Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Jadi?

30 Juli 2019   22:55 Diperbarui: 30 Juli 2019   23:21 31 1
"Sur, nem kamu berapa?" tanya Nuga pada sahabatnya, Surna.

"22,50 Nug!" jawab Surna sedih.

"Subhanallah!" ucap Nuga sambil menggelengkan kepala.

"Kamu harus tahu aku dapat nem berapa."

"Berapa?"

"21,50!"

"Kita bersyukur saja Nug. Intinya kita lulus. SMA Negeri dekat rumahku jalur lokal menerima nem segitu,"

"Tapi harus bersaing dengan peserta lain!"

"Benar juga sih!"

Benar kata Nuga, walau jalur lokal, tetap saja ada nem yang lebih tinggi daripada Surna bahkan jauh di atas Surna. Bahkan jalur bangku kosong juga tak tersedia. Ia akhirnya bersekolah di sekolah swasta sedangkan Nuga bersekolah di sekolah ABRI.

"Biayanya mahal sekali. Syukurlah dari dulu aku menyiapkan uang. Biaya dari ayah juga sepertinya cukup!" ucap Surna sambil melihat daftar biaya selama bersekolah disana.
"Bismillah Na, semoga berkah, amiiin ya rabbal alamin!"

Memang ada yang berbeda ketika memasuki swasta. Masih ada jadwal MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) namun tanggal masuknya berbeda dengan sekolah negeri. Seragam dari hari Senin sampai Jum'at juga khusus. Surna merasa berbeda dengan murid lain hanya karena...

Seragam.

"Tapi bagus lho Kak seragamnya. Kakak harusnya bersyukur karena diterima lewat jalur tes tulis dan lisan. Peringkat 1 pula disana. Qona bangga lho!" ucap Qona, adik Surna dengan mata yang berbinar-binar melihat seragam sekolah Surna dari hari Senin-Jum'at.


"Ada yang berbeda, yang kini kurasa menghiasi hatiku..."
"Ada rasa gundah, ada juga resah, saat kau di dekatku..."
"Mau makan ku ingat kamu...,"
"Mau tidur ku ingat kamu...,"
"Lagi-lagi teringat kamu...,"
"Saat coba tak ingat kamu...,"


....

"Ciee peserta dari sekolah negeri sendirian!" seru seorang pria sambil mendekati Surna yang duduk di bangku depan samping kanan kelas 12 Bahasa.

"Memang iya?" tanya Surna sambil memicingkan mata kesana kemari. Ia tertawa.

"Efek dapat nilai rendah!" dumal Surna.

"Apa?" tanya pria itu penasaran. Surna hanya menggelengkan kepala.

"Rasanya bagaimana sekolah di negeri?" tanya pria tersebut memulai topik pembicaraan.

"Dan bagaimana rasanya bersekolah di swasta?" tanya balik Surna namun sebelum pria itu menjawab, ia mendapat panggilan telepon. Surna mengangkat telepon.

"Selamat berpisah telepon!" seru suara di seberang sana yang spontan membuat Surna tertawa.

"Semangat Nug. Cie seragamnya... ehm!" ledek Surna. Nuga langsung menutup telepon.

Surna tak terbayang bila tidak bertemu Nuga selama itu. Jadi alumni disana akan seperti apa?

"Lho, belum pernah sekolah swasta?" tanya pria itu yang disambut gelengan Surna.

"Waduh, hati-hati Girl karena tugasnya dari guru campur pemerintah. Terkadang ya lebih sering tugas keluar!"

"Oh..."

"Oh?"


"Izinkan aku pergi dulu...
Yang berubah hanya ku tak jadi milikmu..."


---

3 hari kemudian, Surna harus menghela nafas berkali-kali di rumah setelah menggelengkan kepala karena kakak penanggung jawab kelas menyatakan perasaan yang lebih dari sekedar kakak kelas pada Surna dua hari berturut-turut di pesan singkat dan hari ketiga langsung di taman sekolah usai MPLS.


'Kan kakak kakak kelasku astaghfirullahal azim...'
'Ya apa salahnya? Sudah tumbuh'
'Tapi Surna tidak mau'
'Terus kapan kamu mau?'
'Ya Allah...'


"Dik!" panggil kakak kelas tersebut sambil duduk di sebelah Surna yang sedang menunggu jam pulang sekolah yang tinggal 10 menit lagi.


"Ki... ta adalah sepasang sepatu
Selalu bersama... tak bisa bersatu"
"Ki... ta ma... ti bagai tak berjiwa
Bergerak ka... rena... kaki manusia"


"Jadi kamu terima?" tanya kakak tersebut hampir ceria.

"Terima apa?" tanya Surna masih tak mengerti.

"Aku masih menyatakan Cantik!"

"Kak, pergi dulu ya. Assalamu'alaikum!"

"Aku kira mau menyanyi bareng. Aku juga suka lagu itu!" batin Surna sambil menundukkan kepala.

"Hei!" sapa pria yang waktu itu menyapa Surna dengan ledekkan 'peserta dari sekolah negeri' sambil menepuk bahu Surna.

"Kamu lagi!"

"Ye... ceritanya masih panjang!"

"Ya sudah sambil jalan saja!"

"Ekspresinya biasa saja Kalem!"

"Kalem darimana?" batin Surna kembali.

"Harus diharmonikakan!"

"Apa lagi, iya, iya, nih biasa!" jawab Surna langsung berubah menjadi ekspresi datar.

"Perasaan hari pertama tidak begitu!"

"Tahu ah!"

Sudah dua minggu Surna bersekolah dan ia cukup terkenal di sekolahnya yang terkesan masih asing baginya sebagai murid dengan pembicara tersempurna. Ia hanya menggelengkan kepala mendengar dua kata tersebut.

"Surna!" panggil Chan dan Surna menghampiri panggilan tersebut.

"Kamu jadi host di Bulan Bahasa ya!"

"Wah sudah direncanakan saja!"

"Iyalah!"

"Aku kurang bisa host. Belum pengalaman juga!"

"Nanti aku ajari!"

"Ajari? Wah, boleh tuh!"

"Tapi harus latihan tiap hari Jum'at ya!"

"Siappp!"


"Ku bisa membuatmu
Kan jatuh cinta kepadaku
Tak kan sulit ku memintamu...
Say!"


Surna hanya bisa beristighfar ketika diteriaki oleh kakak kelas itu lagi pas di telinganya saat berpapasan.

"Astaghfirullah Kak, jangan ganggu calon host!"

"Hahaha calon host? Oh!"

"Sabar ya!"

"Arggh!" kesal Surna ketika didorong bahunya pelan oleh pria yang menceritakan rasanya sekolah di swasta lalu berlari pelan menjauhi Surna.


"Sabar sayang, sabarlah sebentar"
"Oi!"
"Aku pasti pu... lang, karena aku..."
"Bukan aku, bukan..."
"Bang Toyib!!!"


Surna langsung tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan sekitar. Ada saja pria itu bernyanyi seakan-akan itu untuk Surna.

Dua bulan berlalu, topik yang dibahas, dilatih, dan dimengerti Surna untuk Bulan Bahasa semakin melekat di pikiran. Ia juga sering berlatih bersama teman yang menunjuknya tersebut.


'Bro, Sis, datang ke Bulan Bahasa SMA Laut Biru ya!' ketik Surna di kelompok angkatan SMP dahulunya.
'Wow Bulan Bahasa, sip Sis!'


Bulan Bahasa akhirnya tiba. Surna tampil cantik dengan gaun batik dan rambut yang dikuncir rapi. Dandanan sederhana khasnya membuatnya tidak terlihat tua.


"Sabar sa... yang..."


"Masih dibahas!" ucap Surna pada teman prianya itu.

"Mau didandan tidak?"

"Ini pria Kalem!"

"Teman kamu Na?" tanya Chan melihat pria itu duduk di sebelahnya. Surna mengangguk.

"Chan Taqir, pria tertampan di kelas X IPA 1!"

"Zaka Mahendra, temannya Surna!" jawab Zaka sederhana sambil menerima jabat tangan Zaka.

"Onda Ariasurna, tempat curahan Zaka!" canda Surna. Chan langsung tertawa.

"Menyebalkan kau!"

"Novelmu sudah dipajang di depan sekolah. Semoga ada penerbit yang mau!" ucap Surna pada Zaka.

"Amiiin ya rabbal alamin!"

Bulan Bahasa berjalan dengan semakin lancar hingga di waktu menuju akhir acara yang sangat membuat Surna melongo dan Chan yang siap dengan lampu terang di atas kepalanya.

"Ada yang mau bertanya kembali?" tanya Surna dengan senyumnya yang masih bertahan.

"Aku yang tanya!" ucap pria yang merupakan artis sekaligus tamu spesial di Bulan Bahasa.

"Bagaimana cara menyampaikan perasaan dan kisah itu takkan terlupakan?"

"Astaghfirullah!" batin Surna sambil melongo. Chan langsung menarik tangan Surna untuk berunding. 5 menit kemudian...

"And... action!"

"Na, ada yang mau dibicarakan!" ucap Chan sambil duduk di sebelah Surna.

"Apa?" tanya Surna sambil menghentikan kegiatan menulis di selembar kertas.


"Ingin ku tahu... u... u... u... u... apa kau, apa kau ada yang punya..."
"Ingin ku tahu... u... u... u... u... apa kau, apa kau ada yang punya...
Karena karena ku tak bisa lupakan, lupakanmu..."
"Kau..."
"Kau!"
"Satu fenomena!"
"Satu fenomena!"
"Langit pun cerah hilang gelisah bila engkau ada..."
"Dan... ku ingin tahu..."
"Mungkinkah ada yang istimewa bila ku menyapa!" Chan mulai menundukkan kepala.
"Derah ku coba 'tuk lupakanmu..." Chan mulai mengangkat kepala ke arah depan.
"Tapi ku tak pernah bisa..."
"Harus ku coba bertegur sapa..."
"Karena bayangmu, selalu menghantuiku..."


Chan menyanyikan lagu tersebut hingga akhir lirik.

"Itu yang aku bicarakan!" Surna terdiam seribu bahasa.

"Bolehkah ku menjawab?"

"Secepat itu?" Surna mengangguk. Chan ikut mengangguk. Wanita berkuncir satu itu melihat ke arah selembar kertas yang ia anggap selesai ditulis.


"Hatimu...
Sudah ku baca sedari dulu...
Hatimu...
Sudah ku sangka sedari dulu"
"Ku pikir-pikir hingga seminggu...
Sampai aku jadi lupa waktu...
Ku terima Kawan...
Tak ku sangka Kawan..."


Ternyata Surna membuat musikalisasi puisi dan menyanyikannya sampai di akhir lirik.

"Wow...." teriak Zaka yang diikuti orang-orang yang hadir disana.

"Itu juga yang aku bicarakan!"

"Jadi?" Surna hanya menjawab dengan tersenyum.


"Engkau hadir... merubah se... galanya..."


Chan mengungkapkan dengan lagu kembali.

"Kalah aku Chan!" ucap artis tersebut yang ternyata sudah bertekuk lutut sambil memberi setangkai bunga pada wanita. Surna dan Chan melongo. Tak lama mereka tertawa dan bertos ria.

"Daritadi tekuk lutut terus!" ledek Surna. Chan lagi-lagi tertawa.

"Turun dari panggung saja yuk!" ajak Surna canda yang langsung dituruti Chan.

"Wih ditinggal!" semua yang ada disana tertawa.

Seminggu berlalu, sejak kejadian Bulan Bahasa itu, hati Surna mendadak gugup. Apalagi sejak sandiwara menyatakan perasaan bersamaan Chan.

"Na!" panggil Chan sambil duduk di sebelah Surna. Surna terkejut tak terkira.

"Apa?" tanya Surna sambil menundukkan kepala.

"Ada yang ingin ku bicarakan!" jawab Chan terdengar serius.

"Silahkan!" Surna mulai memasang telinganya lekat-lekat.

"Waktu Bulan Bahasa, itu hanya...,"

"Maaf, hanya contoh!"

"Oh ya? Syukurlah!" lega Surna sambil mengelus dada.

"Aku juga mau mengatakan itu tapi takutnya...,"

"Ya... jadi tambah ribet urusannya!"

"Terus hubungan kita selanjutnya bagaimana?"

"Jadi?"

"Jadi?"

3 detik kemudian...

"Ya tetap teman!"

"Sip!" Chan dan Surna langsung tos ria.

Zaka tiba-tiba lewat di hadapan mereka sambil menahan tawa.

"Iklan lewat!" ucap mereka bersamaan.

"Friend-Zone, Friend-Zone!" teriak seseorang bersuara rekaman.

"Seperti suara Nuga!"

"Memang!"

"Dapat darimana nomor teleponnya!" kaget Surna ketika melihat Nuga tampil dalam panggilan video.

"Aku bertemu waktu Bulan Bahasa!"

"Wah, diam-diam nih!"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun