Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Stigmatisasi atas Sejarah PKI di Indonesia

29 Juli 2011   15:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:15 737 1

Penulis : Tri Guntur Narwaya

Penerbit : Resist Book, Yogyakarta

Cetakan : I, Mei 2011

Tebal : 300 Halaman

Peresensi: Romel Masykuri*

Saat membayangkan peristiwa G 30 S/PKI 1965, pemahaman umum lebih sering tertuju pada ingatan tentang drama pembunuhan 7 Jendral di lubang buaya. Peristiwa itu menorehkan premis utama tentang narasi "kebiadaban " orang-orang komonis yang dikisahkan sebagai perancang dan pelaksana "kudeta berdarah" atas kekuasaan sah pemerintah saat itu.

Segala hal yang berbau dengan "komonis"menjadi sesuatau yang bermasalah. Setidaknya pandangan semacam ini masih banyak meluas di masyarakat dan menjadi kesadaran empiris dalam membaca tafsir sejarah komonis di Indonesia. Generasi sesudahnya (pasca 1965) menjadi begitu phobia dan dibuat alergi terhadap ideologi komonis.

Begitu pekat dan tertutupnya ingatan atas sejarah 1965 hingga mampu menutup memori lain tentang fakta peristiwa yang lebih kompleks selain itu. Kisah 1965 yang berhenti di puncak kisah pembunuhan dan kudeta hanyalah bagian kecil dari narasi sebenarnya. Tidak banyak cerita dan tutur tentang tragedi sesudahnya. Bukan karena sebagai peristiwa ia tidak ada, akan tetapi kisah itu di pinggirkan dan di lenyapkan dengan gerbong kisah yang lebih besar hingga menutup rapat kisah yang lain yang bersinggungan langsung dengan kebiadaban pemerintah pada saat itu.

Situasi ini merupakan bukti yang tercecer bahwa "ingatan" dan "pengetahuan" masyarakat atas sejarah lahir secara tidak alamiah (intervensi). Buku karangan Tri Guntur Nirwana dengan judul: "Kuasa Sitigma dan Represi Ingatan" adalah bagian dari uapaya yang kini semakin luas dilakukan untuk melawan pandangan dan pemahaman yang keliru semacam itu.

Meskipun masih menyisakan polemik, diskursus resmi tentang penempatan Partai Komonis Indonesia (PKI) beserta ideologinya yang di bawa menjadi satu-satunya kekuatan yang pantas dipersalahkan. Mereka satu-satunya yang menjadi terdakwa tunggal. Entah mereka sebagai individu, kelompok, ataupun keyakinan ideologi, mereka wajib memikul sanksi dan tanggung jawab tanpa memeperdulikan kewajaran proses hukum dan nalar keadilan.

Dalam puluhan tahun, mereka yang di anggap terlibat mendaptkan ketatatnya kontrol dan diskriminasi. Demikian juga dengan sekian generasi sesudahnya, mereka menyangga dosa kolektif turunan. Mereka terlabeli dengan "manusia-manusia jahat" yang tidak boleh mendapatkan kebebasan dan kenyamanan hidup sebagai warga negara.

Pada nalar rasional dan moralitas, sulit untuk menerima kenyataan bahwa bangsa yang di anggap berlimpah dengan nilai kebudayaan luhur telah menorehkan wajah sejarahnya yang ironis dan paradoks. Pemburuan dan pembantaian sesama anak manusia begitu besarnya. Menyerupai teror, luka sejarah ini tidak pernah redup. Ia melenggang dengan leluasnya dalam struktur ingatan yang membekas. Akibatnaya, luka batin yang menggores berubah menjadi trauma gelap yang menakutkan. Kekerasan menjadi legal dalam tradisi politik saat itu.

Sebenarnya pada pemerintahan Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), wacana tentang perlunya pelurusan sejarah dan rehabilitasi politik bagi korban 1965-1966 sudah di lontarkan. Hal tersebut berawal dari kontroversi politik atas salah satu perdebatan tentang perlu tidaknya pencabutan atau pelarangan ideologi Marxissme, Leninisme dan Komonisme di Indonesia, akan tetapi usaha Gus Dur oleh kalangan oposisi politiknya di anggap telah jauh melanggar batas-batas kesakralan atas komitmen negara.

Hal ini menandakan bagaimana "lebel negatif" atas PKI masih kuat dan tumbuh subur di benak masyarakat, termasuk dikalangan aparatur pemerintah. Intensitas kewaspadaannya sangat besar, melebihi segala seruan lainnya, seperti korupsi, penyakit, kemiskinan atau ancaman disintegrasi nasional.

Tidak penting apakah masyarakat paham tentang siapa dan apa yang dimengerti sebagai "komonis", karena memang bukan itu tujuaanya. Masyrakat dibutuhkan untuk selalu waspada dan menjauhi segala berkaitan dengannya. Inti capaian terpenting adalah menciptakan psikologi nalar ketakuatn di benak masyarakat.

Inilah yang membuktikan bahwa sejarah masih tersandra dalam tangan otoritas apa dan siapa yang berkuasa. Sejarah belum mejadi ikhwal milik bersama. Ia belum bisa di bentuk dan di maknai secara demokratis oleh masyarakat. Ingatan negatif itu begitu kuat menglahkan kekuatan lainnya. Kuasa "ingatan" yang dipasung oleh pemerintah sat itu mampu menjadikan "komonis" sebagi monster yang harus diwaspadai dan dijauihi. Pelanggengannya banyak termanifestasikan dalam pola-pola stigmatisasi hingga menyentuh pada banyak variable, baik unsur sosial, politik, ekonomi dan dasar-dasar kultural masyarakat.

Dilihat dalam kacamata kesadaran paradigmatik, di bawah kuasa kepentingan penguasa, kesadaran historis kurang menemukan ruang semestinya. Masyarakat mudah untuk melupakan peran yang telah mereka berikan dalam mengawal Indonesia ke arah perbaikan. Yang di ingat hanyalah “gelar” buruk yang di sandangkan terhadap PKI. Sehingga partisipasi dan keterlibatan orang-orang “kiri” di garda depan perjuangan melawan kolonialisme dan Imprialisme menjadi tidak terekam sejak 1965, seluruh sejarah tersebut seakan tenggelam di telan bumi. Tidak ada gelar pahlawan bagi mereka. Tidak ada mahkota penghargaan bagi orang-orang kiri yang gugur dalam patriotisme menegakkan kemerdekaan.

Sudah saatnya kita membuka cakrawala atas "ingatan" dan "pengetahuan'tentang sejarah PKI di Indonesia. Menarasikan kembali kisah yang sudah lewat dengan keterbukaan dan kerendahan hati merupakan langkah menempatkan sejarah pada tempatnya.

*) Romel Masykuri, Kader Muda PMII Asram Bangsa Jogjakarta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun