Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Merayakan Idul Fitri Namun Tidak Lebaran

18 Agustus 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:34 1233 3
Gema takbir terdengar berkumandang melalui para pedagang vcd dan kaset di pinggir pasar Kramat Jati, jalan Raya Bogor, Jakarta Timur. Lancarnya jalanan di ruas utama Ibu kota, bertolak belakang dengan kemacetan yang terjadi di sejumlah jalur mudik seperti jalan Kalimalang yang padat merayap.

Siang tadi (18/8), usai berkunjung ke kediaman sahabat di daerah Ciracas, Jakarta Timur, alunan gema takbir yang terdengar merdu itu, mengingatkan saya pada suasana Idul Fitri tiga tahun silam. Ketika itu, tahun 1999 untuk pertama kalinya merasakan suasana Lebaran, jauh dari keluarga.

Begitu trenyuh dan sepi, saat harus melewati malam takbiran di tengah kesunyian hutan. Biasanya, jika di rumah saat berkumpul dengan keluarga di Jakarta, kami melaksanakan malam takbiran dengan berkumpul bersama atau saling bertakbir ke Musholla. Namun, karena harus melaksanakan tugas di luar kota, membuat saya terpisah jauh dengan hanya mendengar lolongan Anjing di kejauhan hutan belantara.

Apalagi waktu pagi harinya, saat sebagian besar umat muslim melaksanakan ibadah sunnah Sholat Ied, saya dan beberapa kawan yang kebetulan tinggal di tambang pedalaman Sumatera, hanya bisa membayangkan saja. Tidak ada bedug, tidak ada ketupat, tidak ada opor ayam, dan tidak ada nastar terlezat di dunia bikinan Ibu tercinta. Yang ada hanyalah rerimbunan pohon yang tertata rapi di Bukit Barisan, dan saling bersalaman dengan rekan kerja yang tidak lebih dari lima orang.

Mengalami hal seperti itu dalam suasana Ramadhan dan Idul Fitri, sebenarnya tidak ingin dirasakan oleh kita. Karena, hanya dalam waktu setahun sekali, di Hari Raya Idul Fitri, hampir seluruh keluarga pada berkumpul bersama untuk saling bersilaturahmi dan berkunjung ke makam bila ada keluarga yang telah meninggal.

Tetapi tidak hanya saya sendiri yang mempunyai pengalaman seperti itu, banyak diantara kita yang juga punya kenangan khusus mengenai suka dan duka malam takbiran dan Idul Fitri, jauh dari keluarga tercinta. Beberapa kawan yang sering tidak mengalami suasana Lebaran, akibat tanggung jawabnya dalam pekerjaan, mengatakan bahwa awalnya memang sulit. Namun bila sudah terbiasa, maka perasaan akan kangen pada ketupat, dan lainnya menjadi tidak begitu terasa:

- Penjaga Mercusuar

Berbeda dengan saya yang meski pernah mengalami suasana Idul Fitri di pedalaman hutan, seorang kawan yang saat itu di tahun 2009, bekerja sebagai penjaga Mercusuar, pernah menyebutkan bahwa suasana yang dialaminya jauh lebih sedih. Sebab, jika di hutan, meski jauh dari kota namun jika bosan bisa berjalan kaki meski harus menempuh jarak puluhan kilometer.

Tetapi, kawan saya yang saat itu bertugas di sebuah pulau terpencil yang terletak di Balai Salasa, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, di Hari Raya Idul Fitri, hanya bisa membayangkan suasana nikmatnya berkumpul dengan keluarga dan saling bersalaman keliling kampung.

Pasalnya, saat itu (2009) belum ada satupun sinyal operator seluler yang menjangkau pulau terpencil itu. Jalan satu-satunya untuk melepas rasa kangen dan mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri pada Ibu, Ayah, Adik, dan keluarga lainnya, adalah dengan melakukan panggilan melalui telepon satelit. Kendati biayanya hampir mencapai sepertiga gaji bulanannya, namun tidak menghalangi niatnya. "Yang terpenting saya bisa meminta maaf pada Ibu, Ayah, dan keluarga lainnya di Bandung. Masalah mahal, itu urusan belakangan," ucapnya.

- Polisi

Seorang kawan saya sewaktu sekolah dulu,  kini bertugas di satuan polisi lalu lintas, pernah mengatakan bahwa salah satu hal yang tidak enak jadi polisi, selain di cap "tukang tilang" adalah harus merelakan terpisah dari istri dan anak tercintanya saat momen istimewa seperti Idul Fitri. Meski sebagai abdi negara, ia harus siap menjalani tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Namun, sebagai seorang manusia biasa sekaligus kepala rumah tangga di keluarganya, timbul perasaan kangen untuk segera berkumpul dengan putranya yang masih kecil. "Gimana ga sedih rul, kalo anak saya bilang ga mau dibeliin baju lebaran. Tapi pengen kumpul sama emak - bapaknya di Hari Idul Fitri," kata sang kawan mengungkapkan. Ia sekarang bertugas di jalur Nagrek, Jawa Barat, untuk bisa berkumpul kembali dengan keluarga setelah menunaikan tugasnya, paling cepat ia pulang saat h+7 Idul Fitri.

- Karyawan Tempat Wisata dan Hiburan

Sudah menjadi resiko tersendiri bagi seorang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di kawasan wisata maupun hiburan, seperti Taman Mini Indonesia Indah, Dunia Fantas Ancol, Kebun Raya Ragunan, Taman Safari, atau lainnya. Karena disaat sebagian besar orang melaksanakan Idul Fitri dan siangnya mengunjungi tempat wisata untuk rekreasi bersama keluarga, namun ia sendiri harus stand by dari pagi hingga malam.

"Kami ga bisa cuti atau izin buat libur lebaran, soalnya saat lebaran hingga h+3, justru merupakan puncak pemasukan perusahaan. Makanya dari pagi buta, disaat orang lain Sholat Ied, kami sudah berangkat kerja untuk menyiapkan keperluan supaya pengunjung yang membludak tidak repot," ujar seorang kawan menuturkan. Perempuan yang juga seorang blogger ini, menganggap rutinitas tahunan di tempatnya bekerja sebagai hal yang biasa. "yang penting kita ngejalaninnya dengan enjoy," tambahnya kemudian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun