Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Sebuah Esai Narasi, "Dengarkan Ceritaku Tentang Mereka"

20 Agustus 2022   03:24 Diperbarui: 20 Agustus 2022   04:14 443 6
Lagu Viva La Vida dari Coldplay mengiang di telingaku, alarm hp berbunyi membuatku sontak terbangun, waktu menunjukkan jam 7 pagi. Minggu ini jadwal posyandu, bergegasku ke kamar mandi, air sejuk dan segar dari pegunungan menambah gairah pagi ini untuk memulai aktifitas.

Rampung segala persiapan, saya pun melangkahkan kaki keluar rumah untuk berangkat. Kusempatkan menoleh kebelakang, kupandangi sambil mengerutkankan dahi. Rumah dinas yang usianya lebih tua dariku. Sudah rapuh dimakan usia dan rayap, tampak sudah tidak simetris, atap sengnya sudah berwarna coklat pekat akibat dimakan korosi, tiang penyangganya sudah tidak kompak lagi untuk memberi topangan, masing-masing tiang seolah mencari selamat sendiri, mirip kasus Ferdy Sambo yang lagi ramai diperbincangkan.

Sekalipun demikian saya tetap bersyukur, setidaknya saya tidak perlu  mengocek saku lebih dalam untuk sebuah tempat tinggal. Merry Riana mengajariku akhir-akhir ini untuk pandai bersyukur, motivator cantik serta lugas yang sering menghampiri media sosialku. "Apa yang sudah diberikan Tuhan,  sebaiknya nikmati saja dan alangkah baiknya kalau mensyukurinya", begitulah katanya.

Entah sudah berapa pendahulu kami yang menempati rumah ini, bahkan kabarnya ada pensiunan kementerian kesehatan pernah tinggal di sini. Semoga saya bisa menyusul, tidak ke Kementerian cukup kembali ke kampung halaman, berkumpul dengan keluarga di kota daeng. Rupanya banyak cerita dari rumah ini, rumah dinas yang menyejarah, mungkin pantas dijadikan situs dan ikon  Puskesmas tempatku bertugas, gumanku sambil tersenyum.

Motoris sudah menunggu untuk mengantar kami, topi saung tak ketinggalan menutupi kepalanya. Kaget dengar teriakan teman yang menyusul dari belakang "Pak, Sudah ambil nasi belum? Sudah, sahutku singkat. Kami perlu bawah bekal, maklum desanya lumayan jauh dan jangan harap di sana ada warung makan.

Menyusuri sungai dengan dengan mesin  berkecepatan 10 tenaga kuda (HP/Horse Power), lazimnya disebut PK. Belakangan saya baru tahu lewat penelusuran di dunia maya, PK rupanya bahasa Belanda, akronim dari paardenkracht artinya tenaga kuda. "Kenapa harus dari bahasa Belanda? Padahal mesin ketinting bukan buatan dari sana? Apakah kita sebagai bangsa kurang percaya diri dengan penyebutan istilah dalam bahasa sendiri? Ah sudahlah, itu tidaklah penting, asalkan mesin dan perahu ini bisa membawah kami tiba dan kembali dengan selamat.

Duduk tanpa sandaran dan dibawah terik matahari selama kurang lebih dua jam cukup membuat lelah. Panorama alam dan gemercik air sungai setidaknya bisa mengusir lelah dan kejenuhan. Sungguh karunia Tuhan yang patut untuk disyukuri. Kejernihan sungainya, pesona alam dari hutan yang tetap terjaga, sesekali kubenamkan tanganku ke dalam sungai hanya untuk sekedar membasuh muka.  Tak ada kasus kebakaran hutan di sini, tak ada pembalakan liar di sini. Ungkapan Greenpeace yang menyebut "Ketika pohon terakhir sudah ditebang, ketika sungai terakhir sudah tercemar, ketika ikan terakhir sudah ditangkap, pada saat itu kita baru sadar uang pun tak bisa dimakan" mungkin tidak berlaku di sini.

Kearifan lokal yang diwariskan turun menurun dan dipegang teguh oleh masyarakatnya memungkinkan alam mereka terus terjaga. Mereka sadar dari alamlah kehidupan ini boleh tetap berlangsung. Jika alam tidak dijaga keseimbangannya maka yang akan terjadi adalah kerusakan yang akan  punya dampak buruk. Dampak buruk alam akan berdampak juga pada kesehatan manusia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun