Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mesir 11-2-11

12 Februari 2011   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40 168 0
Dalam soal revolusi rakyat, Leon Trotsky paham benar cara melakukannya. Ia bersama-sama dengan Lenin adalah aktor intelektual dalam Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Di sebuah artikelnya, pernah ia mengatakan kurang lebih: "Hanya tentara bodoh yang mau menembaki rakyat!" Dalam kerumunan massa, menambaki mereka hanya akan menyulut massa yang lebih besar.

Hal itu pulalah yang terjadi di Mesir selama dua minggu terakhir ini. Rakyat Mesir turun ke jalan karena tidak puas dengan sistem pemerintahan Hosni Mubarak yang otoriter. Selama 30 tahun berkuasa, mereka hanya merasakan kesengsaraan. Akhirnya, mereka mendapatkan momentum untuk melakukan "pembalasan" dengan mengimpor revolusi tetangganya, Tunisia.

Tentu saja, tidak mudah melakukannya. Tentara yang selama 30 tahun ―bahkan sejak tahun 1952 ―mendampingi presiden berupaya membendung gelombang massa yang muncul di hampir semua wilayah. Namun, tentara sepertinya tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Trotsky di atas. Menembak satu saja di antara massa itu tidak akan mampu membubarkan mereka, malah akan menambah simpati yang tanpa henti.

Sudah 300 orang menjadi korban dari peluru-peluru tentara dan polisi itu. Dan kita sudah menduga, bahwa memang gelombang aksi kian membesar yang puncaknya adalah hari Juma'at kemarin. Massa mendekati simbol kekuasaan, istana keperesidenan, untuk mendesak Hosni Mubarak segera enyah dari sana.

Akhirnya, kita saksikan perjuangan selama 2 minggu yang memakan banyak korban itu terbayar sudah. Hosni Mubarak, sang dikatator mundur!

Di layar televisi MetroTV dan TV One yang me-relay langsung dari Al-Jazerra terlihat suasana kerumunan massa di beberapa tempat. Mereka melampiaskan kegembiraannya dengan mengibar-ngibarkan bendera kebangsaan mereka ke udara. Kita bisa dengar juga yel-yel dari mulut jutaan orang yang menyemut tersebut.

Inilah people power! Inilah kekuatan rakyat yang menjadi saksi dalam sejarah bangsa mereka. Sebuah rezim yang jelas-jelas melanggar prinsip demokrasi jatuh karena keniscayaan sejarah. Bahwa tidak akan kekal pemerintahan yang menganggap rakyat hanya obyek keserakahan belaka, apalagi jika dipertahankan dengan menghalalkan segala cara.

Tapi, sebuah penghakimana massa yang terjadi di Mesir pada malam ini bukanlah tujuan. Rakyat Mesir haruslah menjadikannya sebagai titik awal dari upaya pelaksanaan cita-cita mereka.

Kita tahu, apa yang terjadi di Mesir sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Negara-negara yang sekarang sudah bergelar "negara demokrasi" kebanyakan adalah bekas negara otoriter.

Namun, kita juga tahu, tidak semua negara tersebut berhasil mewujudkan harapan dari gerakan massa yang dulu mereka ciptakan. Kebanyakan negara-negara tersebut juga awalnya mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan frustasi massal. Dalam suasana tersebut, mereka tidak memiliki saluran yang tepat untuk melakukan koreksi. Wakil rakyat dikebiri, pers dikekang. Timbullah demonstrasi massal.

Tentu saja, tuntutan perbaikan ekonomi disertai kehendak untuk mengganti sistem pemerintahan. Mereka menyebutnya demokrasi. Tapi, demokrasi jelas tidak bisa dalam sekejab menghadirkan perubahan ekonomi yang menjadi tuntutan mula-mula.

Mesir juga bakal mengalami gejala-gejala tersebut. Kompas beberapa hari lalu menyebutkan bahwa rakyat Mesir berada di bawah garis kemiskinan karena 40% rakyatnya hanya berpenghasilan 2 dollar sehari. Apakah nanti Mesir yang ekonominya ditopang pariwisata bisa meningkatkan penghasilan warganya? Mengingat dalam contoh Indonesia yang kaya akan sumber daya saja belum mampu dalam 1 dekade lebih membuat perubahan berarti.

Kita bisa saja berandai-andai, mampukah "Revolusi Mesir" ini sebagai titik mula kelak mewujudkan harapan tersebut? Jika sekedar menjadi demokratis mudah dilakukan, bukan tidak mungkin perbaikan ekonomi menemui jalan buntu. Akibatnya, rakyat Mesir menjadi antipati terhadap demokrasi dan-mengabil contoh Indonesia-malah ingin kembali ke zaman otoriter yang penuh kebanggaan seperti zaman Gemal Abdul Nasser.

Semoga rakyat Mesir tidak berpikir sesempit itu. Sebab, demokrasi jelas mampu memberi perbaikan tidak hanya lahir melainkan batin. Mereka harus sadar, suara yang dibungkan jauh lebih mahal  nilainya dari isi perut. Sebab, andaikata nanti sistem demokrasi belum mampu memberikan harapan ekonomi, mereka tetap bisa menuntut perubahan dengan cara elegan.

Gerakan rakyat selama 2 minggu ini jelas menghabiskan energi yang sangat besar. Konon, Mesir rugi 2,8 triliun perhari. Belum lagi distribusi kebutuhan pokok yang tersendat.

Semoga, pengganti sementara Mubarak, Dewan Militer atau Omar Suleyman, dapat membawa Mesir dalam transisi yang bermuara pada demokratisasi. Jangan sampai, sebuah niat suci para martir tidak membawa manfaat apa-apa nantinya.

Mesir harus belajar dari sejarahnya. Ketika mereka merdeka dari Inggris tahun 1922, yang terjadi sebenarnya hanyalah sandiwara. Inggris toh tetap mampu mengendalikan raja dan mendapat hak pengelolaan Terusan Suez. Begitu pula yang terjadi tahun 1952. Sebuah republik ternyata hanyalah pergantian dari rezim otoriter raja ke rezim diktator militer.

Kini, di tanggal yang cantik ini, 11 bulan 2 tahun 2011, jangan sampai Mesir jatuh ke lubang yang sama. Mesir harus merombak total masa kelamnya. Dari otoritarianisme menuju demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Amin!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun