Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sahabatku? (Bab 6)

16 Agustus 2019   17:20 Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:23 8 0
Aku dan Fada sering mengerjakan soal bersama dan betul, aku terlupakan Dewa dan Aron. Mereka juga tidak ada reaksi untuk mengobrol seperti biasa denganku.

"Al, coba kerjakan latihan ini!"

"Al, coba kerjakan tes ini!"

"Al, tes IQ!"

"Al!" dan akhir-akhir ini, Fada sering memintaku mengerjakan tugas dan tugasnya hanya membuang wajah ketika aku mengerjakan.

"Buat apa Fad?" tanyaku penasaran.

"Wah, tinggi-tinggi nilainya!"

"Dah, kita..."

---

"Assalamu'alaikum, Alula!" suara karibku, Dewa dan Aron.

"Wa'alaikumussalam!" jawabku dan membuka pintu.

"Ini ada titipan dari ibu kami!" sambil memberi plastik berisi dua kotak. Sekarang mereka benar-benar bicara seolah sekedar teman kelas.

Aku memosisikan tanganku pada mereka seperti orang menjabat tangan. Mereka mengeryitkan dahi. Aku masih dengan wajah biasa.

Aron langsung menyambar tangan dan bingung harus berucap apa, aku benar-benar berjabat tangan dengannya diganti dengan Dewa. Aku memasang senyum. Ini benar-benar seperti bertemu orang asing.

"Aduh... lagunya sedih sekali, perasaanku tidak karuan!" ucapku pada telepon pintar yang memutar lagu sedih. Aku ini benaran memutus karib atau tidak sedangkan Fada sepertinya mengatakan sesuatu yang tak ku suka. Ayolah Kawan, aku tak ingin memutuskan kekerabatan.

---

"Ada apa dengan wajah itu?" tanya Aron polos sambil memainkan game boynya.

"Entah!" jawabku merenung.

"Padahal kita biasa-biasa saja!" aku mengangguk.

"Berteman seperti biasa tanpa permusuhan!"

"Seperti orang mau beri saham!" aduh umur sepertiku paham saham. Kenal saja baru dari televisi.

"Apa lagi saham!"

"Tahu ah!"

"Ini benar-benar tak beres, Alula kode? Apa benar ya kekerabatan kita melonggar?"

Aku terbiasa tidur di kamar Aron dengan tema idola pria dan sebaliknya begitu. Kamarku bertema tim sepakbola kesukaan. Ya... jangan ditanya, mana mungkin tidur di kamar Alula.

Ekspresi kami jadi biasa-biasa saja, tidak seperti dahulu, masih ada emosional yang kuat. Alula juga mendukung ekspresi kami. Dia juga ikut-ikutan.

Ah, tambah tak beres.

---

Aku sudah tahu apa yang dikatakan Fada. Aku berusaha untuk menghindari percakapan tersebut dengan mengalihkan perbincangan atau pergi dari hadapannya.

Ke kantin sendirian
Olahraga sendirian
Makan sendirian
Belajar sendirian
Merenung sendirian

Aku jadi lebih bicara sendiri di kamar usai mengerjakan tugas. Kurang satu jadwal yaitu mengobrol dengan Dewa dan Aron. Aku pernah berkomunikasi dengan Fada namun ia bilang jika setiap saat begini terus dikatakan berlebihan.

"Sahabat yang baik adalah sahabat yang saling membantu jika sahabatnya kesulitan, bukan berlebihan"

Pengertian macam apa itu di kalimat akhir? Bukankah itu sebuah perhatian? Ya... tapi...

Benar juga sih.

Tapi jika sudah karib bagaimana?

Dret!! Dret!!

"Assalamu'alaikum Aron!"

"Wa'alaikumussalam!"

"Alula, Dewa demam!" aku terkejut.

Ibu dari Dewa memandang kami yang memberi jarak di depan kamar Dewa dan menunggu Dewa di kamar sampai waktu pagi tiba. Apalagi besok hari Sabtu, pas sekali.

Kami memandang beliau dengan tatapan biasa.

"Serius kalian mau menunggu Dewa sampai pagi?" kami mengangguk bersamaan.

"Bawa baju ganti?" Aron menggeleng.

"Itu di tas apa?"

"Eh iya!"

"Wah, kantuk menyerang!"

"Ada dua kamar, kalian tidur disana ya!" kami mengangguk.

"Kami menginap sampai Hari Minggu Tante!" beliau terkejut.

"Kami berusaha membuat Dewa senang. Siapa tahu langsung sembuh!"

"Kami tunggu di depan kamar Dewa saja. Nanti kami pasti tidur!"

"Al, aku heran!" Aron membuka pembicaraan.

"Ada yang aneh!" aku menundukkan kepala.

"Kita longgar keakraban ya?" nah!

"Sudah tidak perlu dibicarakan, sampai kapan pun tali itu takkan terputus!"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun