Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Gerakan Intelektual Mahasiswa

23 Mei 2012   21:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:54 613 0
Perlukan mahasiswa melahirkan kembali kelompok studi yang pernah berkembang di era 80-an? Sebuah pertanyaan muncul karena dinamika gerakan mahasiswa saat ini dilanda kegundahan. Pasalnya gerakan konvensional yang mengandalkan kekuatan massa kini dianggap mengkhawatirkan masyarakat.

Setiap kali para mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah seringkali mendapat kecaman dan keluhan dari masyarakat. Ada yang mengatakan demonstrasi mahasiswa mengacaukan ketertiban umum dan jalan raya. Dan yang lebih tragis lagi jika demonstrasi sudah dianggap anarkis. Semisalnya bentrok antara demonstrasi mahasiswa dengan aparat serta perusakan fasilitas umum dan kendaraan.

Di akhir rezim orde lama, demonstrasi mahasiswa masih dianggap populis. Begitu pula di era orde baru, mahasiswa disebut-sebut sebagai pahlawan rakyat. Gerakan massa mahasiswa dapat menumbangkan kedua rezim tersebut, terutama tumbangnya orde baru pada Mei 1998. Tetapi sebutan dan gelar seperti itu sudah mulai memudar pada era sekarang karena masyarakat menginginkan keamanan dan kenyamanan, mereka ingin damai. Dunia sudah berubah, kehidupan pun ikut berubah.

Mahasiswa memiliki jati diri dan cara tersendiri untuk bergerak. Mereka memperjuangkan rakyat atau masyarakat tapi tetap disukai masyarakat. Mahasiswa dipandang sebagai kaum elite, cara yang ditempuh dalam perjuangannya pun menggunakan cara elite. Demonstrasi merupakan bagian dari perjuangan, tapi bukan satu-satunya. Diibaratkan, demonstrasi adalah berperang.

Perang dilakukan ketika cara-cara yang ditempuh sebelumnya tidak memberikan kepuasan. Persoalan yang dikemukakan pun merupakan persoalan besar. Dalam ajaran Islam dikenal dengan apa yang dinamakan Jihad, dalam arti perang fisik. Jihad dilakukan ketika musuh sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Tentunya sebelum berjihad dilakukan terlebih dahulu dakwah, mengajak berbuat kebajikan dan memperingatkan untuk menghindari kejahatan. Begitu pula demonstrasi dilakukan saat negara sudah tidak bisa diajak berkompromi atau cara-cara lainnya sudah tak mempan lagi.

Filosofi Jihad dan dakwah inilah yang menginspirasi gerakan intelektual mahasiswa era 80-an bermunculan dengan mendirikan kelompok studi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Dengan menggelar kajian rutin, para mahasiswa berbicara persoalan sosial politik dan kemasyarakatan. Mereka menyadarkan masyarakat dengan metode dakwah. Makanya salah seorang tokoh kelompok studi era 80-an, yakni Denny J.A menyebut gerakan intelektual dalam kelompok studi itu disebut dengan gerakan dakwah sosial politik.

Kemunculan gerakan intelektual mahasiswa ini didasarkan pada pemberangusan dewan mahasiswa dengan formula NKK/BKK. Sebuah formula yang diciptakan Daoed Jusuf, kala itu dia menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Mahasiswa pun tak memiliki wadah untuk menyalurkan keresahannya. Muncul lah tokoh-tokoh mahasiswa 80-an semacam Denny J.A di Jakarta, Taufik Rahzen di Yogyakarta, dan Agus R. Sarjono di Bandung meniru tokoh-tokoh nasional era 1920-an semacam Soekarno, Soetomo, dan Hatta yang mendirikan Studie Club.

Beda zaman, beda pula faktor kemunculannya. Pada 1920-an mereka sudah tak percaya lagi dengan wadah perjuangan formal, sementara di era 80-an karena wadah perjuangan formal—dewan mahasiswa—dimatikan. Suatu kondisi yang berbalik. Tapi dengan mendirikan kelompok studi sangat efektik dan popular pada masing-masing zamannya.

Soekarno contohnya yang kala itu masih berstatus mahasiswa teknik di Bandung bisa menjadi tokoh berpengaruh, hingga dapat mendirikan PNI. Pengaruhnya juga nampak dengan banyak pelajar yang mengikuti serta mendirikan Studie Club di berbagai daerah. Harus kita ketahui, bahwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itu lahir karena dipelopori oleh salah satu kelompok studi yang sudah besar, yakni PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia).

Meniru gerakan intelektual era 1920-an dan 80-an tidak bisa serta merta sesui selera, mesti ada perenungan untuk menentukan strategi dan arah perjuangan. Juga mesti terdapat kondisi yang memungkinkan. Pada pembahasan sebelumnya penulis telah menjabarkan metode yang sudah tak populis lagi. Suatu gerakan juga harus disesuaikan dengan identitas dirinya.

Menggunakan gerakan intelektual dengan mendirikan kelompok studi era sekarang justru sangat cocok, dan metode ini yang bisa dilakukan. Apalagi sudah didukung alat informasi dan komunikasi yang memudahkan gerakan. Jika dulu aktivis kelompok studi lebih mengandalkan pemuatan artikel di media umum dalam menyebarkan dakwahnya, saat ini tersedia banyak alat komunikasi yang dapat dimanfaatkan dalam berdakwah. Bahkan dapat membuat media sendiri dengan mudah dan murah, dengan sudah tersedianya dukungan alat informasi dan komunikasi semacam internet.

Media massa, baik cetak maupun elektronik memiliki pengaruh yang besar. Media memiliki tekanan sosial. Mahasiswa harus kembali berkumpul, membiasakan diri nongkrong di kantin, kafe dan tempat umum lainnya untuk melakukan diskusi dan kajian sosial politik serta kemasyarakatan. Kuasailah tempat-tempat tersebut, lalu gunakan media yang ada untuk menyebarkan gagasan serta kritik dan protesnya.

Intinya adalah, bagaimana mahasiswa pada kelompok studi dapat memanfaatkan bahkan jika bisa menguasai media umum untuk menyebarkan gagasan dan kritiknya di hadapan publik. Sudah semestinya mahasiswa dapat mendominasi ruang-ruang publik dengan mengirimkan opininya di koran maupun majalah. Kelompok studi mesti mengerti bagaimana aktivitas kajiannya dapat menjadi opini publik. Pendominasian opini publik tak sekadar artikelnya dimuat, tapi membuat media massa tertarik dengan aktivitas kelompok studi.

sumber: http://rudinisirat.blogspot.com/2012/05/gerakan-intelektual-mahasiswa_16.html

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun