Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Pilihan

Hobi, Terpaksa, Trauma

23 Oktober 2021   22:28 Diperbarui: 23 Oktober 2021   22:41 543 3
Kisahnya terjadi lebih dari sebulan lalu, tepatnya Jumat 10 September 2021. Pagi-pagi, seperti biasa, saya menyiapkan menu sayuran untuk pelangkap sarapan. Potongan sayur-mayur sudah teronggok di dalam panci, kompor gas tinggal dihidupkan.

Kompor gas satu tungku terhubung via selang dengan tabung gas elpiji 3 kg atau tabung melon. Kebetulan, dua perangkat itu saya letakkan di lantai. Knop kompor pun siap diputar untuk menyalakan api. Saya mengambil posisi duduk bersila di antara kompor dan tabung.

Jeglek! Api biru bercampur kuning pun keluar. Tiba-tiba, tak sampai lima detik, api di tungku malah merambat ke regulator. Api menyambar kaki saya dan pedih terasa. Hanya satu kata terucap: bocor!

Bukan rasa sakit akibat sambaran api itu yang saya cemaskan. Namun, api pelan-pelan melahap regulator dan knopnya yang terbuat dari plastik. Asumsi saya, bisa-bisa tabung 'meledak' manakala api menuju katup dan merangsek ke dalam tabung berisi gas cair.

Yang ada di pikiran saya bagaimana agar api itu secepatnya mati. Kalau menyiram dengan air akan butuh waktu untuk mengambilnya. Satu-satunya cara adalah melepas regulator dari mulut tabung.

Maka, saya beranikan tangan menuju knop regulator berbahan plastik padat yang sedang terjilat api itu. Meski jari telunjuk terasa pedih akibat panasnya lelehan plastik, knop saya putar. Klok! Regulator pun terlepas dan langsung saya jatuhkan ke lantai.

Di lantai, knop regulator masih terbakar. Kemudian, saya menyenderkan badan ke dinding dan menatap regulator dimakan api. Ah, biarkan saja. Sudah tidak bisa dipakai juga.

Saat menyender itu, saya tak henti-hentinya bersyukur. Untunglah kompor gas tidak 'meledak' atau menghanguskan diri saya dan rumah. Walau ada memar bakar di kaki dan luka bakar di jari tangan, saya berterima kasih kepada Yang Kuasa.

GANTI KOMPOR

Setelah mengalami bocornya gas itu, tekad saya sudah bulat: jangan lagi gunakan elpiji. Kompor, selang, tabung melon yang sebenarnya masih bisa berfungsi langsung dikandangkan. Saya harus mencari pengganti.

Pilihan kemudian jatuh kepada kompor listrik. Perkiraan awal saya, kompor listrik bekerja seperti penanak nasi. Jadi, arus listrik memanaskan elemen pemanas lalu menghantarkan panas ke permukaan panci.

Rupanya, kompor listrik yang banyak berseliweran di internet berjenis induksi. Wadah masak terpanaskan melalui mekanisme induksi elektromagnetik. Tidak ada api dalam proses pemanasan tersebut.

Saya mencari kompor induksi di pasar, tetapi nihil. Opsi tersisa tinggal situs belanja daring. Saya menemukan kompor induksi seharga kurang dari Rp300.000 per buah dan segera membelinya.

Hipotesis awal, pemakaian kompor induksi bakal membengkakkan penggunaan listrik. Tak apalah kalau biaya listrik naik sampai dua kali lipat asalkan aman dari kebakaran.

Kompor induksi itu tiba di rumah pada 14 September. Besoknya baru saya gunakan. Tak lupa saya membeli dulu panci berbahan baja tahan karat (stainless steel). Adapun, panci alumunium bersifat paramegnetik alias bermagnet lemah sehingga tidak terinduksi.

Berdasarkan petunjuk penggunaan, daya dan suhu kompor induksi bisa disesuaikan. Suhu maksimal adalah 270 derajat celsius (C) dengan daya 600 watt (W). Saya sempat bertanya-tanya apakah temperatur segitu cukup untuk memasak. Sebagai pembanding, api biru gas elpiji itu suhunya di atas 1.000 derajat C.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun