Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

FAQ tentang Kinerja DPR Sepanjang 2010

30 Mei 2011   21:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:02 271 0
Frequently Asked Questions (FAQ) tentang kinerja DPR sepanjang 2010 dipersiapkan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)

Q (Question): Bagaimana evaluasi PSHK terhadap perjalanan anggota DPR RI 2009-2014?

A (Answer): Evaluasi dimaksud, secara proporsional, tertuju kepada keanggotaan DPR periode 2009-2014 pada tahun pertama, persisnya sejak mereka dilantik awal Oktober 2009 hingga Desember 2010. Selama kurun waktu tersebut, perjalanan DPR tidak lepas dari berbagai sorotan dan kritik publik yang makin deras. Penyebabnya beragam, mulai dari biaya pelantikan yang sangat mahal, usulan dana aspirasi yang disusul rumah aspirasi, rencana pembangunan gedung baru mencapai triliunan rupiah, hingga maraknya kunjungan ke luar negeri dalam rangka studi banding.

Di sisi lain, sebagian besar muka baru yang menguasai keanggotaan DPR (sekitar 70%) tentunya akan berpengaruh pada kinerja DPR. Komposisi fraksi akan mempengaruhi konstelasi politik, hingga menjalar mempengaruhi karakter produk lembaga, misalnya undang-undang yang dihasilkan pada 2010 lalu.

Karakter legislasi 2010 menghadirkan serangkaian tesis yang memperlihatkan adanya benang merah antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Aktor politik formal mendapatkan penguatan eksistensi melalui UU Keprotokoleran dan UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sedangkan kelompok sosial kemasyarakatan ada di UU Kepramukaan. Intinya, para pihak yang diatur di ketiga UU tersebut memperoleh pengukuhan identitas dan ruang dimana identitas tersebut berlaku.

Dilihat dari aspek politik legislasi, pilihannya terbatas kepada wilayah sektoral, belum mencakup dan mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Bandingkan misalnya jika DPR (dan tentu saja di sisi lain peran Pemerintah) memilih dan menuntaskan pembahasan RUU Penanganan Fakir Miskin, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, atau RUU Bantuan Hukum.

Agar lebih fokus dan mendalam untuk kemudian mendapatkan pemahaman tentang apa sesungguhnya yang sudah dihasilkan oleh wakil kita di DPR, sebaiknya kita memilih ruang lingkup evaluasi terhadap salah satu dari ketiga fungsi DPR. Misalkan, kita memilih fungsi legislasi. Ada beragam obyek yang bisa kita evaluasi, mulai dari aspek proses pembentukan undang-undang hingga substansi yang termuat.

Jika kita bercermin terhadap apa yang diperbuat dan dihasilkan oleh DPR sepanjang kurun waktu selama 15 bulan ini, maka kinerja legislasi memang masih mengecewakan. Permasalahan yang muncul tidak jauh dari periode DPR sebelumnya. Di sini terkesan DPR terjerembab pada faktor pemicu yang sama.

Kesimpulannya adalah muka baru tapi berperilaku lama, yang sebagian besar berkontribusi terhadap degradasi kinerja dan kredibilitas DPR di mata publik. Wujudnya, mulai dari aspek kedisiplinan yang rendah dalam menghadiri rapat-rapat alat kelengkapan hingga kebiasaan kunjungan kerja ke luar negeri yang tidak transparan dan akuntabel.

Q: Bagaimana menurut PSHK kinerja mereka?

A: Pastinya kita tidak puas dan cukup mengejutkan karena perilaku-perilaku tersebut, yang kami nilai sebagian besar berkontribusi terhadap degradasi kinerja dan kredibilitas DPR, semakin sering terdengar dan terang-terangan dilakukan (mulai dari kasus anggota DPR menonton video porno saat rapat paripurna DPR, pernyataan beberapa anggota saat berpas-pasan dengan rombongan TKI di salah satu bandara di luar negeri, atau dalil urgensi studi banding yang tidak relevan). Ini belum termasuk pernyataan atau sikap yang ditunjukan oleh individu-individu anggota DPR saat rapat-rapat (alat kelengkapan) dengan mitra mereka. Ada yang masih dalam koridor Tata Tertib dan Kode Etik, tapi ada pula yang kebablasan, bahkan sudah dalam kategori melanggar.

PSHK menilai, anggota DPR masih berada dan terjebak pada pusaran masalah yang, lagi-lagi kami sampaikan, masih disebabkan oleh faktor yang sama. Kalaupun ada kita temukan terobosan-terobosan dan perbaikan, hal demikian hanya bertahan lama dan sebatas pada inisiatif individu-individu, belum melembaga atau tidak mampu menular kepada wajah DPR secara institusional.

Sebagai contoh, sikap tidak puas masyarakat tertuju pada kinerja legislasi DPR. Target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2010 sebanyak 70 RUU ternyata tidak tercapai, bahkan separuhnya. Kenyataan ini kontras dengan fungsi pengawasan yang terlihat begitu masif. Tercatat, DPR sudah membentuk 32 panitia kerja (panja) untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Sebenarnya tidak ada yang keliru. Semua fungsi DPR sama penting. Namun, sebagai konsekuensi lembaga legislatif, tentunya titik tekan ada pada fungsi pembentukan undang-undang. Persoalannya adalah fungsi pengawasan yang sedemikian kencang tapi tidak diikuti capaian kinerja legislasi secara signifikan. Atau dengan kata lain, dinamika dan determinasi fungsi pengawasan DPR pada tahun pertama tidak berimbang atau terwujudkan pula pada pelaksanaan fungsi legislasi, yang setidaknya bisa kita lihat pada tingkat kedisiplinan dan kontribusi yang diberikan.

Q: Apa faktor penyebab kinerja DPR khususnya di bidang legislasi belum memuaskan?

A: Dukungan teknis yang secara kualitas maupun kuantitas belum mencapai standar minimal yang mampu mendongkrak kinerja DPR, termasuk untuk fungsi legislasi. Dukungan teknis yang saya maksud adalah tersedianya tenaga ahli yang mumpuni dan dapat selalu diandalkan, yang efektif memenuhi kebutuhan dan mendukung kerja anggota DPR. Persoalan tenaga ahli cukup komplek, mulai dari tahap rekrutmen, pembinaan, hingga evaluasi. Hingga sekarang masih ditemukan anggota DPR yang belum tahu cara memaksimalkan peran tenaga ahli, atau bahkan keberadaan unit-unit pendukung seperti peneliti, perpustakaan, atau sumber-sumber data dan informasi yang berada di lembaga-lembaga penelitian, baik nasional maupun internasional.

Selain tenaga ahli, persoalan berikutnya ada pada (i) mekanisme pengolahan dan tindak lanjut aspirasi (yang diperoleh saat kunjungan kerja dan forum dengar pendapat) dan (ii) publikasi hasil-hasil rapat alat kelengkapan yang belum berjalan dan teruji efektif. Kalaulah sementara ini kita menganggap praktek publikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah yang sudah baik, maka DPR yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum MK berdiri, seharusnya bisa lebih baik. Asalkan memang DPR mau berinvestasi dan menyediakan manual yang mengarahkan pihak fraksi dan Setjen DPR mendokumentasikan secara tepat semua aspirasi yang masuk dan rapat-rapat alat kelengkapan, untuk kemudian diolah dan dipublikasikan segera dan mudah dijangkau.

Q: Terkait kegagalan capaian Prolegnas, apa yang sudah PSHK identifikasi?

A: Secara umum, penyebab dari kegagalan capaian target Prolegnas adalah model perencanaan legislasi yang melebihi kemampuan dan beban kerja penyelesaian, baik di tahap penyusunan maupun pembahasan. Persoalan lambannya kinerja legislasi bersifat sistemik, tidak bisa disentralisasikan penyebabnya hanya ke satu pihak. Baik Pemerintah maupun DPR punya andil. Akar masalahnya ada di desain perencanaan legislasi (Prolegnas) yang penyiapannya tidak disertai naskah akademik dan naskah RUU, semata-mata judul dan urut-urutan yang ternyata juga tidak menunjukan prioritas.

Faktor klasik seperti kedisiplinan dan kapasitas yang tidak merata diantara anggota DPR turut mempengaruhi lambannya kinerja pembentukan undang-undang. Selain itu, baik DPR maupun Pemerintah terkadang masih bertindak lamban di tingkat penyiapan (misalnya di alat kelengkapan DPR maupun kementerian), termasuk terbitnya Surat Presiden (Surpres) ataupun penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah/DIM (baik dari Pemerintah maupun DPR).

Q: Rekomendasi apa yang digagas PSHK?

A: Profil seorang anggota DPR tidak bisa kita lepaskan dari perjalanan sebelum (terpilih) mendapatkan kursi di parlemen (baik pusat maupun daerah), dilantik, dan akhirnya bekerja. Bahwa kemudian kita sekarang berhadapan dengan perilaku buruk saat mereka sebagai anggota DPR, juga disebabkan adanya peran partai politik (melalui kehadiran fraksi) dan sistem, yang dalam hal ini adalah UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Tata Tertib (Tatib), dan Kode Etik DPR.

Kita tidak bisa melepaskan atau mengabaikan perilaku buruk dan kinerja DPR yang rendah tanpa kontribusi (di awal). Kita berbicara aspek input, dalam hal ini adalah sistem partai politik dan sistem pemilu, yang masih menyimpan sejumlah persoalan hingga hari ini. Mulai dari fungsi partai politik, perekrutan calon anggota legislatif, penentuan sistem pemilu yang berpengaruh terhadap jangkauan efektifitas tingkat representasi anggota DPR hingga evaluasi kinerja. Dengan demikian, sasaran perbaikan harus meliputi pula revitalisasi partai politik dan pembenahan sistem pemilu.

Di wilayah parlemen, fraksi harus benar-benar diberdayakan, terutama kesungguhan untuk mengevaluasi kinerja anggota DPR dan menyampaikannya kepada publik. Ini adalah perintah UU MD3 Pasal 80 ayat (2) dan Tatib DPR Pasal 18 ayat (6). Badan Kehormatan juga harus benar-benar diefektifkan, terutama dalam menegakkan aturan main pelanggaran prinsip menghindari konflik kepentingan yang berpotensi dialami oleh anggota DPR.

Terkait dengan akselerasi kinerja legislasi DPR, PSHK menggagas desain ulang Prolegnas, dengan alasan bahwa (i) menghindari kegagalan capaian target supaya tidak selalu terulang, yang telah terjadi sejak keanggotaan DPR periode lalu. (ii) agar Pemerintah dan DPR punya cukup waktu mempersiapkan naskah akademik dan draf RUU.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun