Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Dari Palestina: Abuna Elias Chacour Masih Berjuang dalam Kemustahilan

24 Juni 2011   23:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:12 838 7
[caption id="attachment_118696" align="aligncenter" width="640" caption="Gbr: Christianity Magazine"][/caption] Mungkin akan lebih disukai, jika kita bercerita tentang perjuangan tokoh-tokoh yang sudah berhasil melewati masa sulitnya. Bercerita tentang Abraham Lincoln yang berkali-kali gagal dalam karir politik, namun tidak mau menyerah lalu akhirnya bisa menggapai mimpinya sebagai presiden. Berkisah tentang Raja George VI, yang gagap, tapi berlatih keras hingga dimampukan untuk menyemangati rakyatnya lewat pidato-pidatonya di masa perang. Bahkan Castro, saat diwawancara menjelang akhir hidupnya, lebih memilih untuk mengambil jarak dengan masa lalunya yang berat dan bercerita seolah-olah dirinya telah melewati itu semua. Nampaknya memang begitulah kisah yang diharap kebanyakan manusia, akhir yang bahagia. Bahkan kalau bisa, akhir tersebut cepat-cepatlah tiba.

Manusia juga mungkin masih akan memberi tabik jika dihadapkan pada kisah para syahid perjuangan. Kisah-kisah dari mereka yang segera berujung pada tragedi. Mereka yang menginspirasi orang-orang dengan kematian dan kesusahannya. Lebih lagi jika para inspirator itu memiliki keyakinan yang sama dengan kita. Kita mungkin akan selalu menganggap mereka pahlawan, meski mereka gagal di mata orang yang tak sadar akan kepahlawanannya (atau lebih tepat: yang tidak sekeyakinan dengan kita). Ini juga kisah yang masih mendapat tempat di hati banyak orang.

Tapi sedikit sekali dari kita yang mau memberi penghormatan pada kisah perjuangan yang kelihatannya tak tentu, apalagi yang melanggar batasan-batasan kita tentang apa itu pengertian perjuangan. Kisah orang-orang yang sampai kini masih berjuang, meski hasil tampak dari perjuangan mereka seolah tak ada. Orang-orang yang masih ngotot dalam ketakberdayaan perjuangannya, meski jalan-jalan untuk perjuangan itu serasa semakin berkelimut kabut gelap. Siapa yang mau menghormati atau bahkan sekedar mendengar kisah perjuangan mereka ini? Alih-alih mereka terlihat, kebanyakan orang justru lebih memilih untuk menganggap sepi perjuangan itu demi kelimutan sang kabut.

Namun kategori kisah yang demikian barangkali cocok untuk menggambarkan perjuangan Abuna (Romo) Elias Chacour. Dilahirkan sebagai seorang umat Al-Masih berdarah asli Palestina, Romo Elias akhirnya menjadi rohaniwan Gereja Melkit dan terlibat sedemikian jauh dalam upaya kemanusiaan demi perdamaian Israel-Palestina. Konsepsinya tentang perdamaian kedua bangsa keturunan Ibrahim itu memang sangat luhur, namun kini semakin terasa kemustahilannya.

Jalan-jalan yang dulu ditempuhnya, memang sempat menarik hati banyak pemirsa, tetapi kini hampir tak ada orang waras yang mau mengulik sekedar gaungnya (atau mungkin karena tak ada lagi orang yang cukup waras). Ya, hampir tak ada lagi orang yang berani melampaui semua prasangkanya, guna mengamini bahwa solusi negara kesatuan yang diusung sang Romo adalah yang terbaik bagi pertikaian dua kubu ini. Dan disitulah letak ketaktentuannya.

1.       Lahir Sebagai Bayi

Romo Elias lahir pada 29 Nopember 1939 di Biram, Galilea Atas, salah satu wilayah Palestina yang dulu merupakan daerah pengawasan Inggris yang akan diberi mandat kemerdekaan (Mandat tersebut tak pernah terlaksana, kini daerah itu ada di bawah penguasaan Israel). Kampung halamannya adalah pusat berkembangnya Gereja Melkit, salah satu dari banyak mahzab umat Al-Masih Timur yang sebagian besar anggotanya adalah warga berdarah dan berbahasa Arab.

Sebelum kedatangan orang Yahudi dari luar Palestina, komposisi penduduk di wilayah Palestina didominasi oleh para pengkut Nabi Muhamad yang berdarah Arab (sekitar 60%), sisanya adalah umat Al-Masih (sekitar 25%), umat Yahudi asli Palestina, kaum Samaria dan kaum Druze. Perkampungan-perkampungan mereka ada yang tersendiri, ada pula yang bercampur. Hampir tidak ada gejolak karena perbedaan agama.

Fakta sejarah seperti itu memang sering terkaburkan, karena banyaknya klaim dan asumsi seolah semua rakyat Palestina beragama Islam. Inilah kabut tebal lapis pertama dalam upaya perjuangan Romo Elias. Sangat sedikit yang sadar akan keberadaannya, konon pula motivasi dan tujuan perjuangannya. Saat memperkenalkan diri sebagai seorang Palestina asli, secara bercanda Elias Chacour selalu menyebut dirinya tidak dilahirkan “sebagai seorang kristen” (mengingat banyak orang yang mengira dia pindah agama dari sebelumnya beragama Islam) tetapi “sebagai seorang bayi.”

Entah mengapa di tengah dunia yang sudah sangat informatif seperti sekarang, masih begitu banyak warga-warga yang melek informasi dari kota-kota besar di Amerika, Eropa dan Asia, yang tidak sadar bahwa ada umat Al-Masih, Yahudi dan Druze yang mengaku sebagai “Orang Palestina.” Padahal entah sudah berapa kali wilayah ini diliput, bahkan hampir setiap debu di tempat-tempat ini pernah dihirup oleh orang dari berbagai penjuru dunia. “Banyak orang ziarah setiap tahun ke Tembok Ratapan, Gereja Makam Kudus, atau Mesjid Kubah Emas tapi hanya melihat batu-batu suci, tanpa sadar bahwa di kitaran kunjungan mereka ada kami, batu-batu yang hidup,” demikian keluh Romo ini dalam suatu wawancara.

Ah, tahankah kita berjuang, saat sekedar menunjukkan keberadaan kita pun tak mampu?

2.       Terusir

Menjelang Perayaan Paskah di Tahun 1948, kampung Biram kedatangan tamu istimewa, para prajurit Zionis. Awalnya mereka disambut baik, sebagai tamu, sebagai saudara sekandung (mengingat hubungan komunitas Biram dengan perkampungan Yahudi sekitarnya selalu baik). Romo Elias menceritakan peristiwa yang dialaminya sendiri, bagaimana ayahnya, Michael Chacour, sengaja mempercepat perayaan paskah di rumahnya demi saudara-saudara Yahudinya yang kini tengah datang ke tanah suci. Para prajurit itu makan dan tinggal bersama mereka, sebelum akhirnya mengusir mereka keluar dari perkampungan (beserta seluruh warga Biram lain) sepuluh hari kemudian. Kisah yang kemudian direnteti berbagai kisah sedih lain (pembakaran, penculikan, tuduhan palsu, dan banyak hal lain).

Memilih untuk dendam atau frustasi adalah reaksi manusiawi atas semua kejadian ini. Berjuang sekedar mati demi melawan adalah pilihan yang banyak diambil warga Palestina waktu itu. Demikian pula dengan pilihan merantau keluar dari Palestina. Tapi Elias memilih untuk hidup, berjuang demi jalan damai yang tegas, dan benar-benar upaya yang aneh.

Elias adalah satu dari sedikit pejuang kemerdekaan Palestina yang masih mau maklum bahwa wajar kalau umat Yahudi perlu mendapat tanah. Wajar jika ada kerinduan bersalut keyakinan agamawi untuk kembali ke negeri perjanjian. Ia bukanlah pendukung upaya perjuangan kemerdekaan garis keras Palestina, seperti yang dilakukan sebagian rekan-rekannya yang pro-sosialis dari mahzab Kristen Orthodox (misal Jurjis/George Habash yang bahkan pernah membajak pesawat). Ia masih berani bersaksi bahwa ia mengasihi Kaum Yahudi yang kini mengibarkan bendera Israel. Tapi sadarkah banyak orang bahwa permaklumannya itu adalah tindakan alogika, sebab ia bukanlah orang yang berkomentar dan berwacana bebas dari luar sana. Ia hidup serta mengalami derita pengusiran itu sendiri.

3.       Terjebak dalam Kekusutan Salah Paham

Elias dan rekannya Faraj memperoleh beasiswa untuk belajar di St. Sulpice Seminary, Paris. Selama menjalani perkuliahan, ia mencoba menimba apa pendapat rekan-rekan Eropanya tentang konflik Israel-Palestina. Kebanyakan dari mereka pastilah berpendapat seperti ini: “Orang Israel tiba di Palestina, di tanah yang kosong, lalu mereka ‘menyulapnya’ jadi tanah yang subur, sehingga orang-orang Arab di sekitarnya iri dan berusaha merebut tanah itu.” Secara lebih kasar Golda Meier mungkin pernah mengatakan hal senada saat ia ditanya nasib warga Palestina, “Palestina? Tidak ada nama barang seperti itu,” ucap mantan Perdana Menteri Israel ini.

Bayangkanlah pendapat seperti itu adalah pendapat lazim di kalangan intelektual pada negeri dengan tingkat pendidikan yang paling maju. Apakah yang bisa dibuat untuk menyampaikan sejatinya cerita?

Belum cukup sampai di situ, di tempat lain, banyak Orang Palestina semakin tak sabar. Di kalangan Islam muncul kelompok-kelompok separatis garis keras. Memakai idiom-idiom agamawi sebagai penyemangat perjuangan bersenjata. Meneriakkan agar seluruh Yahudi angkat kaki dari Palestina. Tindakan sporadis mereka justru semakin membenarkan pendapat lazim di atas. Benang kusut pun semakin membundel. Negara-negara luar ikut menempatkan diri mereka dalam pusaran konflik, tidak ada yang netral, bahkan lebih banyak yang berdua wajah.

Dengan nada kecewa Abuna Elias pernah mengurai permasalahannya:

“Kaum Yahudi mungkin sadar bahwa tanah Palestina tidak bisa hanya untuk Yahudi saja, namun idealisme dan cinta mereka akan tanah perjanjian tak pernah bisa dipisahkan dari tindakan politis mereka untuk menguasai seluruhnya. Sementara kaum Palestina, mungkin sadar bahwa mereka tidak lagi sendirian dan harus berbagi tanah itu, tapi emosi mereka yang terkadang disulut oleh doktrin keagamaan (terutama di kalangan garis keras Islam) tidak akan pernah mau mengakui realitas itu. Di luar Palestina terlalu banyak orang yang membodohi diri mereka sendiri dan membodohi orang lain sehingga semua merasa harus mengambil satu sisi ekstrim penyelesaian, pemusnahan satu kubu dan kemenangan bagi kubu yang lain. Entah mereka mengupayakan sisi itu atau tidak…” (Romo Elias lalu bercerita tentang imigran Palestina yang justru lebih menderita di negara-negara Arab yang katanya mendukung kemerdekaan Palestina).

Nah siapakah yang rela terlilit dalam upaya mengurai benang kusut itu? Begitu satu upaya dilakukan mengurainya, ribuan upaya penegang direntetkan oleh pihak-pihak lain, seolah semakin menambah kekusutan.

4.Mencoba dan Terus Mencoba “dengan” (sekaligus “tanpa”) Putus Asa

Sebutkanlah semua upaya untuk perdamaian, Elias Chacour hampir pasti pernah melakukannya. Orang-orang berkata “jalinlah kontak”, Elias adalah orang pertama yang berkuliah di Hebrew University of Jerusalem, ia adalah rohaniwan Arab pertama yang dikenal baik oleh hampir semua guru besar dan para rabbi Yahudi. Ia bahkan pernah memimpin aksi damai terbesar di Palestina yang melibatkan umat Nabi Muhammad, umat Al-Masih, Yahudi, Samaria dan Druze berdemonstrasi selama seminggu di depan Knesset (gedung parlemen Israel). Aksi ini sempat dipuji sebagai upaya paling mengagumkan sebelum terjadi insiden Munich 1972, dimana orang Eropa jadi tak percaya lagi pada Palestina.

Orang-orang mungkin berkata:“adakanlah penyuluhan dan dialog perdamaian,” sang Romo bahkan melangkah lebih jauh dengan mengadakan perkemahan tahunan bagi remaja lintas agama sembari memberikan upaya pencerahan tentang perdamaian. Banyak sekali persahabatan antar remaja Yahudi dan Palestina yang terjalin lewat acara ini, sebelum semua kegiatan ini dilarang oleh otoritas Israel dan dikecam sebagai tindakan pemurtadan oleh kelompok Islam garis keras Palestina.

Mungkin saja orang akan berkata: “sebarkanlah hal ini ke sebanyak mungkin orang,” Abuna Elias Chahcour telah berkeliling ke hampir seluruh penjuru dunia, bertemu dengan banyak pemimpin. Namun seperti kita semua lihat, hanya sedikit orang yang tahu kalau ada golongan manusia seperti dia.

Joseph Raya, seorang rohaniwan Katolik Roma, bahkan pernah menantang Elias agar ia membangun harapan bagi anak-anak muda Palestina lewat perbaikan taraf hidup dan pendidikan. Ibilin, sebuah perkampungan kumuh untuk orang Palestina di Galilea adalah jawaban atas tantangan tersebut. Bermula dari layanan pendidikan untuk sekitar 80-an anak, yayasan pendidikan dan kesehatan Mar Elias telah berkembang melayani pemberdayaan bagi lebih dari 4.000 orang. Tapi siapa saja yang tahu soal ini? Bahkan untuk menemukan lokasi itu di Peta Israel, kita harus mencarinya di peta khusus (peta untuk aktifis pendidikan).

Orang-orang yang naif mungkin akan berkata pada Elias:”teruslah berusaha dan berdoa.” Orang-orang itu mungkin takkan pernah tahu, berapa ribu kali tasbih komboskini (di Katolik Roma dikenal dengan “kalung rosario”) dari Sang Romo berputar tiap hari seirama doa-doa yang dipanjatkannya kepada Tuhan Yang Empunya Damai. Berapa kali Kitab Suci dalam Bahasa Arab, Ibrani, Yunani, Arami, Latin, Inggris, dan Perancis dibaca dan dikhutbahkannya, sementara di tempat lain kitab yang sama diperalat orang jadi bahan untuk menentang upaya damai yang ditempuhnya.

Apa lagi yang harus dilakukannya? Romo Elias dengan jujur menjawab: “Tidak Tahu.” Satu dialektika mendalam antara ‘mencoba dengan putus asa’ sekaligus ‘terus mencoba tanpa putus asa.’ Ia melihat impian sangat sederhana yang ingin dicapainya, dua anak bersaudara di Palestina, keturunan seorang perantau dari Irak (Nabi Ibrahim), bisa hidup berdampingan, tanpa perang, bisa hidup setara, tanpa penindasan. Impian yang masih (ataukah akan terus) terbungkus padat oleh kabut kemustahilan...

Referensi :

Chacour, Elias [ed David Hazzard] (1983) Saudara Sekandung, Yayasan Bina Kasih, terjemahan dari Blood Brohters oleh S. Siregar

Rashkin, Peter (2006), Interview with Abuna Elias Chacour, artikel milik AUPHR.

Langley, Jonathan (2010), Profile: Elias Chacour, Chrisitianty Magazine

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun