalan yang sudah menjadi wacana publik tentu akan memiliki resiko yang cukup tinggi, karena setiap wacana yang menjadi konsumsi publik tentu akan disikapi oleh setiap masyarakat itu tentu berbeda.

Menjadi persoalan hari ini adalah jagad maya saat ini digemari oleh informasi hoax dan informasi negatif yang tentu keduanya memiliki efek domino yang berbeda, kadang efek yang rasakan adalah efek yang mengandung unsur psikologi manusia, apalagi informasinya berkaitan dengan informasi sensitif.

Informasi sensitif kerap memicu diskursif sosial yang intensitasnya cukup tinggi, rumor gosip hingga bulian sudah menjadi santapan warga maya tiap saat, dan informasi sensitif cenderung memicu tindakan sosial berakibat pada benturan fisik. Tentu hal seperti ini setiap orang tidak menginginkan.

Namun menjadi pertannyaan "kenapa selalu saja ada orang yang menyebarkan berita/informasi hoax, maupun berita negatif yang memicu diskursif/perdebatan publik? Sebenarnya jawaban sederhana jika kita malas berfikir, bahwa masalah seperti ini kembali pada masing individu bagai mana ia menyikapinya dengan logika berfikirnya.

Namun dalam kajian ilmu komunikasi hal semacam ini perlu penjelasan yang runut, terukur dan berbasis pada teori dengan realitas sosial hari ini,, kita melita logika ilmu komunikasi memiliki 3 kajian effek komunikasi, yakni efek kognitif, afektif, dn konatif.

Efek kognitif mengatakan manusia itu berangkat dari pengetahuan / pengalaman, dan pengalaman itu menjadi rujukan untuk menentukan sikap atau pilihan, jadi ketika masalah hiruk pikuk dunia maya hari ini tentu dijadikan pengalaman, atau ukuran sebagai modal dasar manusia untuk bertidak, akan tetapi kita terkadang malas mecari informasi lain sebagai pembanding untuk mengukur kebenaran suatu informasi. Padahal untuk mengetahui suatu informasi yang viral, tentu kita perdalami dan menjadikan sebagai pengetahuan atau pengalaman kita.

Efek afektif adalah berangkat dari emosi atau perasaan seseorang terkait dengan kondisi atau keadaan rell di lingkungan kita, untuk melihat masalah di ruang virtual saat ini tentu suasana emosional seseorang ketika mendapat informasi atau berita hoax sudah pasti terlihat responnya akan berbeda seperti biasanya. Ini yang sering terjadi ketika setiap individu kurang memiliki pengalaman terkait suatu informasi, sehingga hampir semua orang di media sosial ikut terprofikasi dn ikut menyebarkan informasi hoax, karena tidak memahaminya dengan baik.

Efek konatif atau behafioral mengarahkan setiap indivudu untuk langsung bertidak dalam menyikapi masalah yang dialami, efek ini ketika dilihat dalam ruang virtual banyak sekali orang berani bertindak diluar dari dugaan kita, seperti ikut menyebarkan informasi hoax atau ikut nimbrung dalam suatu perdebatan diskursif, akibat mudah terprofokasi dengan keadaan yang memberikan efek emosi atau perasaan.

Kenapa bisa jadi demikian karena setiap informasi sensitif itu kadang memicu emosianal kita dan kita langsung merespon tanpa berfikir panjang lebar, apakah ini memiliki dampak buruk pada diri kita atau tidak.

Komunikasi cyber
Setiap posisi kita dalam ruang virtual tentu berbeda, artinya kita pasti memiliki kepentingan yang tidak sama dalam memanfaatkan ruang virtual, ada yang memanfaatkan untuk sebatas hiburan ada pula yang memanfaatkan untuk kepentingan bisnis, politik, dsb.

Coba kita lihat kenapa informasi hoax itu tersebar masif, terstruktur, dan sistematif di ruang virtual,, itu bukan karena bisa jadi orang yang berkepentingan ingin menciptakan opini publik untuk melegitimasi kepentingannya, dan orang yang ikut menyebarkan itu juga bukan tidak tahu, tapi terkadang suatu informasi itu berkaitan atau memiliki kesamaan dengan keinginanna.

Dalam cyber komunikasi kita tidak hanya sebatas belajar bagai mana mengelolah suatu informasi yang baik di ruang virtual, akan tetapi setiap kepentingan kerap tersublimasi ke dalam ruang tersebut guna mendapatkan legitimasi atau dukungan publik. Sehingga realitas hari ini dalam ruang virtual banyak sekali bermuculan buzzer, dan haters dalam memaikan peran untuk mengekang suatu opini publik, maupun berperan dalam menciptakan opini baru.

Jadi dalam kajian komunikasi politik tentu melihat kasus informasi hoax tersebar masif karena ada kepentingan para plutokrasi yang ingin mengendalikan presepsi publik kepada persoalan lain, dan kenapa isu sensitif itu tersus dihangatkan karena keingianan kelompok yang berkepentingan itu ingin menanam kesan pada pikiran publik, agar suatu informasi itu terus di ingat sebagai suatu keyakinan.

Sehingga setiap kenapa setiap informasi hoax yang berseleweran di ruang virtual itu terus dibranding, karena setiap informasi itu tidak hadir begitu saja, ibarat sebab akibat, ada masalah tentu ada akibat, tetapi semua dalam konspirasi para pemilik modal, media dipake untuk memfollow up, mulai dari membranding, hingga memframing sesuai dengan selera kaum plutokrasi,, tujuannya suatu informasi hoax diciptakan seakan-akan hadir secara alami. Dn diulang terus kepada publik dan menjadi suatu keyakinan yang sulit untuk dipatahkan dengan logika rasional.

Dalam kajian konstruktifistik melihat persoalan semacam ini pada intinya kita adalam konstruksi kaum plutokrasi yang menjadikan kita sebagai objek politik yang mudah diatur sesuai selera mereka. Kita tak berdaya dalam memahami suatu problem, kita mudah diarahkan mudah di urak atik pikiran kita dalam permainan mereka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun