Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Literasi untuk Edukasi Bencana

24 September 2014   17:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:42 478 2

Dalam pertempuran di Selat Tsushima pada 27-28 Mei 1905, Jepang membuktikan bahwa literasi adalah senjata sangat ampuh untuk mengalahkan lawan. Ketika pertempuran itu terjadi, hampir semua tentara Jepang tahu ‘membaca dan menulis’. Mereka mahir menggunakan persenjataan militer modern dan memanfaatkan infrastruktur intelijen militer secara benar bahkan sudah bisa memodifikasi sistem telegraf nirkabel dari Jerman. Sebaliknya, hanya sekitar 20 persen personel militer Rusia yang bisa ‘membaca dan menulis’. Dengan kemampuan literasi yang rendah, serangan Rusia sering salah sasaran. Banyak personel yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern saat itu. Atas kemenangan Jepang ini, Geoffrey Jukes dalam The Russo-Japanese War 1904-1905 menulis bahwa penentu hasil perang bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi.

Dalam konteks kekinian, literasi seringkali dikaitkan dengan tingkat kemajuan masyarakat dan daya saing sebuah negara. Sejumlah negara yang memiliki tingkat literasi tinggi umumnya identik dengan masyarakat dan bangsa yang maju. Literasi di sini tentu tak hanya dalam arti kemampuan baca tulis. Namun dalam makna yang luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Sebagaimana dikemukakan Kirsch dan Jungeblut dalam Literacy: Profile of America’s Young Adult, literasi kontemporer memiliki makna sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun